Manhaj Salaf ala Wahabi Hanyalah Sebatas Pengakuan Sepihak Mereka Saja

Manhaj Salaf ala Wahabi Hanyalah Sebatas Pengakuan Sepihak Mereka Saja

Pecihitam.org – Nama Salafi atau yang terkenal dengan pengakuannya sebagai mengikuti Manhaj Salaf ini, selain menimbulkan polemik tentang definisi bid’ah dan pembagian tauhid, sebagian golongan yg muncul paling belakangan memang dikenal dengan sifat plin-plan dan kontradiksinya. Ini karena mereka seringkali tidak konsisten dalam mengambil sumber hukum.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Walaupun mereka selalu berkata bahwa mereka mengambil dan mengikuti pemahaman manhaj salaf dalam masalah Aqidah dan Syari’at. Karena pada faktanya ketika ada fatwa seorang sahabat yang berbeda dengan “pemaham akal” Fatwa Ala Wahhabi atau seorang ulama WAHABI, maka mereka cenderung mengambil pendapatnya sendiri dengan ‘mencampakkan’ fatwa sahabat tersebut, seperti pada kasus Seorang Mufti dibawah ini.

(beberapa contoh kasus ini diambil dari beberapa dialog antar golongan sempalan yang berbantahan dengan sebuah partai politik yang berideologi Islam di Indonesia dan ini merupakan gambaran berikutnya bahwa sempalan yang mengklaim dirinya sebagai mengikuti Manhaj Salaf ini tak pernah harmonis dengan siapapun atau golongan apapun bahkan dengan sekte-sekte sesusunya sekalipun).

Sebagai bukti mereka hanya mengikuti Manhaj Salaf sebatas pengakuan adalah seseorang pernah menyusun buku tentang hukum memelihara janggut. Didalamnya dia menyebutkan pendapat Ibn Hurairah, ibn Umar, maupun sahabat-sahabat lainnya tentang kebolehan memotong sebagian janggut jika panjangnya melebihi satu genggam. Maka Mufti itu berkomentar: “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah dan pendapat Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW” !! (Majalah Hidayatullah edisi 03\\XVII\\Juli 2004; hal. 40-41).

Jika seperti itu kenyatannya, lalu mana slogan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf Ash-Sholeh (Sahabat, tabi’in dan Tabi’ut tabi’in)? Manhaj Salaf yang bagaimana sebenarnya yang mereka ikuti?

Golongan sempalan yang mengaku sebagai pengikut Manhaj Salaf ini dengan berani mengklaim’ bahwa ‘pemahaman Ketua Mufti itu, dkk lebih baik dari pendapat dan fatwa Para Sahabat yang mulia ini! Dan menyatakan bahwa mereka (para ulama salafi palsu) lebih mengetahui hadis Rasul SAW dibandingkan para sahabat yang mulia ini, yang senantiasa menemani, melihat dan mendengar perkataan, perbuatan, serta taqrir Rasul SAW !!

Lalu dengan beraninya, ia berkilah lagi bahwa hadis itu belum sampai kepada Sahabat tersebut. Tapi malah sudah sampai pada Sang Pentashih Hadits Abad ini, Mufti itu dan kawan-kawan? Seakan-akan golongan sempalan Manhaj Salaf ini menyatakan bahwa para ulama salafi palsu ini mengklaim diri merekalah yang ‘lebih nyalaf’ dibandingkan para Salaf As-Sholeh itu sendiri !

