Kisah Gus Dur Tinggal di Rumah Tokoh Muhammadiyah

gus dur dan muhammadiyah

Pecihitam.org – Setelah Kiai Wahid Hasyim kecelakaan dan kemudian wafat pada 19 April 1953, Gus Dur menjadi sangat sedih bahkan berpengaruh terhadap kehidupan selanjutnya. Fase wafat ayahandanya itu sangat mengguncang pikirannya dan memengaruhi aktivitas belajarnya di sekolah

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Menurut catatan Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2016), meski Gus Dur tak mengakui betapa besarnya pengaruh wafatnya sang ayahanda, tapi kesusahan itu tak bisa dibohongi dari raut ekspresinya. Konon katanya, Gus Dur adalah anak yang paling dekat dengan ayahnya, mungkin karena beliau anak pertama. Maka dari itu, tak heran Gus Dur merasa sangat terpukul dengan kejadian itu.

Pada masa itu, karena sedikit banyak terpengaruh dengan situasi yang mengguncang itu, Gus Dur tidak naik kelas di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) atau setara dengan SMP. Konon Gus Dur menghabiskan banyak waktunya untuk bermain sepakbola sehingga tidak fokus belajar untuk sekolahnya.

Setelah tidak naik kelas, akhirnya Gus Dur oleh ibunya dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah. Yang menarik adalah, di Yogyakarta Gus Dur tidaklah ditempatkan di Pesantren langsung. Gus Dur tinggal di tempat Kiai Junaidi, seorang tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta.

Baca Juga:  Nabi Musa dan Murid yang Meragukan Ketidakadilan Tuhan

Kiai Junaidi ini merupakan salah seorang teman dari Kiai Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur. Mungkin, karena kedekatan itulah Gus Dur ditempatkan di sana. Kiai Junaidi, di kepengurusan Muhammadiyah Yogyakarta menduduki jabatan sebagai anggota dari Majlis Tarjih Pengurus Wilayah (PW) Muhammadiyah Yogyakarta.

Majlis Tarjih merupakan lembaga formal untuk urusan fatwa di Muhammadiyah. Aktivitasnya mirip dengan yang dilakukan dalam Majlis Bahtsul Masa’il di Nahdlatul Ulama’ (NU). Barangkali yang membedakannya adalah, Majlis Tarjih ini dilembagakan secara formal dan khusus. Kalau Bahtsul Masa’il kan sifatnya sedikit lebih dinamis.

Pilihan menempatkan Gus Dur di tempat tinggal tokoh Muhammadiyah, pada tahun-tahun itu dan untuk tokoh keluarga besar pendiri Nahdlatul Ulama’ (NU) merupakan bukan peristiwa yang biasa. Sebab, di tahun-tahun itu gesekan antara Muhammadiyah dengan NU masihlah sangat kuat sekali.

Berbagai gesekan antar ormas itu sebenarnyan muncul sejak awal berdirinya Muhammadiyah dan NU. Ketika Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, pengaruh Muhammadiyah menjadi sangat besar. Dan gerakan Islam modernis itu menimbulkan kekhawatiran para kiai NU yang pada level amaliyah berbeda pandangan dengan Muhammadiyah.

Baca Juga:  Gus Dur dan Kisah Kepala Ikan untuk Makan Anjing di Baghdad

Situasi itu akhirnya melahirkan organisasi NU pada tahun 1926. Persis dari awal berdiri itu, gesekan kedua ormas itu seringkali tak terhindarkan. Nah, dalam situasi runtutan sejarah yang demikian itu, pilihan menempatkan Gus Dur di rumah tokoh Muhammadiyah adalah langkah yang visioner.

Sebab apa, rupanya sekian tahun tak lama Gus Dur tinggal di sana, berbagai bentuk gesekan dua ormas itu mulai banyak mengalami surut. Terlebih lagi sejak Gus Dur menjadi nahkoda NU pada tahun 1984, berbagai gesekan itu semakin teratasi dengan berbagai bentuk komunikasi yang intens.

Kembali ke cerita di rumah Kiai Junaidi. Di sana, Gus Dur melanjutkan sekolah SMEP lagi. Di sana juga Gus Dur masih melanjutkan kebiasaan sebagai penggemar berat film dan buku. Bahkan konon minat Gus Dur terhadap film itu sangatlah serius, dan di Yogyakarta-lah beliau mendapat kesempatan yang luas untuk mengakses film di Bioskop.

Baca Juga:  Nama Aslinya Abdul Ghaffar, Kenapa Dikenal dengan Nama Nabi Nuh? Beginilah Ceritanya

Selain sekolah, Gus Dur saat tinggal di rumah Kiai Junaidi juga ikut ngaji di Pesantren al-Munawir Krapyak seminggu tiga kali. Pesantren itu diasuh oleh Kiai Ali Maksum, tokoh NU yang terkenal sangat egaliter. Kiai Ali Maksum memiliki usia yang tak jauh beda dengan ayah Gus Dur, Kiai Wahid Hasyim.

Demikianlah kisah ketika Gus Dur tinggal di rumah tokoh penting Muhammadiyah di Yogyakarta. Dari sanalah, barangkali turut memengaruhi pemikiran Gus Dur yang sangat terbuka dengan keberagaman. Wallahua’lam.