Inilah Penjelasan Lengkap Tentang Kontroversi Keabsahan Puasa di Bulan Rajab

Inilah Penjelasan Lengkap Tentang Kontroversi Keabsahan Puasa di Bulan Rajab

Pecihitam.org – Memasuki bulan Rajab – yang merupakan salah satu dari empat bulan yang mulia dalam Islam ini – ukup banyak postingan di jejaring sosial maupun pesan instan WhatsApp yang menghimbau untuk melaksanakan puasa Rajab dengan beberapa keutamaan yang ditawarkan, tentunya dengan membawakan dalil hadis.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Namun, jika ditelusuri tidak kurang pula postingan ataupun pesan WhatsApp yang menolak pengamalan puasa di bulan terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasullah – shallallahu alaihi wa salam – ini.

Tak tanggung-tanggung, mereka mengkritisi hadis tentang kesunnahan puasa Rajab ini dengan menilainya sebagai hadis dha’if, bahkan maudhu’ – tentunya dengan studi masthalah hadis yang mereka pahami.

Sehinga… jika kita ikuti diskusi di beberapa grup FB, utamnya yang memang menampilkan dua kubu yang berberda haluan, seperti grup Diskusi Terbuka Aswaja VS Wahabi, maka akan tampak bagi kita betapa seriusnya perdebatan ini.

Dengan latar belakang di atas, saya sebagai bagian kecil dari umat Islam merasa terpanggil untuk menuliskan artikel tentang kontroversi puasa di bulan Rajab ini.

Tulisan ini diformulasikan untuk mengetengahkan dua persoalan berikut:

1). apa derajat hadis yang berbicara tentang kesunnahan/keutamaan berpuasa di bulan Rajab?

2). bagimana hasil rumusan ulama madzahib al-arba’ah tentang hukum puasa di bulan Rajab?

Tulisan ini dibuat untuk menemukan jawaban dari dua persoalan di atas, yakni:

1). mengetahui derajat hadis yang berbicara tentang kesunnahan/keutamaan berpuasa di bulan Rajab.

2). memetakan hasil rumusan ulama madzahib al-arba’ah tentang hukum puasa di bulan Raja

Dengan begitu, maka artikel ini diharapkan bermanfaat untuk semakin menambah wawasan dan memantapkan hati penulis pribadi dalam melakukan ataupun menolak suatu amalan berdasarkan dalil-dalil mu’tabar dari mashadir al-ahkam al-muttafaqat (sumber-sumber hukum Islam yang disepakati)

Selain itu, semoga artikel ini menjadi salah satu jembatan pemahaman tentang ter-legimited atau tidaknya suatu amalan dalam formalisi hukum Islam.

Pada akhirnya, kami berharap mudah-mudahan artikel ini menjadi benteng kokoh yang berlapis dalam membendung setiap kelompok yang kadang dengan mudahnya membom-bardir suatu amalan di tengah masyarakat.

Artikel ini dibuat dengan menggunakan metode telaah pustaka. Maksudnya menelaaah refrensi-refrensi mu’tabarah yang bersinggungan dengan dua rumusan masalah di atas.

Maka, dalam praktiknya, tulisan ini akan menyitir kitab-kitab matan hadis beserta syarhnya, serta rumusan fiqh ulama madzahib al-arba’ah.

PEMBAHASAN

1). Hadis-hadis yang Berbicara tentang Ketamaan Puasa Bulan Rajab

a). Hadis Pertama

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ نَهْرًا يُقَالُ لَهُ رَجَبَ مَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ وَأَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ. مَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ رَجَبَ سَقَاهُ اللهُ مِنْ ذَلِكَ النَّهْرِ

Artinya: Sesungguhnya di dalam syurga terdapat sungai yang diberinama Rajab. (Warna) airnya lebih putih daripada susu dan (rasanya) lebih manis daripada madu. Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka Allah akan memberinya minum dari sungai tersebut.

b). Hadis Kedua

مَنْ صَامَ مِنْ شَهْرِ حَرَام الْخَمِيْسَ وَالْجُمْعَةَ وَالسَّبْتَ كَتَبَ لَهُ عِبَادَةَ سَبْعَمِائَةِ سَنَةٍ

