Kisah Malik bin Dinar dan Majusi yang Masuk Islam

Malik bin Dinar

Pecihitam.org – Suatu ketika, dua kakak beradik beragama Majusi (penyembah api), kecewa berat dengan api yang mereka sembah. Pasalnya, waktu dites, api itu tidak jadi dingin, tapi malah membakar jemari si adik. Padahal sudah mereka sembah bertahun-tahun.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di tengah galau bimbang mereka, keduanya mendengar tentang Islam. Dan di daerah nun jauh di sana, katanya, ada salah satu orang ampuh yang menyebarkan agama Islam bernama Malik bin Dinar.

Kakak beradik itu mantap berangkat ke majelis Malik bin Dinar untuk mengenal Islam. Namun, baru pertengahan jalan sang kakak surut langkah, dengan alasan khawatir cacian keluarga dan tetangganya. Sedang sang adik tetap berjalan membawa serta istri dan anaknya.

Sesampai di majelis Syekh Malik bin Dinar, keluarga kecil itu mendengarkan pengajian sampai usai. Setelahnya, baru menyampaikan kisah dan tujuannya. Langsung, hadirin yang belum bubar menangis berjamaah! Terharu ada Majusi yang menyembah api puluhan tahun masuk Islam.

“Nantilah sebentar, jangan beranjak pergi dulu,” rayu Syekh Malik bin Dinar, “Tunggulah sebentar, kami akan mengumpulkan sedikit uang untuk bekal kalian sekeluarga.”

“Maaf, kami tidak ingin menjual agama ini dengan uang!” jawab mualaf itu tegas, lalu ia pamit meninggalkan majelis. Kemudian keluarga kecil itu meninggalkan majelis Malik bin Dinar dan memasuki rumah kosong hampir roboh yang mereka temukan sebagai ganti rumah asri yang mereka tinggalkan nun jauh di sana.

Sesampai di rumah, si istri meminta: “Yah, cobalah Ayah mencari pekerjaan di pasar, dan nanti, belilah dengan uang hasil kerjamu, sesuatu yang bisa kami makan.”

Baca Juga:  Fadhilah Taubat yang Terdapat dalam Kisah Kaum Nabi Yunus

Sang suami mengiyakan, lalu pergi ke pasar menawarkan tenaganya. Namun nahas, orang sebanyak itu, tidak ada satu pun yang mau menggunakan tenaganya.

“Ah, bagaimana kalau aku bekerja pada Allah saja?” batinnya ditengah deraan putus asa. Lalu, ia melangkahkan kaki menuju masjid, mengerjakan shalat berjam-jam hingga malam. Kemudian pulang dengan tangan hampa.

“Hari ini, kau tidak dapat apa-apa?” tanya sang istri setelah melihat lesu pada wajah suaminya. “Hai, sayangku. Hari ini aku bekerja kepada Allah yang menguasai segenap kerajaan. Tapi Ia belum memberikan ongkos, mungkin besok akan membayarnya.”

Dan keluarga kecil itu menahan lapar dalam kedinginan malam yang menusuk. Keesokan harinya, dengan semangat tinggi, sang suami mengulangi apa yang dilakukan kemarin, yakni ke pasar dulu, kalau tidak ada yang menggunakan tenaganya baru ke Masjid untuk “berdagang” kepada Allah sampai malam.

Tapi, lagi-lagi hasilnya nihil. Pulang malam tidak membawa apa-apa. Jadilah keluarga itu hanya minum air selama dua hari, tanpa makanan.

Di hari ketiga, yang kebetulan hari Jumat, ia mengulangi aktivitasnya ke pasar. Lemas dia, sebab hari itupun tidak ada orang yang mempekejakannya. Padahal dua perut yang menunggu di rumah sudah menjerit kelaparan

Dengan langkah gontai, ia menuju masjid, wudhu, shalat dua rakaat, lalu mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya:

Baca Juga:  Kisah Ummu Salamah Hingga Akhirnya Menjadi Istri Rasulullah Saw

“Ya, Tuhanku. Ya, Sayyidi. Wahai Maulaya. Engkau telah memuliakanku dengan mengenal agama Islam. Memahkotaiku dengan mahkota Islam. Menunjukkanku dengan mahkota hidayah. Demi agama yang Kau-rezekikan padaku dan dengan kemuliaan hari mulia yang Kau katakan berderajat agung, yakni hari Jumah. Ya, Tuhanku. Aku memohon kepada-Mu. Hilangkan himpitan nafkah keluargaku ini dari dada. Berilah hamba rezeki yang tiada disangka. Aku, Ya, Allah! Malu pada keluargaku. Aku takut, karena baru masuknya Islam, hati mereka akan berubah!” Lalu dia meneruskan shalat sampai malam.

Di lain tempat di waktu yang sama. Tiba-tiba rumah reyot lelaki pendo’a itu diketuk orang. Setelah dibukakan oleh sang Istri. Ternyata, di depan pintu, berdiri lelaki rupawan luar biasa dengan membawa bejana emas, ditutupi kain bersulam emas, dan di dalamnya juga berisi emas seribu Dinar!

“Ini adalah upah suamimu,” kata lelaki tampan itu pada istri orang yang sedang shalat di Masjid, “Katakan padanya, kalau ini baru ongkos dua hari kerjanya. Kalau hari ini dia semakin giat, maka kami akan menambahkan ongkos khusus, di hari Jumat yang istimewa ini,”

Setelah lelaki tampan itu pergi, sang istri bergegas mengambil satu emas untuk ditukarkan dengan mata uang yang terlaku di tempat penukaran. Ganti pemilik toko penukaran mata uang yang beragama Nasrani terbengong bingung dan takjub.

“Ini, kualitas emas yang di bumi tidak ada! Pasti ini dari akhirat!” batinnya. Apalagi setelah dia bertanya dan dikisahkan bagaimana emas itu bisa didapatkan. Pemilik took akhirnya semakin mantap lalu masuk Islam. Subhanallah.

Baca Juga:  Bacalah Pasti Menangis! Kisah Sayyidina Husain Cemburu pada Sayyidina Hasan

Ketika sang suami pulang dengan tangan hampa. Dalam keputusasaannya. Ia mengambil debu di pinggir jalan, membungkusnya dengan sapu tangannya. Angannya, “Kalau istriku bertanya apa isinya. Akan kujawab tepung!”.

Namun ketika memasuki pelataran rumah, ia takjub dan terheran-heran. Rumahnya jadi rajin, dengan berbagai macam hiasan dan makanan lezat. Apalagi sang istri menyongsong bahagia.

Melewati pintu, bungkusan bututnya ia letakkan di pinggir. Lalu bertanya kepada sang istri apa yang terjadi. Setelah tahu, ia langsung sujud syukur. Alhamdulillaahh…

Beberapa saat kemudian. “Eh, Yah? Bungkusan itu isinya apa?” “Entahlah, jangan kau tanya aku,” jawab sang suami sambil mengalihkan pandangan matanya. Tidak dijawab, malah membuat penasaran istrinya yang lalu mengambil bungkusan itu.

“Alhamdulillaah… isinya tepung, Yah,” “Apa? Alhamdulillaah…” Lalu dia pun sujud syukur kembali.

(Dialihbahasakan H. Muhammad Aminuddin Nuruddin Qosim, Tegalsari, Banyuwangi dari kitab al-Ushfuriyah).

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik