Membaca Perdebatan Tafsir Lintas Mazhab, Mulai dari al-Thabari hingga Muhammad Syahrur

Membaca Perdebatan Tafsir Lintas Mazhab, Mulai dari al-Thabari hingga Muhammad Syahrur

PeciHitam.org – Sudah tidak bisa di singkirkan bahwa setiap penafsiran yang dilakukan oleh seorang ulama, selalu membawa backgrond mazhab yang dipelajari mufassir tersebut. Hal ini tentu saja mengakibatkan banyak sekali tafsir lintas mazhab yang mengakomodir pemikiran mereka.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Seorang mufasir dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya akan berusaha menyingkap dan menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran. al-Thabari, Abduh, al-Zamakhsyari, dan al-Thabathaba’i merupakan sebagian mufasir yang memberikan andil besar dalam membangun metodologi penafsiran al-Quran. Begitu pula dengan Syahrur, sekalipun ia hanya menafsirkan sebagian al-Quran karena penafsirannya bersifat tematik.

Kelima mufasir ini merupakan representasi figur mazhab dan generasi yang mempunyai kapabilitas keilmuan yang memadai. Ibn Jarir al-Thabari (224-310 H) dipandang sebagai pewaris terpenting dalam tradisi keilmuwan klasik. Dengan keilmuannya yang ensiklopedis, ia banyak menghasilkan karya yang dijadikan referensi oleh generasi setelahnya.

Berkat kemampuannya itu pula, ia dipandang sebagai mujtahid independen, padahal sebelumnya ia bermazhab Syafi’i. Al-Zamakhsyari (467-538 H) pun tidak jauh berbeda. Penguasaannya dalam berbagai bidang ilmu telah mengantarkannya menjadi pemikir yang dijadikan rujukan kaum Mu’tazilah.

Orang-orang Sunni pun banyak mengekor kepadanya dalam bidang linguistik. Bahkan, dua tokoh Sunni, Fakhruddin al-Razi dan al-Baidhawi setelah mengkaji al-Kasysyaf, mengakui kualitas karya al-Zamakhsyari tersebut. Mufasir lain yang tak kalah berkualitasnya adalah Muhammad Abduh (1265-1323 H) dan al-Thabathaba’i (1321 H).

Baca Juga:  Tahukah Kamu, Siapa yang Memandikan Jenazah Mulia Rasulullah Saw?

Keduanya mampu melakukan penggalian makna al-Quran secara mandiri dengan menggunakan teori baru sebagai pembuka jalan bagi munculnya tafsir modern dan kontemporer, termasuk di antaranya tafsir yang diproduksi Muhammad Syahrur.

Muhammad Syahrur (1938 M), yang basic pendidikannya teknik sipil, telah mampu mempelajari keilmuan Islam yang berkaitan dengan penafsiran al-Quran. Sebagai pemikir independen, Syahrur telah membuat metode yang diklaimnya berbeda dengan para mufasir lain.

Penafsirannya dengan metode berbasis sains menghasilkan produk tafsir yang mempunyai perbedaan mencolok dengan penafsiran para pendahulunya. Sekalipun diketahui bahwa berbagai macam latar belakang keilmuan dan dasar pemikiran mereka memiliki perbedaan, tapi mempunyai misi yang sama, yakni menyingkap kandungan al-Quran.

Meski demikian, kesamaan misi tersebut masih menyisakan sisi kekurangan dalam beberapa hal yang dianggap fatal. Al-Thabari misalnya, meski dianggap mujtahid independen, sebagian penafsirannya dipandang masih menyisakan ketidakobjektifan, karena masih melakukan pembelaan terhadap paham Sunni.

Selain itu, penafsirannya juga dipandang tidak universal, practicable dan realizable sehingga tidak bisa diterapkan dalam berbagai persoalan masyarakat di semua generasi. Akibatnya, baik Abduh ataupun Syahrur menilai penafsiran al-Thabari mengalami penyimpangan orientasi, sehingga perlu ada penafsiran ulang terhadap al-Quran tanpa terbelenggu dengan gaya dan prinsip tafsir al-Thabari.

Baca Juga:  Tuduhan Syirik Terhadap Burdah, Bukti Ustadz Wahabi Tak Hormati Jasa Ulama

Bagi kedua tokoh ini, pembaharuan terhadap tafsir masa lampau yang cenderung tekstual, dogmatis dan teologis menjadi kontekstual merupakan keniscayaan agar dapat mencapai tujuan al-Quran, yakni menunjukkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Penilaian balik juga dilakukan pendukung aliran Sunni. Mereka memandang al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari dan al-Mizan karya al-Thabathaba’i sebagai karya yang menyimpang dari kebenaran ajaran Islam, karena dominasi aliran mazhabnya begitu kuat dan banyak bertentangan dengan hadis sahih.

Orang yang kontra dengan Abduh juga menilai bahwa Abduh hanya menyandarkan penafsirannya kepada akal dan menolak hadis yang tidak sesuai dengan rasionya sekalipun sahih. Begitu pula tuduhan sinis kepada Syahrur yang menyandarkan kebenaran penafsirannya yang harus sesuai dengan realitas empirik dan sains.

Al-Zamakhsyari dan al-Thabathaba’i juga ikut serta menyemarakkan penilaian. Bahkan penilaian keduanya sangat ekstrim. Al-Zamakhsyari melihat orang-orang yang berbeda dengan paham Mu’tazilah diklaim sebagai orang yang keluar dari Islam dan kafir. Sementara al-Thabathaba’i menilai bahwa mufasir yang fikih oriented dan teologis dipandang sebagai penafsir yang tendensius. Begitu pula dengan penafsiran muhadditsin.

Baca Juga:  Rahasia di Balik Anjuran Membaca Al-Kahfi Pada Hari Jumat (Bagian II): Tentang Adab Menuntut Ilmu

Menurutnya, penafsiran tidak perlu didasarkan pada riwayat ulama salaf, tabi‘in, dan bahkan sahabat sekalipun, karena tanpa hal tersebut al-Quran sudah dapat mengenalkan dirinya untuk menjadi penerang jalan hidup.

Begitulah perbedapan pendapat dan perdebatan pemikiran para mufassir yang membuat munculnya tafsir lintas mazhab. Untuk itu, kita sebagai pembaca tentu harus lebih jeli dan mampu memahami maksud dan tujuan dalam penyampaian setiap ayat dalam penafsirannya.

Mohammad Mufid Muwaffaq