Artinya: Barangsiapa berpuasa pada hari Kamis, Jumat dan Sabtu di bulan Haram/mulia (Dzluqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab), maka Allah mencatatkan baginya setara dengan ibadah selama 700 (tujuh ratus) tahun.

c). Hadis Ketiga

مَنْ صَامَ مِنْ رَجَبَ يَوْمًا كَانَ كَصِيَامِ شَهْرٍ وَمَنْ صَامَ مِنْهُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ غُلِقَتْ عَنْهُ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ السَّبْعَةِ وَمَنْ صَامَ مِنْهُ ثَمَانَيَةَ أَيَّامٍ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ وَمَنْ صَامَ مِنْهُ عَشْرَةَ أَيَّامٍ بُدِلَتْ سَيِّئَاتُهُ حَسَنَاتٍ

Baca Juga:  Hukum Mengubur Ari-ari Bayi Menurut Pandangan Islam

Artinya: Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia itu setara dengan puasa sebulan. Barangsiapa puasa tujuh hari di bulan Rajab, maka ditutup darinya pintu-pintu Jahim/neraka yang tujuh. Barang siapa berpuasa delapan hari di bulan Rajab, maka dibuka untuknya pintu-pintu syurga yang delapan. Barangsiap berpuasa sepuluh hari di bulan Rajab, maka keburukan-keburukannya diganti dengan kebaikan-kebaikan.

2). Derajat Kualitas Hadis-hadis di Atas
Setelah saya telusuri beberapa kitab matan hadis, syarhnya dan kitab-kitab Fiqh, maka saya sangat mengamini komentar yang disampaikan oleh Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi.

Ketika ditanya tentang hadis-hadis tersebut, beliau memberikan jawaban yang berisi simpulan yang akomodatif dari beberapa keterangan yang ada relevansinya dengan bahasan di atas.

Berikut kutipannya:
Hadis-hadis tersebut bukanlah termasuk hadis mudlu’ (palsu), tetapi merupakan bagian dari hadis-hadis dla’if, yang boleh meriwayatkannnya dalam hal fadla’il al-a’mal (keutamaan-keutaman suatu amalan).

Hadis yang pertama dikeluarkan oleh Abu as-Syaikh Hayyan, al-Ashbahani, Ibnu Syahin, al-Baihaqi, dan selainnnya. … Adz-Dzahabi menyebut hadis ini dalam kitab al-Mizan dan ia menilanya sebagai hadis dla’if.

Hadis kedua dikeluarkan oleh at-Thabrani, Abu Nu’aim, dan yang lainnya dengan redaksi yang berbeda-beda. Sebagian ada yang menggunakan ibadati sittina (ibadah 60 tahun) [bukan 700 tahun].

Ibnu Hajar a’Asqalani berkata: termasuk hadis asybah. Orang yang mengeluarkan termasuk muhsin. Sanad hadis ini termasuk dla’if yang dekat pada derajat hasan.

Hadis yang ketiga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab Fadlai’l al-Awqat pada Fashl fi Fadhli Syahri Rajab, dan yang lainnya dengan thuruq dan syawahid yang dha’if.

Dengan demikian, maka terang bagi kita bahwa tiga hadis di atas, yang sering kontroversial pemahaman tentangnya merupakan hadis dha’if tapi bukan hadsi palsu. Sampai di sini, permasalahan pertama, yaitu tentang derajat kualitas hadis-hadis di atas, sudah terpecahkan.

Ketrangan serupa bisa dilihat di Fatawi Ibnu Hajar al-Hatami.

3). Rumusan Ulama Madzahib al-Arba’ah tentang Hukum Puasa di Bulan Rajab

Walaupun hadis-hadis di atas merupakan hadis dhaif, namun tetap absah untuk dibawakan dalam pembahasan puasa Rajab. Karena puasa Rajab adalah ranah fadhailul a’mal, sedangkan para ahli limu telah sepakat akan kebolehan bersandar pada hadis dha’if, asal tidak dha’if jiddan dalam hal fadhailul a’mal.