Dan banyak lagi kasus ulama pengikut manhaj salaf sebatas pengakuan yang lebih mengunggulkan pendapatnya sendiri, ketika pada saat yang bersamaan terdapat pendapat dari Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in yang berbeda dengan pendapat mereka. Sebagaimana contoh berikut:

“Pada suatu pelajaran, Abdullah Sang Mufti Manhaj salaf atau yang menyebut dirinya salafi ini pernah menyatakan bahwa membolehkan pernikahan dengan ahlul kitab dengan persyaratan. Sebagian mahasiswa yang mengikuti pelajaran itu berkata: “Wahai Syeikh, sebagaian Sahabat melarang hal itu!”. Beliau menoleh kepada Mahasiswa itu, lalu berkata: “Apakah perkataan Sahabat menentang Al-Qur’an dan As-Sunnah? Tidak berlaku pendapat siapapun setelah firman Allah SWT dan sabda Rasul-Nya“ (Majalah Hidayatullah edisi 03\\XVII\\Juli 2004; hal. 40-41).

Lalu bagaimana bisa, golongan sempalan ini mengklaim mengambil manhaj Salaf dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana pemahaman sahabat, sementara pada saat yang bersamaan menolak dan mencampakkan pendapat mereka? Seraya melontarkan kata-kata keji yang menodai kemulian para Sahabat ini yang telah ditetapkan dengan nash Al-Qur’an dan Al-Hadis, dengan ucapan: “Hadis shahih ini belum sampai pada mereka’, atau ‘apakah anda akan memilih pendapat sahabat atau hadis Rasul SAW’ “!! Sehingga menurut orang-orang salafi palsu ini, seakan-akan mereka para sahabat ini adalah orang awam yang tidak pernah mendengar apalagi mendapat hadis dari Rasul SAW! Manhaj salaf macam apakah yang mereka inginkan?

Cukuplah hadis Rasulullah SAW untuk menghakimi perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan mereka: “Jika anda melihat orang-orang yang mecela sahabatku, maka katakanlah; Laknat Allah atas keburukanmu” (HR. AT-Tirmidzi)!!!

Jadi pengakuan mereka sebagai pengikut Manhaj Salaf justru menjadi ancaman jika mereka hanya bertolak dengan akalnya sendiri.

Lalu bagaimana juga dibisa katakan bahwa hasil pemahaman akal Sang Mufti yang mengaku bermanhaj Salaf ini, Pendloif Hadits, dkk atas nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah selalu mewakili pendapat dan pemahaman Salaf atau dikatakan sebagaimana pemahaman para sahabat?!,

Seperti yang dilakukan oleh Sang Mufti ketika ia mengomentari banyak persolan yang diulas oleh seseorang dengan menyebutkan, menurut madzhab ini begini dan menurut madzhab itu begitu. Lalu dia berkomentar: “Bagi kami tidak berpendapat berdasarkan madzhab ini dan madzhab itu. Kami berpendapat dengan firman Allah SWT dan sabda rasul SAW “(Majalah Hidayatullah edisi 03\\XVII\\Juli 2004; hal. 40-41).

Baca Juga:  Dulu ke Sekolah Salafi Wahabi, Kini Mantan Teroris Masukkan Anaknya ke Sekolah Negeri

Apakah para usiliyyun bermanhaj salaf itu tidak mengetahui, dari mana para ulama ahlussunnah ini mengambil pendapat madzhabnya? Mereka mengambil pendapatnya dari Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll!, dan inilah sebenarnya mereka yang mengikuti manhaj salaf yang sebenarnya, walaupun tidak pernah mengklaim dirinya sebagai pengikut manhaj salaf.

Kitab Al-Muwatho karya Imam Malik (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’ tabi’in di Madinah, lalu
Fathur Rabaninya Imam Ahmad Ibn Hambal yang berisi ribuan hadis nabi SAW, bahkan ketika beliau ditanya apakah seorang yg hafal 100 ribu hadis boleh berijtihad sendiri, Imam Ahmad menjawab: ‘Belum boleh’. Lalu beliau ditanya lagi: ‘apakah seorang yg hafal 200 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’, Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Ketika beliau ditanya kembali: ‘apakah seorang yg hafal 400 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’, lalu Imam Ahmad menjawab: ‘boleh’. Bahkan Imam Abu Hatim sampai menyatakan bahwa mencintai Imam Ahmad adalah pengikut Sunnah. Abu Hatim berkata : “Jika anda lihat seseorang mencintai Imam Ahmad ketahuilah ia adalah pengikut Sunnah.” (As-Siyar A’lam An- Nubala’ 11/198).

