Membangun Karakter Islam Khas Indonesia dengan Tradisi Intelektual Ulama Nusantara

Membangun Karakter Islam Khas Indonesia dengan Tradisi Intelektual Ulama Nusantara

Pecihitam.org – Sejak awal perkembangannya, Islam Indonesia sangatlah bersifat kosmopolit, artinya sangat terkait dengan bagian-bagian dari dunia Islam yang lain. Islam Khas Indonesia bukanlah corak Islam yang terpencil dan terpisah dari dinamika Islam di tempat-tempat yang lain.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Menurut Azyumardi Azra, Pakar Sejarah Islam UIN Syarif Hidayatullah, para penuntut ilmu atau murid-murid Jawa yang datang untuk belajar ke Makah dan Madinah, bertemu langsung dengan guru dan ulama-ulama yang sangat kosmopolit, yang berasal dari berbagai penjuru dunia Muslim. Murid-murid ini belajar bidang-bidang ilmu tertentu, baik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu eksoterik seperti fikih dan tafsir, juga belajar ilmu-ilmu esoteris seperti tasawuf.

Berbagai bidang keilmuan Islam yang mereka pelajari ini membuat pemahaman agamanya menjadi lengkap. Inilah salah satu faktor yang membuat Islam Indonesia menjadi sangat kosmopolit dari dulu sampai sekarang. Bukan Islam yang asik dengan dirinya sendiri, tapi Islam yang terhubung dengan realitas sosialnya.

Penting dicatat bahwa para ulama atau murid-murid Nusantara ini, ketika mereka kembali ke tanah air, mereka selalu aktif terlibat dalam proses kontekstualisasi ajaran Islam ke dalam budaya lokal. Itulah yang bisa kita lihat dari pengalaman murid-murid Nusantara yang kemudian menjadi ulama besar di Nusantara pada abad ke-17 M, seperti Syekh Abdur Rauf Singkel, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Nuruddin ar-Raniri, dan terus berlanjut sampai abad ke-19 seperti Syekh Abdusamad al-Palembani, Muhammad Asad al-Banjari, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Saleh Darat, Syekh Mahfud al-Tarmasi, dan lain-lainnya.

Baca Juga:  Biografi Syaikh Kholil al Bangkalani al Maduri

Semua ulama ini merupakan orang-orang yang sangat kosmopolit dan pada saat yang sama juga selalu melakukan kontekstualisasi Islam, atau disebut dengan “Pribumisasi Islam”, sebuah istilah yang pernah dipakai oleh Gus Dur dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam di Nusantara.

Di samping itu, praktik Islam awal di Nusantara juga sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan aliran spiritual Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati otoritas kyai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga ikut ambil bagian dalam tradisi Islam seperti ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan oleh Muslim tradisional Indonesia.

Kalau kita membaca karya-karya ulama ini, pasti selalu ada prinsip kontekstualisasi ajaran, karena Islam yang aktual adalah Islam yang bisa dikontekstualisasikan. Bukan Islam yang semata-mata hanya impor saja, yang didatangkan dari tempat-tempat lain kemudian dicangkokkan di Indonesia.

Baca Juga:  Sejarah Wali Songo dan Proses Islamisasi Melalui Seni dan Budaya Nusantara

Sebaliknya, jaringan ulama di Nusantara, yang dimulai oleh murid-murid yang belajar ke Makah-Madinah, adalah ulama yang selalu memiliki pemikiran tentang bagaimana Islam yang mereka pelajari di tanah Arab bisa terkontekstualisasi dalam bahasa lokal, di mana landasan dasarnya sudah dimulai lebih awal oleh generasi Wali Songo di era jauh sebelumnya.

Hasil dari kontekstualisasi ini akhirnya melahirkan model Islam yang khas Indonesia dan merupakan wujud nyata dari hasil interaksi dan interpretasi dari ajaran-ajaran Islam yang universal, yang kemudian disesaikan dengan realitas sosio-kultural Indonesia. Inilah bentuk penafsiran alternatif tentang Islam yang selama ini selalu didominasi oleh perspektif Arab dan Timur Tengah.

Oleh karena itu, jaringan ulama ini kiranya telah melakukan vernakularisasi Islam, yakni menjelaskan Islam dengan bahasa-bahasa lokal yang mudah dimengerti oleh penduduk daerah setempat, dengan menggunakan bahasa Melayu, Jawa, Bugis, Sunda, dan lain sebagainya.

Karya-karya ulama ini ditulis dalam huruf Arab (pegon) yang tetap menggunakan bahasa daerahnya masing-masing, agar mudah dimengerti oleh masyarakat awam. Inilah yang disebut dengan proses vernakularisasi Islam, Islam digunakan dan dijelaskan dengan menggunakan bahasa lokal.

Sehingga dengan proses vernakularisasi ini, Islam menjadi agama terpadu dan menjadi bagian integral dari budaya lokal. Inilah saya kira yang juga turut memberikan kontribusi penting dalam membangun karakter Islam yang khas Indonesia, atau membangun distingsi Islam Indonesia dengan ciri-ciri tertentu yang berbeda dengan wilayah lain di dunia Islam.

Baca Juga:  Inilah 3 Pilar Khittah Islam Nusantara yang Perlu Anda Tahu

Kontribusi jaringan ulama ini kiranya memberikan pengaruh yang sangat signifikan, tidak hanya dalam membangun tradisi keagamaan, tetapi juga membangun tradisi intelektualisme Islam sejak dari Syekh Abdur Rauf Singkel sampai Syekh Nawawi al-Bantani.

Sebagai umat muslim yang terlahir di Indonesia, kita perlu bangga karena memiliki para pemikir dan ulama hebat sekelas mereka dengan karya-karya besarnya. Saya kira, karya-karya besar ulama Nusantara ini harus tetap dijaga dan dikaji terus-menerus. Sebab, selama ini minat kita untuk membaca dan meneliti karya ulama-ulama Nusantara ini masih sangat minim.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *