Meneladani Kehidupan yang Sederhana dari Sahabat Nabi yang Menjadi Gubernur

Meneladani Kehidupan yang Sederhana dari Sahabat Nabi yang Menjadi Gubernur

Pecihitam.org – Diantara prinsip hidup yang diajarkan dalam Islam adalah “kehidupan yang sederhana”. Cara hidup yang tidak berlebihan, tidak suka berfoya-foya menghambur-hamburkan kekayaan dan tidak menjadi orang yang pemboros.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Allah Ta’ala berfirman :

كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya : “……makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am : 141)

Dalam ayat yang lainnya Allah SWT berfirman :

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya : “wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf : 31)

Pada ayat yang tersebut diatas Allah SWT melarang kita hidup berlebih-lebihan. Baik dalam hal makan, minum, berpakaian maupun dalam ragam fasilitas hidup lainnya.

Berlebih-lebihan berarti penghamburan harta benda pada sesuatu yang tidak bermanfaat. Sedangkan orang yang suka menghamburkan kekayaannya untuk sesuatu yang kurang manfaatnya, mereka itu adalah teman-teman syaithan.

Allah SWT berfirman :

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mubadzir (pemboros-pemboros) itu adalah saudara-saudara syaithan dan syaithan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra : 27)

Baca Juga:  Inilah Point Penting dari Misi Dakwah Nabi Muhammad SAW

Untuk mengoptimalkan larangan berlebih-lebihan ini, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya agar dapat memberikan hak harta kekayaannya.

Baik harta itu berupa zakat, shadaqah, infak dan lain sebagainya. Dengan demikian, maka terhindarlah si hamba tersebut dari watak serakah dan menumpuk kelezatan duniawi.

Demi mewujudkan perilaku kehidupan yang sederhana yang dianjurkan dalam Islam, Rasulullah SAW dan para sahabatnya telah memberikan kita contoh suri tauladan yang sudah semestinya kita ikuti.

Kesederhanaan hidup Rasulullah SAW secara simbolik dapat kita lihat dari doa yang sering beliau panjatkan kepada Allah Ta’ala yang artinya :

“Ya Allah, jadikan aku orang miskin. Dan himpunkan aku bersama orang-orang yang miskin.”

Sungguh ini adalah suatu doa yang terpancar jauh dari sikap terpesona kepada kelezatan dan kemewahan duniawi. Meskipun beliau memiliki kesempatan untuk mendapatkan segala-galanya.

Adapun contoh Hidup yang sederhana dari para sahabat, maka mari kita simak kisah percakapan Umar bin Khatab dengan Sa’id bin Amir berikut:

Sa’id berkata: “wahai Umar, takutlah oleh mu kepada Allah dalam memerintah manusia. Janganlah kau takut kepada manusia dalam menjalankan amanah Allah!, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah yang dapat dibuktikan melalui perbuatan. Curahkan segala perhatianmu terhadap urusan kaum muslimin. Berikanlah mereka sesuatu yang kamu sukai dan cegahlah mereka dari segala sesuatu yang tidak kamu sukai”

Lalu Umar bin Khatthab bertanya : “Siapakah gerangan yang sanggup melakukan hal tersebut wahai Sa’id?”.

Baca Juga:  Kisah Gus Dur Menyelamatkan Rumah Besar Indonesia

“Sudah tentu ia adalah orang yang seperti anda wahai Amirul Mukminin“ jawab Sa’id. “bukankah anda wahai Umar, telah diamanahkan oleh Allah untuk memimpin ummat Nabi Muhammad SAW?, bukankah sudah tidak ada lagi suatu penghalang antaramu dan Allah?.” lanjutnya.

Kemudian Sayidina Umar pun memanggil Sa’id untuk memberikannya satu jabatan dalam pemerintahan. Sayyidina Umar pun berkata : “wahai Sa’id, aku akan mengangkat mu sebagai gubernur di Himsa!”

Namun dengan lugas Sa’id menjawab : “wahai Umar, aku berharap engkau tidak ikut mendorongku untuk cenderung kepada dunia!”. “Celaka engkau!” balas Umar marah. “engkau pikulkan kepundakku beban pemerintahan ini dan membiarkanku kerepotan sendirian?!”. Sa’id menjawab : “Demi Allah, saya tidak akan tega membiarkan anda kerepotan wahai Umar”.

Lantas khalifah Umar pun akhirnya melantik Sa’id menjadi gubernur Himsa.

Selang beberapa masa lamanya Sa’id memerintah, sebuah delegasi datang menghadap Khalifah Umar di Madinah. Delegasi tersebut adalah beberapa penduduk Himsa yang diutus untuk mengamati jalannya pemerintahan Himsa.

Dalam pertemuan itu Khalifah Umar meminta daftar nama-nama orang fakir miskin di Himsa yang akan diberikan santunan nantinya. Namun alangkah terkejutnya Umar ketika melihat satu nama yang bertuliskan “Sa’id”. Lantas Umar bertanya kepada Delegasi : “Apakah ini Sa’id bin Amir al-Jumahi, gubernur kalian sendiri?”. “benar wahai khalifah” jawab mereka.

“Benarkah gubernur kalian ini orang miskin?” tanya Umar seolah tidak percaya. “benar wahai Amirul Mukminin, Demi Allah, kami sering melihat dirumahnya tidak ada tanda-tanda api menyala (tanda-tanda adanya aktifitas masak-memasak)” jawab mereka.

Baca Juga:  Kisah Nabi Ayyub: Sebuah Pembelajaran Tentang Kesabaran

Mendengar jawaban dari delegasi itu, Khalifah Umar pun menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Lantas beliau mengambil pundi-pundi dinar seraya berkata : “pergilah kalian sekarang kepada Sa’id, lalu berikanlah dinar-dinar ini kepadanya, agar dapat meringankan beban rumah tangganya.

Akan tetapi ketika Sa’id memerima kiriman tersebut, beliau malah mengucapkan : “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un”. Istrinya pun terkejut dan bertanya: “wahai suamiku, ada musibah apa? apakah Amirul Mukminin meninggal?”.

Sa’id pun menjawab : “bukan, bahkan lebih dahsyat dari itu, dunia telah datang untuk merusak akhiratku, apakah sudi kiranya engkau meolongku?” tanya Sa’id kepada sang isteri. “tentulah aku bersedia” jawab isterinya. Kemudian Sa’id berkata : “ambillah pundi-pundi ini dan bagikan kepada para fakir miskin!”.

Demikianlah akhlak para pemimpin di zaman Rasulullah dan zaman para sahabat beliau yang lebih memilih kehidupan yang sederhana. Ruh tauhid sudah menumbuhkan pemikiran dan sikap budi pekerti yang luhur dan menyuburkan akhlak yang mulia dalam jiwa mereka.

Semoga kita dapat meneladani Rasulullah SAW dan para sahabat beliau yang mulia dalam mewujudkan kehidupan yang sederhana tersebut. Wallahua’lambisshawab!

Muhammad Haekal