Lalu apakah tidak boleh seseorang yang mengambil pendapat Imam Malik (yang menjadi pewaris manhajnya para salaf, yakni Sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in); lalu Imam Ahmad (yang hafal 400 ribu hadis), imam syafii yg menulis kitab Al-Umm, Ar-Risalah (yang juga berisi ribuan hadis); dan Imam Abu Hanifah yg menulis kitab Al-Mabsuth dll (yang berisi juga hadis-hadis dan fatwa Salaf Ash-Sholeh) dan Ulama Mujtahid lainnya ?

Apakah ketika ada seseorang mengambil salah satu pendapat Imam Asy-Syafii, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll dikatakan sebagai Ahlut Taqlid, sedang ketika mereka mengambil dari Sang Mufti dkk, disebut sebagai muttabi (pengikut) Manhaj Salaf ?! Lalu adakah salah satu ulama sempalan yang punya karya melebihi al-Muwatho Imam Malik, atau yg hafal hadis lebih dari 400 ribu seperti Imam Ahmad, atau kitab fiqh sunnah seperti Al-Umm atau Al-Mabsuth !!! Tidak ada !!! Lantas bagaimana kelompok sempalan ini bisa mengatakan sebagai pengikut manhaj salaf?

Sungguh ucapan seperti ini merupakan bentuk kekurang ajaran kepada para Ulama Mujtahid yang dilontarkan dari generasi terakhir yang sama sekali tidak mencapai barang secuilpun dari ilmu para Imam Mujtahid (yang sering sok tahu dengan mengklaim paling berpegang dengan manhaj Salaf !!!), dan pada saat bersamaan menuduh para ulama alussunnah yang mengambil pendapat para Imam Mujtahid sabagai Ahlut Taqlid.

Padahal sebenarnya Imam Mujtahid inilah yang paling layak disebut sebagai pewaris madzhab Salaf dalam Aqidah dan fiqh karena dekatnya mereka dengan masa Sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin dan banyak ahli ilmu pada masa itu !

Tidak cukup sampai disini tatkala ada seseorang atau kelompok menukil atau mengambil pendapat Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll, yang berbeda dengan pemahaman seorang tokoh yang mengaku berpegang dengan manhaj salaf, maka serta merta kelompok pengaku bermanhaj salaf ini biasanya akan mengatakan: “tinggalkan pendapat Syafi’i atau Hanafi, dan ambilah hadis shohih ini yang telah ditakhrij oleh Pentashih Hadits abad ini dalam Silsilah Ahadits Ash-Shohihah atau Adh-Dhoifah!”.

Lalu seakan-akan kelompok sempalan itu menuduh Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali adalah ‘anak kemarin sore’ yang tidak tahu dalil, apalagi hadis shohih dan dhoif, lalu untuk memperkuat argumentasinya biasanya dinukil ucapan Para Imam Ini; spt Imam Syafi’i : “Jika ada hadis shohih, maka tinggalkan pendapatku” atau ucapan Imam Hanafi atau Maliki yang serupa – (tentunya dengan pemahaman yang tidak pada mestinya dan merasa ‘ke pe-de-an’)!

Padahal, sebenarnya para Imam ini tetap berhujjah dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis, dimana yang membuat pendapat mereka berbeda bisa karena:

Perbedaan metode Ushul Fiqh untuk istimbath (mengekstraksi hukum-hukum dari dalil-dalil syara), atau mereka berbeda dalam menghukumi apakah nash ini apakah sudah mansukh dan hukum yang baru ditentukan dengan nash yang lain, atau mereka berbeda tentang status keshahihan sebuah hadis atau sebab lain. Itupun jika para pengaku dirinya berjalan diatas manhaj salaf ini memang mau mencari Al-Haq dangan hujjah yang terkuat dan melepaskan ‘ruh ta’asub !!

