Hukum Mengantar Jenazah dengan Diiringi Bacaan Tahlil

mengantar jenazah Diiringi Bacaan Tahlil

Pecihitam.org – Boleh dikata dalam masalah ini bahwa mayoritas ulama dari 4 mazhab menyepakati kesunahan tidak bersuara saat mengantar jenazah ke pemakaman.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dasar-dasar dalilnya adalah:

  • Dalil Hadis

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُتْبَعُ الْجَنَازَةُ بِصَوْتٍ وَلاَ نَارٍ »

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah jenazah diiringi dengan suara dan api” (HR Abu Dawud)

Hadis ini memang ada yang menilai dhaif, namun para ulama tetap menjadikan dalil karena memiliki beberapa jalur riwayat. Sementara maksud “Suara” dalam hadis lain adalah larangan menyertakan orang yang meratapi mayit. Namun para ulama tetap mengarahkan hadis ini sebagai dalil kemakruhan bersuara saat mengiringi jenazah.

  • Riwayat Sahabat dan Tabi’in

عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَكْرَهُونَ رَفْعَ الصَّوْتِ عِنْدَ ثَلاَثٍ عِنْدَ الْقِتَالِ وَفِى الْجَنَائِزِ وَفِى الذِّكْرِ.

Qais bin Ubbad berkata: “Para Sahabat Nabi tidak senang mengeraskan suara dalam 3 hal, saat perang, saat di dekat jenazah dan saat berzikir” (Sunan Al-Baihaqi)

وَرُوِّينَا عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِّ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِىِّ وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَإِبْرَاهِيمَ النَّخَعِىِّ : أَنَّهُمْ كَرِهُوا أَنَّ يُقَالَ فِى الْجَنَازَةِ اسْتَغْفِرُوا لَهُ غَفَرَ اللَّهُ لَكُمْ.

Kami menerima riwayat dari Said bin Musayyab, Hasan Al-Basri, Said bin Jubair dan Ibrahim An-Nakha’i bahwa mereka tidak suka dikatakan, “Mintakan ampunan untuk jenazah ini maka Allah mengampuni kalian” (Sunan Al-Baihaqi)

  • Pendapat Ulama

Diwakili oleh ulama Syafiiyah:

Baca Juga:  Kriteria Kafaah dalam Pernikahan (Prinsip Kesetaraan)

قَالَ النَّوَوِيُّ وَالْمُخْتَارُ وَالصَّوَابُ مَا كَانَ عَلَيْهِ السَّلَفُ مِنْ السُّكُونِ فِي حَالِ السَّيْرِ مَعَهَا فَلَا يُرْفَعُ صَوْتٌ بِقِرَاءَةٍ وَلَا ذِكْرٍ وَلَا غَيْرِهِمَا ؛ لِأَنَّهُ أَسْكَنُ لِلْخَاطِرِ وَأَجْمَعُ لِلْفِكْرِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْجِنَازَةِ ، وَهُوَ الْمَطْلُوبُ فِي هَذَا الْحَال

An-Nawawi berkata: “Pendapat yang dipilih dan yang benar adalah yang diamalkan oleh ulama Salaf, yakni diam saat berjalan bersama jenazah, tanpa mengeraskan suara baik dengan bacaan, zikir atau lainnya” (Asna Al-Mathalib, 4/264)

Di sisi lain para ulama kita berpendapat:

( وَيُكْرَهُ لِلْمَاشِي ) يَعْنِي لِلذَّاهِبِ مَعَهَا ( الْحَدِيثُ ) فِي أُمُورِ الدُّنْيَا

Makruh hukumnya bagi orang yang ikut mengantar jenazah untuk berbicara soal urusan dunia (Asna Al-Mathalib, 4/264)

Inilah yang terjadi dan menjadi fenomena di masyarakat. Boleh jadi di masa Nabi dan para ulama Salaf yang mengerti keutamaan lebih memilih untuk menghayati dan berfikir tentang kematian dan akhirat. Namun zaman yang terus ke belakang ini mengalami kemunduran sehingga apa yang dikhawatirkan oleh ulama berikut memang menjadi realitas:

قال زي وقد عمت البلوى بما يشاهد من اشتغال المشيعين بالحديث الدنيوي وربما اداهم الى الغيبة فالمختار اشغال اسماعهم بالذكر المؤدي الى ترك الكلام او تقليله ارتكابا لاخف المفسدين اهـ

