Ibu kita Kartini Putri Sejati, Putri Indonesia Harum namanya, Ibu Kita Kartini pendekar bangsa, pendekar kaumnya untuk merdeka.
Pecihitam.org – Lirik lagu “Ibu Kita Kartini” ciptaan Wage Rudolf Supratman tersebut memang terasa heroik. Menyiratkan besarnya perjuangan Kartini untuk memerdekakan kaumnya. Perempuan.
Mulia indah cantik berseri, kulit putih bersih merah di pipimu, Dia Aisyah putri Abu Bakar Istri Rasulullah.
Sedangkan lirik lagu yang kedua ini beberapa hari terakhir menjadi trending dan kabarnya sampai 5 April 2020 telah ditonton 18 juta kali di YouTube.
Kedua lagu yang menceritakan mengenai dua perempuan Istimewa tersebut setidaknya dalam dua pekan terakhir ini memang akrab di telinga kita orang Indonesia. Kartini adalah pahlawan kemerdekaan nasional melalui ketetapan pemerintah Indonesia pada 2 Mei 1964.
Perjuangannya menginspirasi bangsa Indonesia, terutama kaum perempuan. Tulisan-tulisannya yang bernas, berani dan banyak berbicara mengenai kesetaraan hak bagi perempuan berhasil mencuri perhatian cendekiawan Balanda Jacques Henri Abendanon yang kemudian menerbitkan tulisan tersebut dalam sebuah buku legendaris berjudul “Door Duisternis tot Licht” (Dari Kegelapan Menuju Cahaya).
Sementara Aisyah dikenal sebagai ummul mukminin. Istri baginda Nabi. Salah seorang perawi hadits terbanyak. Ia adalah simbol kecerdasan wanita muslim. Tirmidzi misalnya meriwayatkan; Musa bin Talhah bekata: “Aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih fasih berbicara daripada Aisyah”. Tata peribadatan dalam syari’at keIslaman yang berkaitan dengan perempuan banyak merujuk pada riwayat hadits Aisyah.
Karena keduanya istimewa, utamanya bagi Muslim Indonesia, banyak yang terinspirasi oleh keduanya. Bentuk ekspresinya pun beragam, salah satunya dalam bentuk lagu. Pertanyaannya, mengapa lirik lagu seputar kedua wanita Istimewa tersebut berbeda.
Lirik lagu “Ibu Kita Kartini” terasa lebih heroik, lebih bernas, sementara lirik lagu “Aisyah Istri Rasulullah” tampak lebih romantis, seolah-olah yang lebih menonjol dari Kartini adalah kisah kepahlawanannya, sementara yang lebih menonjol dari Aisyah adalah romantismenya.
Penting diketahui, WR Supratman menggubah lagu “Ibu Kita Kartini” berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari tulisan-tulisan Kartini yang dibukukan oleh Abendanon. Tulisan tersebut adalah buah fikiran Kartini hasil renungannya terhadap realitas soial kultural masyarakat Indonesia yang ia temui, terutama kaum perempuan yang memang faktanya lebih banyak tertindas dan menjadi subversi kaum adam.
Dikutip dari harian Kompas 21 April 1991, sejarah lagu Ibu Kita Kartini bermula dari Kongres Wanita Indonesia pada 22 Desember 1929. Tanggal yang kemudian hari ditetapkan oleh presiden Sukarno sebagai hari ibu melalui Dekrit Presiden RI No. 316 tahun 1953. Supratman sendiri hadir pada kongres tersebut.
Ia kemudian berinisiatif menciptakan lagu Ibu Kita Kartini. Ia pun masyhur dikenal sebagai pencipta lagu-lagu nasional. Lagu Indonesia Raya adalah satu dari sekian sumbangan karyanya untuk Indonesia. Konteks tersebut memberikan informasi kepada kita bahwa aroma nasionalisme dalam lagu “Ibu Kita Kartini” memang sangat kuat.