Namun, ada juga kalangan yang menilai bahwa berdalil dengan hadis dhaif dalam fadhailul a’mal tidak serta-merta benar. Oleh karenanya, wajar jika mereka menolak puasa di bulan Rajab jika disandarkan pada hadis-hadis di atas.

Hal semacam ini, secara umum berlaku pada sebagian besar kalangan Hanabilah, terlebih Wahabi.

Baca Juga:  Celana Cingkrang Bukanlah Sunnah Nabi, Ini Penjelasannya

Dan, setelah membaca refrensi berkenaan dengan hukum puasa di bulan Rajab dalam Fiqh perbandingan empat madzhab, ternyata saya menemukan konsensus (kesepakatan) jumhur ulama (dari semua kalangan Hanafiah, Malikiyah, Syafiiyah dan sebagian kecil Hanabilah) yang menyatakan bahwasanya puasa pada bulan Rajab adalah sunnah.

Berikut kutipannya:
1). Madzhab Hanafi

(المرغوبات من الصيام أنواع ) أولها صوم المحرم والثاني صوم رجب والثالث صوم شعبان وصوم عاشوراء

(Puasa-puasa yang dianjurkan banyak macam). Pertama, puasa Muharram; Kedua, puasa di bulan Rajab; Ketiga, puasa di bulan Sya’ban; dan (keempat) puasa hari Asyura. (Al-Fatawi al-Hindiyah juz 1, hlm. 202)

وَمَذْهَبُ الْحَنَفِيَّةِ: أَنَّهُ مِنَ الْمُسْتَحَبِّ أَنْ يَصُومَ الْخَمِيسَ وَالْجُمُعَةَ وَالسَّبْتَ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ مِنَ الأَشْهُرِ الْحُرُمِ

Madzhab Hanfiyah: Bahwasannya termasuk disunnahkan berpuasa pada hari Kamis, Jumat dan Sabtu setiap bulan pada bulan-bulan Haram/Mulia [Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muaharram, Rajab] (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah Juz 28 hlm. 95)

2). Madzhab Maliki

يعني: أنه يستحب صوم شهر المحرم وهو أول الشهور الحرم , ورجب وهو الشهر الفرد عن الأشهر الحرم

Maksudnya disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan pertama dari bulan-bulan mulia – dan puasa bulan Rajab, yang merupakan bulan yang terpisah dari bulan-bulan mulia yang lain (maksudnya penyebutannya secara fardan (tersndiri), tidak secara sardan (berurutan) yang terjadi pada bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram).

و كذلك صوم شهر ( رجب ) مرغب فيه

Begitu juga puasa bulan Rajab, dianjurkan.

3). Madzhab Syafii

فرع: قال أصحابنا: ومن الصوم المستحب صوم الأشهر الحرم، وهي ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب

Para sahabat kami berkata: Termasuk puasa yang dianjurkan adalah puasa pada bulan-bulan haram, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. (Majmu’ juz 6 hlm. 439)

وأفضل الأشهر للصوم ) بعد رمضان الأشهر (الحرم ) ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب

Bulan-bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah bulan Ramadhan adalah bulan bulan haram, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

Dan masih banyak lagi, seperti dalam Mughni al-Muhtaj, Tuhfah al-Muhtaj, Muqaddimah al-Hadramiyyah, Tuhfah al-Habib, Hasyiyah Bujairimi ‘ala a’-Khatib, dan kitab-kitab lainnya.

4). Madzhab Hanbali
Seaca umum, ulama kalangan Hanabilah berpendapat bahwa kesunnahan berpuasa di bulan-bulan haram/mulia adalah hanya pada bulan Muharram saja.

Walaupun ada sebagian kecil yang mengatakan sunnah juga berpuasa di bulan Rajab, tetapi kebanyakan tidak. Bahkan mereka menghukumi makruh jika berpuasa di bulan Rajab dengan jalan mengkhususkannya saja.

Pendapat ini disandarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ الْحِزَامِيُّ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ عَطَاءٍ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ رَجَبٍ

Rasulullah saw. melarang untuk berpuasa Rajab.