Az-Zayyadi berkata: “Telah merata apa yang kita saksikan, para pelayat sibuk dengan pembicaraan urusan dunia, kadang menjurus pada ghibah (menggunjing sesama Muslim). Maka pendapat yang dipilih adalah menyibukkan pendengaran mereka dengan dzikir supaya mereka meninggalkan pembicaraan tersebut atau mengurangi. Dalam hal ini berlaku kaidah memilih tindakan yang paling minim resikonya (Bughyah 1/93)

Jika di atas ada beberapa riwayat dari Sahabat yang tidak senang bila ada suara keras dengan zikir dan minta ampunan untuk mayit maka ditemukan sebuah riwayat Sahih dari salah satu Sahabat Nabi:

Baca Juga:  Urutan Bacaan Tahlil dan Doa Arwah Lengkap Beserta Artinya

حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ، أَخْبَرَنَا خَالِدٌ ، عَنْ ابْنِ سِيرِينَ ، أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ ، شَهِدَ جِنَازَةَ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ ، قَالَ : فَأَظْهَرُوا الاِسْتِغْفَارَ – فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ أَنَسٌ

Husyaim berkata kepada kami, Khalid bercerita kepada kami dari Anas bahwa Anas bin Malik menyaksikan jenazah dari Ansor. Mereka menampakkan (mengeraskan) istighfar. Maka Anas tidak mengingkarinya (Musnad Ahmad)

Mengapa Membaca Tahlil?

Al-Hafidz Adz-Dzahabi mencantumkan riwayat melalui jalur Abdurrahman bin Abdullah bin Dinar Al-Madani.

عن ابن عمر قَالَ : لَمْ نَكُنْ نَسْمَعُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَمْشِي خَلْفَ الْجِنَازَةِ ، إلَّا قَوْلُ : لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ، مُبْدِيًا ، وَرَاجِعًا

Dari Ibnu Umar: “Kami tidak mendengar dari Rasulullah saat berjalan di belakang jenazah selain ucapan La ilaha illa Allah, ketika berangkat dan pulang.” (HR Ibnu ‘Adi)

Perawi bernama Abdurrahman bin Abdullaah bin Dinar ada yang memberi penilaian tsiqah (terpercaya), Abu Hatim mengatakan “Tidak bisa dijadikan hujjah”.

وقد ساق له ابن عدى عدة أحاديث، ثم قال: هو من جملة من يكتب حديثه من الضعفاء.

Ibnu Adi membawakan beberapa hadis, kemudian ia berkata: “Ia tergolong orang yang ditulis hadisnya diantara para perawi lemah” (Mizan Al-I’tidal 2/572)

Syekh Az-Zaila’i setelah mencantumkan riwayat di atas:

Baca Juga:  "Ngedehem" Apakah Membatalkan Shalat? Ini Penjelasannya

وَضَعَّفَ إبْرَاهِيمَ هَذَا ، وَجَعَلَهُ مِنْ مُنْكَرَاتِهِ وَأَعَادَهُ فِي ” تَرْجَمَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ ” ، وَضَعَّفَهُ تَضْعِيفًا يَسِيرًا .

Ibnu Adi menilai dhaif terhadap Ibrahim ini dan menjadikan hadis di atas sebagai hadis Munkar darinya. Ibnu Adi mengulang lagi riwayat di atas pada biografi Abdurrahman bin Abdullah bin Dinar. Ibnu ‘Adi menilai dhaif sedikit (Nashb Ar-Rayah, 4/41)

Zikir Tahlil saat mengiringi jenazah ini tetap dianjurkan secara pelan. Syaikhul Islam, Zakariya Al-Ansor, mengatakan:

وَيُسْتَحَبُّ الِاشْتِغَالُ بِالْقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ سِرًّا

Dan disunahkan menyibukkan diri dengan membaca Al-Quran dan zikir secara lirih (Asna Al-Mathalib, 4/264)

Namun, jika bacaan Tahlil dikumandangkan secara keras maka hukumnya adalah makruh, tapi tidak haram. Dan dalam pandangan Imam Zayyadi kemakruhan mengeraskan zikir saat mengantar jenazah ini masih dinilai lebih ringan dari pada para pelayat yang berbicara urusan dunia apalagi sampai ghibah. Wallahu A’lam.