Melirik Corak Tasawuf Di Tubuh Muhammadiyah Yang Tak Dimiliki Wahabi

Melirik Corak Tasawuf Di Tubuh Muhammadiyah Yang Tak Dimiliki Wahabi

Pecihitam.org – Muhammadiyah adalah organisasi Islam pertama di Indonesia yang mengusung isu pokok modernisasi. Hal ini sangatlah wajar, karena pada masa organisasi ini dilahirkan oleh K.H. Ahmad Dahlan, umat Islam khusunya di Jawa sedang mengalami krisis kemanusiaan karena terbelenggu oleh kolonialisme Belanda.

Peranan pemerintah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang telah dilemahkan oleh Belanda baik dari segi kebijakan politik maupun militer tidak bisa berbuat banyak untuk melepaskan rakyat dari penderitaan, sedangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan kebijakan pembagian kelas masyarakat, yang membuat rakyat jelata tidak dapat menikmati fasilitas pendidikan, kesehatan maupun kesejahteraan ekonomi yang hanya berpihak kepada ras Eropa, China dan Pribumi Priyayi.

Berdasarkan latar sosio historis tersebut maka pada hakikatnya yang diperjuangkan oleh KH Ahmad Dahlan adalah agama Islam yang bisa membebaskan penganutnya dari penderitaan dan keterpurukan hidup. Dengan mengadopsi pemikiran Abduh dan Ridha yang mencoba memahami Islam berlandaskan Al-Qur’an dan Sunah, yang diharomisasikan dengan segala perangkat modernitas dan kemajuan teknologi, Persyarikatan Muhammadiyah pun didirikan pada 18 November 1912 M.

Muhammadiyah kemudian banyak mendirikan amal usaha dalam bidang pendidikan yang mengajarkan ilmu praktis disamping juga ilmu agama, sarana kesehatan dan panti sosial adalah alat untuk mendapatkan tujuan yang sebenarnya yaitu pembentukan masyarakat yang berakhlaqul karimah.

Baca Juga:  Inilah 73 Firqah dalam Islam sebagaimana Sabda Nabi Menurut Sayyid Abdurrahman Ba'lawi

Seyyed Hossein Nasr menganggap tasawuf sebagai spirit of Islamic religion (jiwa dan semangat agama Islam). Tanpa tasawuf, Islam akan menjadi gersang, tidak subur, bahkan tidak hidup. Karena itu pada hakikatnya jargo anti TBC (tahayul, bid’ah, dan c(k)hurafat) bukanlah gerakan yang anti tasawuf, namun lebih kepada praktik keagamaan yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan sehingga membuat manusia yang menjalankan praktik keagamaan tersebut memiliki pemikiran yang jumud dan tak berkemajuan.

Tidak seperti faham Wahabisme yang seringkali diidentikkan dengan Muhammadiyah, pandangan-pandangan keagamaan KH. Ahmad Dahlan pada dasarnya menunjukkan sikap lunak, bahkan bersahabat terhadap tasawuf. Hal inilah yang mengantar Mitsuo Nakamura, peneliti pergerakan Muhammadiyah, menunjukkan elemen-elemen tasawuf dalam ajaran Muhammadiyah. Anggapan Nakamura itu lebih jelas tergambar dalam ungkapan ulama yang bernama kecil Muhammad Darwisy yang bertendensikan tasawuf kepada pengikut-pengikutnya.

Kata-kata mutiara sufi kenamaan Hasan Basri yang senantiasa mengingatkan manusia akan kematian dan hari pembalasan di kemudian hari bergema dalam ungkapan-ungkapan pendiri Muhammadiyah itu. Anjuran-anjuran sufi besar Al-Muhasiby yang menekankan bahaya penyakit riya (hiprokasi), dan Yahya ibn Muaz tentang peringatan kematian dapat ditemukan persamaannya dalam anjuran-anjuran tokoh dari Kauman Yogyakarta ini. Bahkan keengganan murid Syaikh Ahmad Khatib (1855-1916), ulama kelahiran Indonesia yang pernah menempati posisi tertinggi di Makkah, untuk melibatkan diri dalam pemikiran spekulatif teologis yang mengundang perdebatan adalah merupakan kelangsungan tradisi sufi-sufi besar Islam.

Baca Juga:  Kisruh di Papua, PWNU Konsisten Lawan Radikalisme

Muhammad Abduh, reformis pembaru Mesir yang banyak memberikan inspirasi kepada Muhammadiyah itu, adalah murid Syekh Darwisy, penganut Tarekat Syaziliyah. Rasyid Ridha dalam buku Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh memaparkan bagaimana Abduh mengenang jasa gurunya itu sebagai orang yang melepaskannya dari penjara kebodohan dan ikatan taklid serta mengantarkannya pada satu cita-cita untuk mendapatkan pengetahuan dan disiplin jiwa yang sempurna.

Dewasa ini, korelasi antara Muhammadiyah dan Tasawuf kembali dimunculkan oleh Amin Abdullah yang merupakan Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah mencoba menawarkan satu pendekatan yang selama ini asing dalam tradisi tarjih, yaitu pendekatan ‘irfany dan burhany, suatu pendekatan yang dekat dengan gaya tasawuf.

Gagasan Amin Abdullah ini mendapat respon negatif dari tokoh-tokoh sepuh Muhammadiyah. Namun berbeda dengan tokoh-tokoh sepuh Muhammadiyah, para aktivis muda Muhammdiyah merespon secara positif apa yang digulirkan oleh Amin Abdullah. Mereka mencoba untuk memulai mengimplementasikan ide-ide Amin itu dalam kegiatannya. Salah satu cabang IMM, contohnya, beberapa kali mengadakan diskusi tentang Ibn ‘Arabi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menggelar diskusi tentang Spiritualitas dan Problem Masyarakat Urban.

Selain Amin Abdullah yang merupakan tokoh kontempor Muhammadiyah saat ini, generasi sebelumnya pun, walau pun tidak mengeluarkan pemikiran tasawuf teoritisnya secara terperinci namun telah melakukan praktek keagamaan yang bercorak sufistik. Hal ini dapat dilihat dari sejarah hidup pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan yang dalam garis keilmuan dan spiritualnya bersambung dengan para sufi-sufi di Hadramaut.

Baca Juga:  Hukum Puasa Mutih Menurut Pandangan Islam, Bolehkah?

Begitu juga dengan HAMKA yang selama hidupnya tetap konsisten sebagai ulama pencerah dan pemberi contoh yang baik kepada seluruh umat Islam. Dari pimpinan Muhammadiyah yang lain setelah K.H Ahmad Dahlan, adalah K.H. A.R. Fachrudin, merupakan tokoh Muhammadiyah yang walaupun telah hampir seperempat abad memimpin Muhammadiyah namun tidak pernah menggunakan kesempatan yang ia miliki untuk memuaskan kebutuhan pribadinya. Ajaran K.H Ahmad Dahlan yang berkata hidup hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah benar-benar melekat dalam diri pribadi K.H A.R Fachrudin.

Source: FB Cinta Sufi

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *