Lima Faktor Pemicu Munculnya Gerakan Radikalisme

faktor penyebab gerakan radikal

Pecihitam.org – Akhir-akhir ini realitas semangat keberagamaan umat Islam Indonesia menunjukkan tren yang sangat positif dengan semakin meningkatnya berbagai kegiatan keagamaan. Tidak hanya dalam bentuk ibadah mahdhah tetapi juga dalam bentuk ghairu mahdhah seperti terlihat dalam berbagai kegiatan majelis ta’lim, zikir akbar, dan lain-lain yang tidak hanya dilakukan oleh pihak-pihak swasta tetapi juga oleh kalangan pemerintah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kebangkitan semangat beragama ini menjadi fenomena menarik karena terjadi persis ketika orang berfikir bahwa kekuatan rasional (rational forces) sains dan teknologi telah berhasil menepikan misteri spiritual (spritual mystery) dari kerangka berfikir manusia moderen.

Dan ketika manusia moderen mulai sadar bahwa kecukupan materi tidak dapat memenuhi kebahagian manusia, maka pada saat itulah justru kebangkitan semangat beragama mendapatkan momentumnya.

Namun demikian, satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa salah satu realitas yang menonjol dari fenomena kebangkitan beragama tersebut adalah menguatnya gerakan keagamaan yang mempunyai karakter fundamental-radikal yang mengusung simbol-simbol militansi agama.

Berikut ini lima faktor yang dapat memicu gerakan radikal, diantaranya sebagai berikut :

Pertama, Faktor internal keberagamaan. Faktor ini secara khusus terkait dengan pemahaman dan interprestasi terhadap konsep-konsep dasar Islam dan konsep-konsep perjuangan, seperti konsep jihad yang dipahami oleh kelompok radikal Islam yang tidak hanya sebagai bentuk perjuangan dakwah Islam, tetapi lebih jauh dipahami sebagai bentuk perlawanan (perang) terhadap musuh-musuh idelogis Islam (kaum kafir).

Baca Juga:  Jokowi: Pemerintah Akan Tindak Tegas Kelompok Radikal dan Intoleran

Kedua, Faktor eksternal sosio-politikultural. Faktor ini secara khusus menjelaskan tentang hegemoni politik, ekonomi dan budaya Barat (non Islam) terhadap umat Islam yang dianggap membahayakan Islam dan umat Islam. Bagi kalangan fundamentalis ide-ide modernisme Barat dianggap telah mendistorsi tradisionalisme mereka.

Ketika ide-ide modernisme memasuki ranah kehidupan dan ideologi umat Islam maka harus dilakukan upaya-upaya membendung modernisme karena akan membuat ide-ide tradisional fundamentalis mereka akan menjadi menguat dan mempunyai daya tarik tersendiri.

Ketiga, Faktor Psikologis. Melalui efikasi, Radikal dan Agresif dalam psikologi politik atau gerakan sosial, seseorang merasa bahwa dirinya penting, punya kemampuan, dan berarti untuk melakukan sesuatu yang diharapkan. Ada optimisme di situ yang merupakan energi psikologis pendorong (psychological driving force) suatu tindakan, yang dalam konteks politiknya dijadikan sebagai konteks aktivitas islamis (Islam gerakan – the Islamists).

Keempat, Dendam Politikultural. Faktor ini menjelaskan kepada kita bahwa munculnya gerakan reformasi Islam di beberapa negara-negara Arab ketika berakhirnya Kesutanan Turki Utsmani. Gerakan ini berusaha untuk memurnikan ajaran-ajaran dan praktek keagamaan umat Islam yang sekian lama terpengaruh oleh hegemoni kultur Barat yang mereka anggap sebagai budaya setan (evil cultur).

Baca Juga:  Sekretaris FKPT: Kyai dan Pemuda Harus Jaga NKRI dari Radikalisme

Hegemoni ini tentu tidak terlepas dari kekuatan politik Barat yang hari ini telah mengalahkan kekuatan politik dunia Islam. Oleh karenanya kultur Barat haruslah dijauhi dan dianggap sebagai musuh, dan mereka harus diperangi sebagai balasan atas penindasan mereka terhadap umat Islam.

Gerakan yang sama muncul juga di beberapa daerah Islam lainnya, seperti Gerakan Salafi yang menjadi representasi Wahabisme, Gerakan Mahdi di Sudan, Gerakan Sanusi di Afrika Utara, dan juga termasuk Gerakan Persatuan Islam di Indonesia.

Kelima, Faktor Sejarah. Faktor sejarah ini tentu saja berpengaruh pada pembentukan hukum Islam yang dimulai sejak abad ke 2 H atau abad ke 8 M dimana para ahli hukum (fuqaha) banyak memasukkan berbagai logika realitas sosial, politik dan ekonomi.

Pada masanya ke dalam interprestasi-interprestasi yang mereka lakukan terhadap Alquran dan hadis Nabi. Praktek-praktek kebenaran yang pada awalnya memang murni untuk kebaikan, namun kemudian berubah menjadi kebenaran yang digunakan untuk kejahatan (kebatilan) yang pada gilirannya melahirkan ilmu retorika bias politik yang dikuasai oleh kekhalifahan atas kepentingan relasi politik dan ekonomi.

Baca Juga:  Ketika Kita Mau Memandang "Wajah Menyeramkan" Ideologi Wahabi

Dari sejarah itulah lahir panji-panji palsu yang menggantungkan segala sesuatu kepada kepastian qadha dan qadhar secara artifisial dengan merubah konsep jihad menjadi perang eksternal dan penaklukan melalui ekspansi militer dan kekuatan senjata dengan cara membunuh pelaku makar hukum, dan mengarahkan peperangan eksternal atas nama jihad dan dakwah.

M. Dani Habibi, M. Ag