Sementara lagu “Aisyah Istri Rasulullah” tidak bisa tidak pasti merujuk pada berbagai periwayatan para sahabat dan tabi’it-tabi’in mengenainya. Tidak ada informasi yang paling ensiklopedis mengenai tokoh-tokoh utama Islam generasi pertama termasuk di dalamnya Aisyah kecuali pada berbagai periwayatan tersebut. Peradaban Arab-Islam memang peradaban teks. Salah satu poros utama peradaban ini adalah teks. Bahkan Al-Qur’an sebagai sumber primer otoritatif bagi Muslim juga berbentuk teks.
Ia (baca: teks) mewakili salah satu mekanisme budaya dan peradaban Arab-Islam yang penting dalam memproduksi pengetahuan. Setiap Bangsa memiliki peradabannya masing-masing. Peradaban Mesir Kuno adalah peradaban “Pasca Kematian”, peradaban Yunani adalah peradaban “akal”, sementara peradaban Arab-Islam adalah peradaban “teks”.
Jika kita merujuk pada penjelasan Abid al-Jabiri mengenai tipologi Nalar Arab melalui bukunya “Naqd al-Aql al-Arabiy, al-‘Aql al-Siyasiy al-Arabiy” al-Jabiri membagi struktur Nalar Arab Islam dalam kritiknya menjadi tiga tipologi utama. Burhani, Irfani dan Bayani. Yang terakhir ini dalam pengertian bebas merujuk pada pola pikir yang bersumber pada nash atau “teks”.
Tatkala teks menjadi inti bagi suatu peradaban atau kebudayaan, maka dapat dipastikan interpretasi akan menjadi metode, utamanya dalam menafsirkan dan memaknai teks-teks kebudayaan dan peradaban dalam rangka memproduksi pengetahuan baru. Dan ketika interpretasi menjadi suatu metode, maka dapat dipastikan pula akan terjadi keberagaman interpretasi di sana.
Jika kita merujuk pada magnum opus Nasr Hamid Abu Zayd “Mafhum an-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an, Naqd al-Khitab al-Din” di sana ia menjelaskan bahwa perbedaan dan keragaman interpretasi tehadap suatu teks disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah horizon. Yang dimaksud dengan horizon di sini adalah horizon epistemologi yang digunakan oleh seseorang dalam menangani teks.
Atau dengan kata lain, bagaimana suatu teks akan berbunyi, maka bergantung pada siapa yang membunyikan teks tersebut. Hal inilah yang menimbulkan multi tafsir atau multi interpretasi terhadap teks. Teksnya hanya satu, akan tetapi interpretasinya bisa beragam.
Pendek kata, di mata orang yang romantis maka sebuah teks akan dibunyikan romantis. Ini tidak berarti teks hadits atau riwayat yang menceritakan mengenai kehidupan Aisyah mengalami disorientasi interpretasi, hanya saja riwayat tersebut menjadi begitu romantis dan melankolis bagi sang pembaca yang romantic tersebut.
Dan ini sebenarnya tidak salah. Di mata pakar fiqih misalnya, teks pun akan cenderung ke fiqh oriented. Di mata sejarawan maka teks memiliki keberagaman latar belakang hisitoris yang akan tersaji, dan seterusnya.
Jadi horizon epistemologi pembaca akan berpengaruh besar terhadap interpretasi suatu teks atau periwayatan. Menjadi sangat logis sekali manakalah lagu Aisyah yang menjadi trending di Indonesia kemudian muncul berbagai versi tandingannya yang lebih menonjolkan sisi intelektualitas Aisyah misalnya, atau kepahlawanannya, atau sisi-sisi lain yang sesuai dengan horizon epistemologi pembaca.
Perbedaan interpretasi terhadap teks selama masih dalam koridor teks yang diinterpretasikan adalah sesuatu yang biasa terjadi dan tidak perlu menjadi perdebatan panjang mengingat peradaban agama ini (baca: Islam) adalah peradaban “teks”.
Akhirnya, terlepas dari perbedaan konteks penciptaan kedua lirik lagu di atas, masing-masing tokohnya punya jalan perjuangannya masing-masing. Jika Kartini adalah wajah emansipasi wanita. Aisyah adalah wajah religi. Kebetulan sekali keduanya cocok dengan karakteristik adat ketimuran wanita Indonesia.