Namun, hukum makruh ini bisa hilang jika satu hari saja di bulan Rajab melakukan fithr (tidak puasa) atau puasa di bulan-bulan lain dalam setahun walaupun bukan pada bulan setelah Rajab.

Lebih jelas, hal ini bisa dilihat dalam Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah

Berikut kutipannya:

Baca Juga:  Menarik Pemberian Pada Istri, Bolehkah Suami Melakukannya?

وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ يُسَنُّ صَوْمُ شَهْرِ الْمُحَرَّمِ فَقَطْ مِنَ الأَشْهُرِ الْحُرُمِ . وَذَكَرَ بَعْضُهُمُ اسْتِحْبَابَ صَوْمِ الأَشْهُرِ الْحُرُمِ ، لَكِنَّ الأَكْثَرَ لَمْ يَذْكُرُوا اسْتِحْبَابَهُ ، بَلْ نَصُّوا عَلَى كَرَاهَةِ إِفْرَادِ رَجَبٍ بِالصَّوْمِ ، لِمَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ رَجَبٍ. وَلأَنَّ فِيهِ إِحْيَاءً لِشِعَارِ الْجَاهِلِيَّةِ بِتَعْظِيمِهِ. وَتَزُولُ الْكَرَاهَةُ بِفِطْرِهِ فِيهِ وَلَوْ يَوْمًا، أَوْ بِصَوْمِهِ شَهْرًا آخَرَ مِنَ السَّنَةِ وَإِنْ لَمْ يَلِ رَجَبًا

Para ulama Hanbali berpendapat bahwa hanya bulan Muharram saja yang disunahkan untuk berpuasa dari bulan-bulan haram lainnya.

Sebagian menuturkan akan kesunahan berpuasa pada bulan-bulan haram. Tetapi kebanyakan mereka tidak menyebutkan akan kesunahannya.

Bahkan mereka berpendapat akan kemakruhan mengkhususkan berpuasa di bulan Rajab besarkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam melarang berpuasa di bulan Rajab. Karena itu termasuk menghidupkan syiar-syiar jahiliyah.

Kemakruhan ini menjadi hilang jika melakukan fithr (tidak berpuasa) walaupun sehari atau dengan berpuasa di bulan lain dalam tahun itu walaupun tidak berurutan dengan bulan Rajab (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah juz 28 hlm. 95)

Kesimpulan
Setelah pembahasan yang cukup panjang di atas, maka sudah jelas bahwa hadis-hadis di atas memang berderajat dhaif. Tapi tidak sampai pada dhaif jiddan, apalagi maudhu’.

Maka adalah sah berdalill dengannya dalam hal fadhailul a’mal, kendati ada kelompok kecil yang menolak itu, mungkin karena kehati-hatian mereka.

Dengan demikian, maka puasa Rajab merupakan ranah ikhtilaf furu’iyyat (perbedaan dalam hal yang tidak prinsipil) yang memang tidak boleh dipaksakan untuk disatukan.

Hal ini karena masing-masing mempunyai metodologi sendiri dalam memformulasikan hukum. Maka, selagi hal itu dibangun di atas pondasi ijtihad, maka masing-masing akan mendapatkan pahala.

Setelah tahu bahwa tentang boleh atau tidaknya berpuasa di bulan Rajab merupakan masalah furuiyyat, maka bagi kedua kubu harus bisa menghargai dan memahami pihak lain.

Karena kita ini, sejatinya adalah sama-sama muqallid yang menukil para imam baik di tingkatan ashabul aqwal maupun di tingkatan ashabul wujuh dan seterusnya.

Jika para ulama panutan kita saja yang menghasilkan sebuah rumusan pemahaman yang berbeda, tidak menghujat dan membodohkan pihak lian, maka bagaimana mungkin kita akan sok pintar, seolah-olah berlagak mujtahid muthlaq mustaqil, yang kemudian dengan sembrono dan gegabahnya menyerang amaliah pihak lain? Wallahu a’lam bisshawab!

Faisol Abdurrahman