MANHAJ SALAF SEBATAS PENGAKUAN

Disisi lain, ulama Kaum Manhaj Salaf sebatas pengakuan ini juga kadang melakukan penukilan ‘khianat’ dari para ulama tentang keharusan ‘mentahdzir’ (memberi hukuman) ahlul bid’ah yang tidak sesuai dan tidak pada tempatnya atau cara pemahaman mereka yang tekstual, padahal para ulama yang dinukil qaul-nya tadi, juga sebagian besar divonis sesat oleh ulama wahabiyyun!!!

Imam Qurthubi, Imam Nawawi, AL-Hafidz Ibn Hajar, Imam Al-Hakim dll divonis menyimpang aqidahnya karena mereka asy’ari, tapi kitab mereka seperti tafsir al-qurthubi, Syarh shohih muslim, al-mustadrak, fathul bari dan karya Ibn Hajar yang lain tentang manakibur rijal al-hadis (biografi para perawi hadis), masih sering dinukil bahkan tidak jarang digunakan unutk menjustifikasi ‘pendapat mereka’ dan digunakan untuk ‘menohok’ saudara sesama muslim. Apa itu bukan asal comot namanya?!

Baca Juga:  Inilah Peringatan Ulama Salaf Tentang Bahayanya Wahabi

Seharusnya, ketika mereka sudah memvonis bahwa ulama tersebut berbeda aqidah dengan aqidah yang mereka peluk, mereka sudah tidak berhak lagi menukil dari karya-karya mereka!!! (tidak konsisten dan standard ganda seperti orang ‘bokek’, maka sepertinya wajar saja ada yang menyebut golongan ini sebagai ‘madzhab plin-plan’ atau menahaj salaf sebatas pengakuan!!!!)

Bahkan jika memang kelompok salafi bermanhaj salaf palsu ini berisi oleh ulama yang ‘pilih tanding’, buat saja tafsir yang selevel dengan milik AL-Qurtubi atau Ibn Katsier; atau buat kitab Jarh Wa Ta’dil atau Manakib Ar-rijal Al-hadis yang lebih baik dari karya Al-Hafidz Ibn Hajar atau Al-Hafidz Ibn Asakir dll; atau buatlah kitab hadis yang jauh lebih shohih dari Al-Mustadraknya Al-Hakim atau Kitab Shohihnya Ibnu Hibban, Mu’jamnya Ibn Hajar Al-Asqolani. Buktikan kalau memang salafi benar benar berjalan diatas Manhaj Salaf!!!!!

Lalu siapakah Albani, Ibn Baz, Utsaimin dkk, jika dibandingkan dengan Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali?! Padahal kepada mereka inilah (yaitu Imam Syafi’i dan kawan kawan yang selalu mengklaim dirinya berada diatas manhaj salaf) para ‘warasatul anbiya’ kita mengkaji dan mengambil Al-Islam ini!

Ditambah lagi dengan mudahnya kelompok yang mengaku sebagai firqoh yang meniti diatas manhaj salaf ini menuduh para ulama pengikut Madzhab Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi sebagai Ahlul bid’ah karena punya hasil ijtihad yang berbeda dengan kelompok mereka dalam memahami nash-nash syara’ atau bahkan dicap sesat bahkan disamakan dengan Mu’tazilah atau Jabariyah ketika mereka punya penafsiran yang berbeda terutama dalam masalah aqidah (biasanya dalam masalah Asma dan Sifat) .

Padahal pada hakikatnya yang lebih pantas disebut sebagai penerus madzhab Salaf Ash-Sholeh adalah para Imam ini, seperti Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi, Al-Auzai, Hasan Al-Bashri dll dari para Mujtahid umat ini, karena dekatnya mereka dengan masa para Salaf Ash-Shalih dan telah terbukti mereka punya metode ushul fiqh; yang dengan metode itu mereka berijtihad dan melakukan istimbath untuk menjawab problematika umat pada masanya, sehingga umat Islam senantiasa terikat dengan hukum syara’ bukan dengan hukum yang lainnya!

