Konsep Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam

hak asasi manusia dalam perspektif islam

Pecihitam.org – Islam sebagai agama sempurna mengandung ajaran yang bersifat universal-komprehensif, serta memiliki konsep yang utuh dan terpadu sebagai jalan hidup ideal bagi umat manusia sampai bumi ini tutup usia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Permasalahan apapun di dunia ini, atau pandangan hidup baru dalam bentuk apapun yang diciptakan manusia, akan bisa dijawab oleh syariat Islam.

Dalam sudut pandang Islam, istilah ‘hak’ secara literal bermakna ‘milik’, dan ‘sesuatu yang pasti’ seperti tercantum dalam surat Yasin ayat 7; “Sesungguhnya telah pasti berlaku (haq) perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman”.

Para ahli fikih mengartikan hak sebagai perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan ketentuan syariat Islam. Secara teoritis, hak diklasifikasikan dalam trilogi spektrum, yakni hak Allah, hak hamba, dan perpaduan antara hak Allah dengan hak hamba.

Yang dimaksud dengan hak Allah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan umum, tanpa ada kekhususan bagi seseorang.

Hak ini tidak bisa digugurkan dan tak ada seorang pun yang boleh meminta agar terlepas dari hak jenis pertama ini. Boleh dikata, hak Allah ini merupakan peraturan universal dalam ranah undang-undang syariat.

Hak Allah mencakup dua macam; pertama, suatu hal yang menjadi sarana ritual dan pengagungan kepada Allah. Kedua, suatu hal yang mengandung kepentingan umum, seperti menganggulangi kriminalitas dan kejahatan. Karakteristik hak ini tidak bisa gugur, tidak bisa diubah, dan tidak bisa diwariskan.

Sedangkan yang dimaksud dengan hak hamba atau hak individu adalah hak yang berkaitan dengan kemaslahatan individu. Seperti hak memiliki harta, pemeliharaan keluarga, kesehatan, rasa aman, perlindungan dari kejahatan, pemanfaatan fasilitas publik dari negara, dan lain sebagainya.

Karakteristik dari hak ini adalah terdapat dispensasi hukum, bisa digugurkan dengan pengampunan dari pemilik hak, damai, pembebasan, atau pembolehan.

Baca Juga:  Mengatasi Islamophobia ala Nahdlatul Ulama

Dalam kenyataannya, terdapat semacam hak yang mengiris antara hak Allah dan hak manusia. Misalnya dalam kasus tuduhan zina. Tuduhan perbuatan zina merupakan dosa yang berkaitan dengan harga diri seseorang atau berujung ancaman sanksi bagi penuduh.

Ketika hukuman atas perbuatan tuduhan zina itu direalisasikan, maka akan berpotensi menciptakan kemaslahatan umum karena akan menjauhkan manusia dari perbuatan serupa.

Kesempurnaan konsep hak dalam Islam sangat tampak dalam elaborasi detailnya. Sehingga tidak ada kecerobohan dalam syariat Islam, sebab ajaran Allah tersebut berhasil menyeimbangkan antara hak Allah dan hak hamba.

Beda dengan hak yang diciptakan manusia (HAM), selain  terkesan dipaksakan, daya jangkaunya juga terbatas pada ketertiban yang bersifat kasat mata.

Terbukti, dalam konsep HAM buatan manusia, unsur-unsur spiritual dan norma-norma transendental seringkali mendapat porsi lebih kecil, bahkan cenderung diabaikan. Padahal kebutuhan manusia akan nilai-nilai religiusitas merupakan kebutuhan primer yang paling mutlak dan mendasar.

Syeikh Wahbah al-Zuhayli dalam kitabnya Fiqh Islami mengartikan hak asasi manusia sebagai segala tindakan yang bertujuan untuk memelihara kemaslahatan manusia. Baik berupa hak-hak universal, seperti hak memperoleh kesehatan, menjaga keturunan, harta, dan lain-lain, atau juga hak khusus yang berupa hak pemilik untuk menjaga harta yang dimilikinya.

Dalama konteks ini Wahbah Zuhayli menuturkan metode aplikasi hak asasi manusia dalam tataran praktis sebagai upaya pencapain keselarasan dengan tuntuan syariat. Sehingga bentuk aktivitas apapun yang membahayakan orang lain, baik secara pribadi maupun kolektif, harus dicegah karena telah keluar dari wilayah syariat.

