Menelisik Kontroversi Pemberitaan Tentang Muslim Uighur di Tiongkok

Menelisik Kontroversi Pemberitaan Tentang Muslim Uighur di Tiongkok

Pecihitam.org – Belakangan sedang banyak yang membicarakan tentang kaum muslim Uighur di Xinjiang, Tiongkok. Ramainya pembicaraan tentang Uighur ini belakangan disebabkan oleh dibocorkannya dokumen rahasia yang disebut sebagai China Cable oleh Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) yang bekerja sama dengan 17 media dari 14 negara pada 23 November 2018 lalu.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Berawal dari bocornya data tersebutlah kemudian berbagai pers dari Barat mengutuk dan memprotes apa yang disebut sebagai pelanggaran HAM pada Kamp Konsentrasi di Xinjiang. Data hasil sadapan tersebut ditafsirkan oleh pers Barat sebagai penindasan dan pelanggaran HAM kepada kaum muslim Uighur di Tiongkok.

Kemudian, terkait dengan isu tersebut juga ramai diperbincangkan oleh kaum muslim di Indonesia. Kebanyakan informasi yang didapat kaum muslim di Indonesia adalah dari copy paste terhadap informasi yang datang dari pers Barat tersebut.

Namun, terkait pemberitaan yang diframing terjadi pelanggaran HAM tersebut dinilai masih problematis. Menurut artikel dari Novi Basuki, seorang mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah doktoral sejarah di Sun Yat Sen University Tiongkok berjudul Menelaah Bocoran Dokumen Rahasia “Penahanan” Uighur (2019) di Historia. Novi menuturkan beberapa problem penafsiran dari dokumen rahasia China Cable.

Misalnya, menurut Novi bahwa kata yang diterjemahkan oleh pers Barat sebagai kamp konsentrasi (yang selama ini diidentikkan dengan kamp Nazi Jerman) adalah keliru. Makna yang benar dari istilah tersebut menurut Novi lebih tepat diartikan sebagai “Pusat Pelatihan Pendidikan Vokasi”.

Baca Juga:  Dasar "Monyet"! Antara Ketiadaan Etika dan Contoh Baru Bagi Anak Bangsa

Dari pemlintiran makna tersebut menimbulkan pergeseran arti yang sangat jauh. Kalau yang digunakan adalah istilah “kamp konsentrasi”, maka kesan yang didapatkan oleh pembaca adalah terjadi pemenjaraan paksa kepada kaum muslim Uighur di Tiongkok dan terjadi pelanggaran HAM.

Namun, jika yang digunakan adalah istilah “Pusat Pelatihan Pendidikan Vokasi”, maka yang terkesan ke dalam pembaca adalah sebuah sekolah untuk mendidik keterampilan komunitas muslim ini.

Menurut Najib Burhani, seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang beberapa waktu yang lalu berkunjung ke Xinjiang menuturkan dalam artikelnya berjudul Politisasi Isu Agama dan Minoritas Uighur (2019) dalam Islam Berkemajuan Times bahwa di Xinjiang dimana kelompok muslim ini tinggal adalah sedang ada upaya deradikalisasi.

Baca Juga:  Ilusi Penegakan Syariat Islam di Indonesia

Upaya deradikalisasi tersebut melalui sebuah lembaga yang disebut Pusat Pelatihan Pendidikan Vokasi sebagaimana di awal. Melalui lembaga tersebut, kaum Islam Uighur oleh Pemerintah Tiongkok diberikan pelatihan skill kerja dan sekaligus wawasan kebangsaan sebagai upaya deradikalisasi.

Kenapa ada program deradikalisasi? Kasus muslim Uighur ini adalah salah satu masalah belum terjadinya integrasi muslim Uighur dengan negara Tiongkok secara umum. Komunitas muslim ini bahkan dikabarkan dalam kesehariannya tidak menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa utama.

Dengan demikian, walaupun muslim Uighur masuk kedalam negara Tiongkok. Namun, secara kultur muslim Uighur ini sangat berbeda dari mayoritas etnis Tionghoa di sana. Maka salah satu bagian dari program Pusat Pelatihan Pendidikan Vokasi di Uighur tersebut adalah pelajaran bahasa Mandarin. Supaya muslim Uighur ini dapat menyatu dengan mayoritas warga Tiongkok.

Baca Juga:  Mahfud MD: Dubes China Sebut Etnis Uighur dengan Istilah Separatis

Selain itu, berulangkali kaum muslim Uighur ini terus meminta untuk keluar dari negara Tiongkok dan mendirikan negara sendiri yang berbasiskan ajaran Islam. Karena memang suku Uighur ini mayoritas beragama Islam.

Kemudian, dalam situasi hubungan antara muslim Uighur dan Pemerintah Tiongkok yang serba sulit tersebut, muncul pemberitaan yang masih simpang siur dan kurang jernih dalam membaca fakta. Dalam konteks ini kita semua mendambakan informasi yang benar-benar faktual bukan pelintiran informasi yang hanya mendahulukan emosionalitas.

Informasi yang benar dan faktual penting untuk permasalahan hubungan muslim Uighur dan Pemerintah Tiongkok yang rumit tersebut. Supaya kita tidak keliru dalam memahami persoalan sehingga bertindak keliru. Wallahua’lam.