Dan bukannya Albani, Utsaimin, dan Ibn Baz atau selain mereka, kecuali mereka bisa menunjukkan metode Ushul Fiqh yang jauh lebih unggul dari para Imam Mujtahid ini!!!

Klaim bahwa wahabiyyun mengikuti pemahaman para sahabat dan berjalan diatas manhaj salaf itu terbukti kelemahannya, karena tidak ada satu riwayatpun yang shahih – yang menceritakan kepada kita bahwa para sahabat atau salah seorang diantara mereka membukukan metode mereka dalam memahami nash-nash syara’ (metode Ushul Fiqh), kecuali sebagian riwayat yang menjelaskan tentang fatwa sahabat dan tabi’in dalam beberapa masalah seperti yang banyak dicantumkan oleh Imam Malik dalam Kitabnya ‘Al-Muwatho’. Malah ternyata mereka hanya mengikuti pemahaman Albani, Ibn Baz, Utsaimin dkk. Bukannya ini taqlid buta?! Atau ‘memaksakan’ berijtihad sendiri ?! atau bermanhaj salaf sebatas pengakuan……???

Pertanyaannya adalah: dari mana kelompok salafi palsu yang mengaku bermanhaj salaf ini mengklaim mengetahui cara para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin ini memahami Al-Quran dan As-Sunnah, padahal mereka (para Sahabat) tidak pernah membukukan metode tersebut?!!

Jawabnya mudah; baca kitab Ar-Risalah dan Al-Umm-nya Imam Asy-Syafi’i, karena beliaulah yang pertama kali (menurut sebagian Ulama dan sejarawan Islam) yang membukukan metode tersebut (yang kemudian dikenal dengan metode Ushul Fiqh). Yang selanjutnya digunakan ulama-ulama sesudahnya sebagai patokan dan pedoman untuk memahami nash-nash syara dari Al-Kitab dan As-Sunnah.

Hal sama juga akan kita dapati jika kita mengkaji kitab Fiqh Al-Akbar-nya Imam Abu Hanifah, Al-Muwatho-nya Imam Malik, Fathur Rabani-nya Imam Ahmad Ibn Hambal dll, dan inilah satu satunya jalan atau cara bermanhaj salaf itu.

Jadi, bukan atas fatwa Albani, Ibn Baz dan Utsaimin yang hanya pandai mengaku sebagai orang yang mengikuti manhaj salaf saja. Dan ternyata para wahabiyyun banyak terpengaruh kitab-kitab karangan ulama wahabi ini serta ulasan-ulasan mereka mengenai kitab-kitab karangan para Imam madzhab sebagaimana pemikirannya sendiri bahkan dengan kebusukan mereka memalsukan isi-isi kitab klasik karangan para ulama salaf.

Lalu dari mana para Imam ini merumuskan metode Ushul Fiqh, kalau tidak dari pendahulu mereka yang mulia, mengingat masih dekatnya masa mereka dengan masa para Salaf Ash-Sholeh tersebut (banyak yang mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Malik masih termasuk Tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan banyaknya Ahli Ilmu pada masa itu?! Apalagi banyak riwayat yang menyebutkan bahwa karya-karya mereka seperti Al-Umm, Ar-Risalah atau Fathur rabbani – Musnad Imam Ahmad diakui oleh jumhur ulama pada masa itu.

Baca Juga:  Kisah Menarik Antara Habib Sholeh dengan Seorang Wahabi Congkak

Bahkan Al-Muwatho (sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’ tabi’in di Madinah. inilah manhaj salaf yang sebenarnya.

Walhasil, yang pantas disebut sebagai penerus Salaf Ash-Sholeh dan berjalan diatas manhaj salaf serta mengerti pemahaman para sahabat adalah mereka yang mengikuti metode Ushul Fiqh yang telah dirumuskan oleh Para Imam Mujtahid ini, untuk menggali hukum dari nash-nash syara’ guna menjawab problematika kontemporer umat saat ini, agar seperti pendahulunya mereka senantiasa terikat dengan Syari’at Islam.