Dalam literatur Islam juga terdapat konseptualisasi hak secara komprehensif dengan berbagai sudut pandang, di antaranya adalah hak jiwa dan hak kebebasan. Hak jiwa lebih berkaitan dengan pemeliharaan atau perawatan jiwa manusia.

Baca Juga:  Gubernur Kristen Koptik di Mesir, Bagaimana Pandangan Islam?

Misalnya, manusia harus menkonsumsi makanan dan minuman untuk mendayagunakan dirinya. Makan dan minum adalah kebutuhan pokok, yang seandainya tanpa perintah pun orang akan melakukannya. Hak jiwa ini juga dapat diperluas ke aspek hak sosial-ekomoni dan hukum-hukum yang mengatur manusia.

Selanjutnya adalah hak kebebasan. Hak ini terbagi mejadi hak kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, dan pluralitas agama.

Pertama, hak kebebasan berpikir atau intelektualitas. Dalam Islam hak jenis ini mendapatkan pengukuhan melalui teks normatif agama, misalnya dalam surat Yunus: 101, al-Baqarah: 164, al-Thariq: 6, Saba’: 46, dan al-Rum: 8, yang secara garis besar menekankan pada pengembangan akal pikiran dan intelektualitas.

Akal yang merupakan anugerah sempurna dari Allah semestinya dirawat sebaik mungkin dan tidak boleh dibiarkan sia-sia. Tanpa akal manusia akan tersingkirkan dari sejarah, dan akan merasakan hidup layaknya binatang yang tidak punya harga diri.

Kedua, kebebasan berpendapat. Sebagai hak setiap individu, dalam Islam ia mempunyai posisi yang sangat vital. Bahkan Islam mewajibkan menyuarakan pendapat atau aspirasi khususnya yang berkaitan dengan kepentingan bersama yang berbingkai dalam amar ma’ruf nahi munkar.

Namun, kebebasan berpendapat ini tidak bersifat mutlak. Islam membatasi dengan norma-norma moral agar tidak bertentangan dengan perintah dan larangan Allah.

Ketiga, pluralitas agama. Kebebasan beragama ini merupakan gambaran yang selalu digembar-gemborkan oleh para pemikir post-modern. Al-Qur’an secara tegas telah melegitimasi hak kebebasan ini sejak awal dalam surat al-Maidah: 48 yang menyatakan, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan hidup yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, nisacara kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu”.

Baca Juga:  Menyingkap Jati Diri Islam Nusantara

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah bisa saja menjadikan manusia dalam satu agama jika Ia berkehendak. Akan tetapi Allah telah menciptakan manusia dalam sebuah jalan hidup yang plural dan beragam sebagai media atau jalan pengujian bagi manusia.

Dari uraian ini tampak sekali bahwa Islam memberikan perhatian yang besar terhadap kemaslahatan manusia. Kemaslahatan bagi manusia secara universal juga dapat ditemui dalam tujuan prinsip syariat.

Prinsip itu mengatur secara lengkap terhadap semua kebutuhan manusia, baik yang bersifat elementer, komplementer, maupun suplementer. Konsep ini merupakan konsep samawi yang diproyeksikan untuk menjaga hak hidup, akal, agama, harga diri, hak milik, dan keturunan.

Sementara itu, konsep HAM dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sangatlah bersifat ‘antroposentris’ atau hanya terpusat pada manusia saja. Artinya, HAM dalam Islam merupakan hak-hak yang mengakomodir aspek vertikal dan horizontal.

Hal ini dapat dibuktikan dengan eksistensi konsep modern tentang HAM yang hanya tertumpu pada apa yang diidealkan oleh tradisi pencerahan Eropa, bahwa manusia adalah subjek bebas dan otonom.

Secara tegas, HAM dalam perspektif PBB menempatkan manusia dalam suatu kerangka di mana relasinya dengan Tuhan tidak disinggung sedikitpun. Sementara Islam menempatkan hak-hak manusia sebagai konsekuensi dari pelaksanaan kewajiban kepada Allah.

Dalam Islam, ekspresi kebebasan manusia harus ditempatkan dalam rangka keadilan, kasih sayang, dan persamaan kedudukan di hadapan Allah. Al-Qur’an sangat menaruh perhatian pada kebutuhan hak keadilan dan tanggungjawab pelakasaannya.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *