Begini Makna Kafir yang Terdapat dalam Kajian Ilmu Tafsir Al-Quran

Begini Makna Kafir yang Terdapat dalam Kajian Ilmu Tafsir Al-Quran

PeciHitam.org Islam bukan hanya berperan sebagai agama tauhid, dogmatis, syari’at, pengatur hubungan antar manusia (muammalah) tetapi juga agama Ilmu Pengetahuan. Allah SWT lebih meninggikan derajat orang yang berilmu dibandingankan dengan orang ahli Ibadah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ulama atau orang berilmu lebih tinggi derajatnya disisi Allah SWT dibandingkan Abid, Ahli Ibadah dengan tidak memahami Ilmu. Dasarnya tidak kurang banyak diungkapkan dalam kitab ta’lim muta’alim tentang keunggulan orang berilmu.

Tidak terkecuali dalam memahami sebuah istilah dalam Al-Qur’an memerlukan ide dan pikiran Ulama, bukan hanya sekedar retorik hebat. Karena dengan menggunakan kacamata Ilmu Pengetahuan, Islam berada dalam track benar tidak mengikuti jalan jahiliyah.

Oleh karenanya, dalam memahami Istilah kafir dalam Islam, memerlukan telaah akademik bukan hanya melihat dari Istilah umum. Kafir dalam kajian tafsir banyak memiliki dimensi makna dan sudut pandang dengan berbagai perspektif hukum yang bermacam-macam.

Daftar Pembahasan:

Standar Kebenaran Adalah Ilmu

Kafir umumnya dipahami oleh khalayak luas sebagai orang yang tidak beragama Islam. Istilah benar, akan tetapi tidak mewakili sebuah istilah dengan cakupan yang lebih luas. Kelemahan pikiran seseorang di Indonesia adalah memahami sebuah Istilah hanya menggunakan 1 bentuk makna.

Model pemaknaan ini sering disebut Generalisir atau gebyah uyah, beranggapan semua istilah sama dalam berbagai bentuk posisi kalimat berbeda. Pikiran Ulama tentunya berbeda dengan pemikiran yang dimiliki orang umum, karena memiliki pandangan akademik.

Membedakan antara seorang Ulama dalam artian Ilmuan dengan disiplin Ilmu pengetahuan dan ‘Ulama’ yang hanya sekedar mempunyai massa/ jamaah pendukung kiranya bisa ditimbang melalui ayat surat Al-Israa’: 36;

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا (٣٦

Maksudnya yakni jangan sampai orang Islam mengikuti orang bodoh tanpa pengetahuan mumpuni atas sebuah perkara. Karena setiap anggota tubuh akan dimintai pertanggung jawaban dihari kiamat

Ayat ini jelas menunjukan ukuran profesionalisme dalam Islam. Ukuran Ulama yang dapat diikuti adalah mereka yang memiliki kompetensi keilmuan yang mumpuni. Maka segolongan orang yang  tidak memiliki kompetensi keilmuan tidak bisa dikategorikan sebagai Ulama.

Ulama Ahli tafsir dirayah dan riwayah berbeda pendapat dalam mengartikan term kata (عِلْمٌ) apakah merujuk keilmuan agama atau Ilmu secara umum.

Terlepas tentang Ilmu yang dimaksud dalam surat di atas, akan tidak ada sangkalan bahwa seorang dalam berpendapat harus berdasarkan disiplin Ilmu pengetahuan. Jika berpendapat hanya berdasarkan argumentasi pendapat pribadi, tentu tidak bernilai kuat.

Baca Juga:  Hukum Menikahi Wanita di Bawah Umur, Bolehkah? Ini Pendapat Ulama

Dalam konteks Ilmu pengetahuan, standar kebenaran adalah Ilmu atau kompetensi yang dimiliki. Kiranya orang yang memiliki keilmuan mantap akan memiliki nilai kebenaran lebih kuat dan mantap.

Berbeda dengan kebodohan akan sangat erat pada ketidak-pahaman dan ketidak-tahuan. Ini derajat orang yang berilmu dibandingkan dengan orang tidak berilmu.

Kata Kafir dalam Al-Quran

Al-Qur’an, sumber pengetahuan yang berdasarakan wahyu Rabbaniyah tidak menyebutkan kata kafir dalam bentuk makna tunggal. Banyak sekali ayat yang menunjukan tentang penggunaan kata kafir. Penggunaan kata kafir dalam berbagai bentuk bukan hanya merujuk kepada golongan yang mengingkari Islam sebagai agama mereka.

Setidaknya kata dasar dari dari Kafir adalah KAFARA (كفر) yang bisa berubah bentuknya sesuai dengan wazn perubahan kata bahasa Arab. Banyak sekali wazn yang dapat menjadi acuan untuk merubah kata Kafara dengan berbagai bentuk. Al-Qur’an menyebutkan Istilah Kafara dalam beberapa ayat berikut;

وَلَقَدْ صَرَّفْنَاهُ بَيْنَهُمْ لِيَذَّكَّرُوا فَأَبَى أَكْثَرُ النَّاسِ إِلا كُفُورًا (٥٠

Artinya; “Dan Sesungguhnya Kami (Allah) telah menggilirkan hujan itu diantara manusia supaya mereka mengambil pelajaran (dari padanya); Maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali mengingkari (nikmat). (Qs. Al-Furqan: 50)