Lalu sekarang darimana wahabiyyun bisa buktikan, bahwa metode yang mereka gunakan itu adalah metode yang sama dengan yang digunakan para salaf ini ? Sedangkan wahabiyyun tidak punya metode ushul fiqh baku yang di-ikuti dalam berijtihad sebagai jalan satu satunya cara mengikuti manhaj salaf yang sebenarnya ini, apalagi membuktikan kalau metode itu berasal dari para Salaf Ash-Sholeh ini !

Selanjutnya, tentang ulama-ulama wahabi yang diaku sebagai Ulama Hadis, apakah memang benar realitanya seperti itu? Semua orang boleh melakukan klaim, tetapi semua itu harus dibuktikan terlebih dahulu.

Coba perhatikan penjelasan Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadis (muhaddis) itu sebenarnya: “Menurut sebagian Imam hadis, orang yang disebut dengan Ahli Hadis (Muhaddis) adalah orang yang pernah menulis hadis, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah (perjalanan) ke berbagai tempat untuk mendapatkan hadis, mampu merumuskan beberapa aturan pokok (hadis), dan mengomentari cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan”. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadis. Dan inilah Manhaj salaf dari sisi perbendaharaan ilmunya saja.

Tetapi jika ia sudah mengenakan jubah pada kepalanya, lalu berkumpul dengan para penguasa pada masanya, atau menghalalkan perhiasan lu’lu dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni), dan ia hanya mempelajari hadis Al-Ifki wa Al-Butan, maka ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas dan jauh dari menyandang gelar seorang Muhaddis. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam (Lihat Fathu Al-Mughis li Al- Sakhowi, juz 1\\hal. 40-41).

Sehingga yang layak menyandang gelar ini adalah Muhaddis generasi awal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Ibn Majah, Imam Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi ,Imam Ibn Hibban dll.

Apakah tidak terlalu berlebihan (atau bahkan termasuk ghuluw) dengan menyamakan mereka (Imam Bukhari, Imam Muslim, imam Abu Dawud dkk) dengan syeikh-syeikh wahabi yang tidak pernah menulis hadis, membaca, mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan mencari hadis atau bahkan memberikan kontribusi pada perkembangan Ilmu hadis yang mencapai seribu karangan lebih? Lalu dengan alasan apa mereka menyebut dirinya sebagai orang yang berjalan diatas manhaj salaf?

Sekarang kita tinggal tanya saja pada pengikut, simpatisan, dan korban doktrin wahabi yang mengklaim dirinya sebagai satu satunya kelompok yang meniti jalan lurus diatas manhaj salaf ini; apakah masih menganggap Albani sebagai muhaddits, atau utsaimin telah keluar dari kontradiksinya tentang bid’ah, atau masih mengikuti ulama-ulama mereka yang selalu mengeluarkan fatwa-fatwa nyeleneh yang membuat kemarahan muslim sedunia ? Atau hanyalah pentaqlid buta ulama wahabi yang berlindung dibalik ketiak raja saudi?!

Jika pernyataan-pernyataan diatas ini masih dianggap kurang, padahal sudah jelas pengungkapan faktanya, jangan-jangan mata hati dan pikiran kalian sudah tertutup untuk melihat kebenaran (al-haq) diluar kelompok kalian karena ‘ruh ta’ashub’ sudah mengalir dalam urat nadi kalian.

Namun jika kalian berusaha untuk mencari kebenaran yang haq tanpa menafikan informasi dan ilmu dari luar (objektif), tanpa adanya syak prasangka yang jelek (su’udzon), tanpa rasa benci pada seseorang apalagi ia seorang ulama, InsyaAllah hidayah menuju pintu kebenaran akan terbuka.

oleh: Dean Sasmita via Warkopmbahlar

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *