Kitab Al-Munqidz Min al-Dhalal, Otobiografi Imam Al-Ghazali

Otobiografi Imam Al-Ghazali

Pecihitam.org – Siapa yang tidak kenal dengan Imam Al-Ghazali? Beliau merupakan cendikiawan muslim bergelar Hujjatul Islam, Sayyidul Mushannifin dan sederet gelar lain yang disematkan pada beliau. Salah satu karya berjudul Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan) merupakan otobiografi Imam Al-Ghazali yang direkomendasikan untuk dibaca bagi yang ingin mengetahui perjalanan ilmiah dan spritual dari murid Imam Haramain ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Buku yang disebut sebagai otobiografi Imam Al-Ghazali, karena dari sekian karya beliau, buku inilah yang paling menggambarkan sosok Al-Ghazali. Buku ini terbagi menjadi tiga bagian.

Bagian pertama, mukaddimah. Bagian kedua, tentang skeptis yang dialami Al-Ghazali. Bagian ketiga, mengulas tentang empat golongan pencari kebenaran.

Bagian Pertama, Mukaddimah

Pada bagian ini, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa perbedaan agama dan madzhab bagaikan lautan luas dan dalam yang ganas. Telah banyak orang tenggelam dalam perbedaan itu dan tidak sedikit yang selamat.

Menggambarkan ini, beliau pun mengutip hadis tentang ummat Nabi Muhammad yang kan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang selamat.

Pada bagian ini pula Imam Al-Ghazali bercerita tentang perjalanan ilmiah dan spritualnya. Bahwa lebih kurang 70 tahun ia menyelami dan mencoba memahami setiap perbedaan. Beliau benar-benar terjun hingga betul-betul paham tentang aliran-aliran waktu itu. Mulai dari Bathiniyyah, Dzahiriyyah, Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawwuf bahkan Zindiq (atheis).

Bagian Kedua, Skeptis Al-Ghazali

Setelah pencarian yang cukup panjang, akhirnya Imam Al-Ghazali tidak mendapati pengetahuan yang meyakinkan, pengetahuan yang dengannya akan tersingkap segala sesuatu yang diketahui tanpa ada keraguan.

Baca Juga:  Kitab Tafsir Jalalain Karya Jalaludin Al Mahali Dan Jalaludin As Suyuti

Sampai di sini, Al-Ghazali berhepotesa hanya ada dua yang bisa meyakinkan, yakni pengamatan indera dan hukum rasional. Maka setiap persoalan yang rumit harus dipecahkan dengan pengamatan indera atau nalar rasio.

Hanya saja Imam Al-Ghazali pun kemudian ragu akan mutlaknya kebenaran pengamatan indera. Apakah indera bisa dipercaya, mengingat mata yang merupakan organ terkuat dari indera terkadang juga menipu?

Misalnya, bayang-bayang yang oleh mata tampak diam, tidak bergerak, ternyata tidak demikian. Ia bergerak sedikit demi sedikit, hingga akhirnya bergeser sepenuhnya dari tempat semula.

Begitu juga bintang-bintang yang tampak kecil, ternyata berdasarkan ilmu alam, bintang amatlah besar, bahkan ada yang melebihi Planet Bumi. Hukum kebenaran pengamatan indera pun sejauh ini mulai diragukan oleh bukti-bukti yang tak terbantahkan.

Pilihan selanjutnya, tidak ada yang bisa diandalkan kecuali pengertian-pengertian berdasarkan logika. Misalnya bilangan 10 lebih banyak daripada 3, larangan tidak akan bersatu dengan perintah, yang hadist tidak mungkin sekaligus qadim, yang ada tidak mungkin tiada pada waktu bersamaan, dan yang bersifat pasti tidak mungkin mustahil.


Akan tetapi menurut renungan Al-Ghazali, pengamatan indera pun memprotes hukum logika: Bagaimana Anda bisa memastikan bahwa hukum rasional lebih kuat daripada hukum indera? Dahulu anda percaya hukum indera, kemudian mendustakannya karena ada hukum rasio?

Baca Juga:  Kitab al Wasith fi al Madzhab Karya Imam Al Ghazali

Andaikata hukum rasio tidak muncul, anda tentu tetap percaya kepada indera. Dan siapa tahu pada saatnya nanti, akan muncul hukum lain yang bisa mematahkan kekuatan rasio.

Memang pada zaman Imam Al-Ghazali belum ada, teori ataupun hukum yang bisa membantah kebenaran logika. Tetapi itu tidak berarti tidak mungkin.

Imam Al-Ghazali pun termenung dalam skeptis (keragu-raguannya). Maka beliau pun menemukannya bahwa hukum indera meperkuat protesnya dengan mengemukakan soal mimpi: Tidakkah Anda menyaksikan dalam mimpi, bahwa hal itu benar-benar terjadi? Namun, saat terbangun, Anda sadar bahwa itu hanya ilusi belaka.

Maka boleh jadi, apa yang anda yakini sekarang, yang berhubungan dengan indera atau rasio, sebenarnya hanya berhubungan dengan kondisi saat ini saja.

Ketika dalam kondisi lain yang “lebih sadar”, Anda akan insyaf bahwa itu hanya mimpi. Dalam tingkat yang lebih tinggi, mungkin ini sama seperti yang dialami kaum sufi ketika pada kondisi tertentu mereka menyaksikan sesuatu yang sama sekali berlainan dengan hukum rasio.

Imam Al-Ghazali pun terbawa dalam keraguannya ini. Sampai belaiu susah makan, tidur bahkan tidak bisa bicara. Hampir dua bulan beliau dalam kondisi ini. Belaiu pun menggambarkan kondisinya waktu tidak ubahnya seperti kaum filosof Yunani.

Dan pada akhirnya, segala puji bagi Allah. Dia berkenan menyembuhkan Imam Al-Ghazali dari kondisi yang tidak hanya dirinya yang susah, tapi keluarga, sahabat dan murid-muridnya.

Baca Juga:  Kitab Musnad Ahmad Karya Imam Ahmad bin Hanbal

Drngan pancaran Cahaya Allah, pkiran Sang Imam kembali jernih dan seimbang, mampu menerima pengertian-pengertian yang logis. Nur Ilahi itulah yang akhirnya sebagai kunci pembukanya, termasuk untuk mencapai ma’rifat, bukan susunan argumentasi yang logis.

Bagian Ketiga, Empat Golongan Pencari Kebenaran

Para pencari kebenaran, menurut Imam Al-Ghazali bisa dikelompokkan menjadi empat golongan; Ahli Kalam yang mengklaim diri sebagai orang-orang memiliki penilaian dan penalaran independen; Kaum Batiniyyah yang mengklaim diri sebagai pemilik tunggal At-Ta’lim (perintah otoritatif) dan pewaris istimewa pengetahuan dari Imam Ma’shum; Para Filosof yang mengklaim diri sebagai ahli logika dan pembuktian apodeiktik; Kaum Sufi yang mengklaim diri sebagai ahli musyahadah dan mukasyafah.

Inilah sekilas tentang isi Kitab Al-Munqidz Min al-Dhalal, buku otobiografi Imam Al-Ghazali rahimahullah. Buku ini sangat direkomendasikan agar kita lebih akrab dengan ulama yang mempopulerkan istilah Ilmu Ladunni ini.

Faisol Abdurrahman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *