Kisah Mansur Al Hallaj Sufi Kontroversial yang Di Hukum Mati

mansur al hallaj

Pecihitam.org – Abu Mughits Abdillah al-Husain bin Mansur al-Hallaj adalah salah satu tokoh paling kontroversial di dalam sejarah sufisme Islam. Lahir kira-kira pada 244 Hijriah (858 M) di dekat kota al-Baiza, provinsi Fars.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hallaj suka mengembara sangat jauh. Khotbah-khotbahnya yang berani mengenai bersatunya manusia dengan Allah membuatnya dijatuhi hukuman kurungan, dengan tudungan telah menyebarkan ideologi inkarnasionisme. Hallaj dihukum mati dengan bengis yang dilaksanakan pada 29 Dzulkaidah 309 H atau 28 Maret 913 M.

Disela pengajian kitab Al-I’lam bi Anna At-Tasawuf min Syari’at Al-Islam, Syekh Dr. Abdul Mun’im bin Abdul ‘Aziz Al-Ghumari menyampaikan sekelumit kisah tentang Abu Abdillah Husain bin Mansur Al-Hallaj ini.

Syahdan ulama sufi yang mempunyai paham wahdatul wujud, paham yang meyakini bahwa seseorang mampu meleburkan diri ke dalam dzat Tuhan ini, suatu hari datang ke sebuah pasar dimana orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Al-Hallaj kemudian menaiki perbukitan di tengah pasar tersebut, lalu berteriak “wahai manusia! wahai manusia!”.

Setelah orang-orang pasar berkumpul, Al-Hallaj mengucapkan kalimat yang menurut orang-orang, nyeleneh dan ngawur;

Baca Juga:  Nama Aslinya Abdul Ghaffar, Kenapa Dikenal dengan Nama Nabi Nuh? Beginilah Ceritanya

“ان معبودكم تحت قدمي”.

“wahai manusia!, sesungguhnya apa yang kalian sembah itu ada dibawah telapak kakiku”

Seketika orang-orang bertanya-tanya, “Apa yang anda ucapkan?”, tapi, tanpa memedulikannya, Al-Hallaj mengulangi lagi ucapan yang sama terus menerus.

Setelah kejadian tersebut, sebagian orang melaporkan Al-Hallaj kepada Raja masa itu. Sang Raja, setelah bermusyawarah dengan pembesar lain, yang sebetulnya sama-sama belum paham maksud ucapan Al-Hallaj memutuskan untuk menghukum mati di hari itu juga.

Beberapa lama setelah Al-Hallaj dieksekusi, ketika orang-orang masih belum paham apa maksud ucapan tersebut, entah untuk proyek apa, perbukitan yang menjadi saksi bisu ucapan Al-Hallaj itu digali. Dan tak disangka-sangka, ternyata perbukitan tersebut mempunyai kandungan emas yang melimpah.

Kejadian ini lah yang akhirnya membuat orang-orang mulai paham apa maksud Al-Hallaj, bahwa mereka terlalu sibuk dengan harta dan urusan duniawi, yang membuat mereka lupa menyibukkan diri untuk menyembah Sang Maha Kuasa.

Kisah ini seakan memberikan pelajaran kepada kita, sebagai manusia, untuk tidak menghukumi seseorang secara serampangan begitu saja, karena Allah SWT terkadang memberikan anugerah berupa ilmu batin atau ilmu kasyaf kepada seseorang yang Ia kehendaki.

Baca Juga:  Kisah Pertaubatan Wahsyi dan Kemuliaan Hati Rasulullah SAW

Al-Hallaj secara tidak langsung juga menampar kita, yang sering melupakan sang Pencipta hanya karena kesibukan duniawi dengan memakai kiasan apa yang kalian sembah.

Dalam redaksi lain penyair sufi, Fariduddin Attar mengisahkan kisah hidup Mansur al-Hallaj dalam kitabnya, Tadzkiratul Aulia. Karena pernyataan yang kontroversial, fitnah menyerangnya.

Ucapannya dipelintir dan disampaikan kepada Raja. Akhirnya semua pihak sependapat, bahwa Hallaj harus dihukum mati karena mengatakan Akulah sang Haq. Kelompok teolog yang menentang Hallaj akhirnya berhasil membuat Raja memberi perintah agar Hallaj dijebloskan ke penjara.

Setahun lamanya Hallaj mendekam di bui, orang tetap mengunjungi dan meminta nasihat darinya. Kemudian keluarlah larangan untuk mengunjungi Hallaj di dalam penjara. Arkian, dia digiring ke tiang gantungan dan dieksekusi.

Kegemparan terjadi. Hallaj membawa bola takdir ke bata padang kepasrahan. Al Hajaj pun akhirnya dieksekusi mati dan tubuhnya dipotong-potong. Keesokan harinya mayat al Hajaj dibakar.

Baca Juga:  Perbedaan Wahdatul Wujud dan Wahdatul Syuhud dalam Tasawuf

Dari abu pembakaran mayatnya terdengar seruan, Akulah yang Haq. Mereka kebingungan dan membuang abunya ke sungai Tigris. Ketika abu-abunya mengambang di permukaan air, merek terus berseru, Akulah yang Haq.

Saat Hallaj masih hidup, dia pernah berkata, “Apabila mereka membuang abu pembakaran mayatku ke sungai Tigris, Bagdhad akan terancam banjir bah. Taruhlah jubahku di tepi sungai, agar Bagdad tidak binasa.”

Seorang pelayannya, setelah menyaksikan apa yang terjadi, segera mengambil jubah tuannya dan menaruhnya di pinggir sungai Tigris. Air sungai kembali menyurut dan abu itu tidak lagi bergema. Lantas, orang-orang mengumpulkan abu-abu Hallaj dan menguburkannya.

Wallahua’lam bisshawab

Lukman Hakim Hidayat