Ayat Al-Furqan di atas menyebutkan kata (كُفُورًا) dalam bentuk Nasb dengan kata dasarnya (كُفُور)-Kufuur. Bentuk kata (كُفُور) adalah bentuk Mashdar (kata benda) dari kata kerja Kafara. Ayat lain yang menyertakana kata kafara adalah;

كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ (٢٠

Artinya; “Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras” (Qs. Al-Hadid: 20)

Pada ayat Al-Hadid tersebut, Allah menggunakan struktur bentukan kata kafara dengan kata jadian (الْكُفَّار) yang menjadi bentuk Jamak dari kata Kafir. Akan tetapi tidak serta merta merujukan makna orang tidak beriman kepada Allah SWT. Ayat lain tentang Kafir;

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ (١٩٣

Baca Juga:  Menjawab Tuduhan Salafi Wahabi Tentang Tuduhan Syirik Menggunakan Jimat

Artinya; “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, Maka Kamipun beriman. Ya Tuhan Kami, ampunilah bagi Kami dosa-dosa Kami dan hapuskanlah dari Kami kesalahan-kesalahan Kami, dan wafatkanlah Kami beserta orang-orang yang banyak berbakti” (Qs. Ali Imran: 193)

Makna yang dituliskan oleh Kementerian Agama dalam  konteks surat Ali Imran ayat 193, tidak menunjukan kata Orang tidak beriman untuk makna (كَفِّرْ).

Ayat-ayat ini menjadi bukti bahwa Istilah kafir/ kafara bukanlah sebuah Istilah tunggal yang hanya bermakna Orang Tidak Beriman kepada Allah SWT, sebagaimana alam pikiran orang banyak.

Tentunya peran Ulama yang berpengetahuan mutlak harus hadir mengisi ruang dimasyarakat. Banyak masyarakat yang tidak memahami sebuah istilah dalam bentuk keragaman makna karena ‘berguru’ kepada Ulama yang tidak bersanad dan sekedar Otodidak belajar agamanya. Naudzubillah

Makna Kafir dalam Kajian Tafsir

Makna kafir haruslah merujuk pada kajian akademis misalnya tafsir, tidak bisa hanya berdasarkan rasa kebencian dan ketidak-sukaan. Kata dasar dari dari Kafir adalah KAFARA (كفر) yang bisa berubah bentuknya sesuai dengan wazn perubahan kata bahasa Arab.

Dalam memahami bentuk makna, perlu memahami bentuk perubahan kata kafara sesuai Ilmu Sharf. Perangkat Ilmu bernama Sharf yang banyak diajarkan dipesantren salafiyah untuk menghindari kesalahan atau meminimalisirnya.

  1. Dalam kamus Munjid fi Lughah wal A’lam disebutkan bahwa makna kafara ‘Menutupi, Mengahalangi’, sebagaimana buku membutuhkan cover atau sampul. Kaitan bahasa Arab dan Inggris tentang istilah kafara dan Cover memberi pengertian tentang makna dasar kafir adalah ‘Menutup/ menghalangi sesuatu’.
  2. Sedangkan menurut Syaikh Al-Jurjani menyebutukan bahwa Kafir adalah ‘perbuatan menutup diri dari Nikmat Allah SWT dengan tidak menyukurinya’. Sebagaimana dalam al-Qur’an disebutkan;

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (٧

Surat Ibrahim ayat 7 ini menjelaskan jika kita bersyukut kepadaNya, maka akan ditambah NikmatNya, sedangkan jika kita ‘Kufur’/ mengingkari dan menutup diri dari Nikmat Allah, maka ada ancaman siksaNya yang pedih.

Kata kafir dalam ayat ini adalah kebalikan orang bersyukur, bukan kebalikan dari orang yang tidak beriman. Sama halnya dengan makna yang terkandung dalam ayat Al-Furqan ayat 50 “كُفُورًا” yang bermakna ‘Mengingkari’.

Baca Juga:  Benarkah Istri-istri Rasulullah Merupakan Para Janda yang Sudah Nenek-nenek?

كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ (٢٠

Artinya; “Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras” (Qs. Al-Hadid: 20)

  1. Makna selanjutnya kata kafir adalah pertani yang sering bekerja diladang. Petani menanam tanaman biji-bijian dengan membuat lubang dan meletakan biji tersebut didalamnya. Kemudian petani akan menutupnya dengan tanah agar tetap terjaga kelembaban untuk tumbuh.

Proses menutup dengan tanah yang dilakukan petani disebut dengan kata (الْكُفَّارَ). Jadi kata Kuffar disini merujuk pada tindakan menutup biji-bijian dengan tanah, dan kata kuffar untuk menunjukan orang yang melakukan kegiatan menutup biji dengan tanah untuk bercocok tanam.

  1. Kata kafara yang bermakna golongan masuk Neraka

Dasar ayat yang menyatakan bahwa kafir akan masuk neraka setidaknya merujuk pada ayat surat Al-Hajj ayat 72;

Artinya; “Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah: “Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, Yaitu neraka?” Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali” (Al-Hajj: 72)

Kafir dalam kerangka ayat ini jelas merujuk kepada mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT, sebagaimana orang musyrik Makkah. Rujukan Istilah kafir untuk menyebut orang yang masuk neraka kiranya bisa dengan dalil ayat ini, akan tetapi menyama-ratakan hukum penggunaan kata kafir dalam berbagai bentuk ayat menunjukan ketidak-cerdasan orang tersebut.

Karena dimensi makna kafir sangat banyak walaupun memiliki unsur filosofis sama, yakni ‘Menutup/ Menghalangi’.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan