Mengenal Abu Yazid Al Busthami dan Perkataan Wahdatul Wujudnya

Abu Yazid al Busthami

Pecihitam.org,- Seperti yang telah dikenal sebelumnya, bahwa masuk dalam dunia tasawuf dan mengenal para tokoh tokoh didalamnya tentu akan mempertemukan kita dengan konsep ajaran tasawuf yang berbeda beda.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Seperti konsep Mahabbah dari Rabi’ah al Adawiyyah, ucapan Ana al Haqq dari Abu Manshur al Hallaj, dan kini kita akan kembali menyimak terkait kisah hidup dari Abu Yazid al Busthami dan ucapan Syatahatnya yang cukup fenomenal karena dianggap sesat.

Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Sorushan Al Busthami atau yang dikenal dengan nama Abu Yazid al Busthami, seorang cucu dari kakek yang bernama Sorushan.

Sang kakek awalnya merupakan seorang penganut dari agama Zoroaster, yang kemudian memilih berpindah keyakinan dengan menjadi seorang Muslim di Timur Laut Persia atau yang lebih tepatnya lagi di Bhustam.

Beliau merupakan sufi berkebangsaan Persia yang lahir pada tahun 804 H. Dalam literatur literatul tasawuf, nama beliau sering ditulis dengan Bayazid Bastami, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Abu Yazid ketika beliau telah menjadi seorang ayah, dimana sang anak sendiri bernama Yazid.

Terkait kapan beliau wafat ada beberapa pendapat, diantaranya beliau dikatakan wafat di Bushtam pada tahun 261 H, sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa beliau wafat pada tahun 264 H.

Semasa remaja, ketekunan dan kepandaian beliau dalam mendalami Ilmu Agama tidak diragukan lagi. Bahkan dalam kisahnya ketika guru beliau menerangkan salah satu ayat (QS. Luqman [31]: 14 yang berbunyi,

“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu

Ayat inilah yang menggetarkan Abu Yazid hingga pada waktu itu berhenti belajar dan menemui sang ibu di rumah. Dan tentu ini adalah bukti bahwa beliau sangat patuh terhadap ajaran Agama begitupun dengan kepatuhanya kepada kedua orang tuanya.

Baca Juga:  Muhadharah, Mukasyafah dan Musyaha­dah: Perjalanan Spiritual Para Sufi Menuju Allah

Sedangkan dalam menempuh perjalanan menuju seorang sufi, tentu sebagai seorang Abu Yazid harus melewati proses belajar sampai bertahun tahun lamanya.

Sebelumnya beliau merupakan seorang Faqih dari Mazhab Hanafi yang dimana salah satu gurunya ialah Abu Ali al Sindi yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu. Namun sayangnya, ilmu dan berbagai konsep ajaran beliau tidak satupun ditemukan dalam bentuk tulisan (buku).

Usai menjadi seorang Faqih, disinilah awal mula Abu Yazid melakukan pengembaraan di beberapa gurun pasir di Syiria, dengan tujuan untuk melakukan pendekatan kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.,

Berangkat dari sinilah Abu Yazid sampai pada pada tingkat pencapaiannya ke tahap Fana, dimana kata fana itu sendiri bisa diartikan sebagai kondisi dimana hilangnya semua keinginan yang berasal dari hawa nafsu kita selaku manusia.

Dan jalan menempuh pencapaian ini nampak pada apa yang dikisahkan oleh Abu Yazid perihal mimpinya yang menatap Tuhan. Lantas Abu Yazid bertanya “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu?”
Tuhan pun menjawab “Tinggalkan diri (Nafsu) dan kemarilah”

Dari sinilah Abu Yazid membuktikan dirinya sebagai seorang Sufi yang memang sudah benar menceraikan dunia demi ketaatannya kepada Allah, maka tak heran ketika beliau ditanya terkiat Sufi, beliau menjawab

“Sufi adalah orang yang tangan kanannya memegang Kitabullah (Al Qur’an) sedangkan tangan kirinya memegang sunnah Rasulullah, salah satu matanya memandang ke Surga, sedangkan yang lainnya memandang ke Neraka, baginya dunia hanyalah sarung dan akhirat adalah mantelnya, kemudian sambil berseru Labbayka ya Allah (Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah)”.

Dalam ajarannya, beliau pun dikenal dengan konsep Baqa. Yang dimana konsep baqa tentu tidak bisa dipisahkan dengan konsep fana. Baqa sendiri dapat diartikan sebagai proses meninggalkan kebodohan menuju pada kondisi yang mengetahui, atau istilah dalam dunia tasawufnya diartikan sebagai proses atau memang sudah benar benar mendirikan sifat terpuji kepada Allah.

Baca Juga:  Badiuzzaman Said Nursi, Ulama Tafsir Kontemporer dari Daulah Utsmaniyah

Sehingga ketika seseorang telah sampai pada konsep fana, tentu dia pun sudah menjalani ajaran atau konsep Baqa, dan berikut ucapan Abu Yazid terkait kefanaan dan kebaqaan dalam dirinya.

 “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup. Ia telah membuatku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Dia membuatku gila pada-Nya, dan aku pun Hidup. Gila pada diriku adalah kefanaan, sedangkan gila pada-Nya adalah kebaqaan.”

Dalam ajaran Tasawufnya, ternyata Abu Yazid tidak berhenti begitu saja pada konsep fana dan Baqa, karena rupanya masih ada tahapan yang lebih tinggi dari itu yakni tahap Ittihad, dimana pada tahap ini bisa dikatakan tahap penyatuan sufi dengan Tuhan. Dimana antara yang mencintai dan dicintai menyatu.

Dan salah satu tanda penyatuan ini, seorang sufi akan sering melontarkan kalimat kalimat Syatahat yang pastinya tidak mudah dipahami oleh orang awam. Kalimat Syatahat sendiri ialah ucapan ucapan seorang sufi yang tidak rasional sehingga cenderung membuat para pendengarnya merasa bingung dan disesatkan.

Baca Juga:  Kondisi Syatahat yang Dialami Para Sufi Seperti Al-Halaj hingga Berkata "Ana Al-Haq"

Contoh ucapan Syatahat yang pernah dilontarkan oleh Abu Yazid usai Sholat Shubuh ialah

“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”

Tidak hanya itu, ucapan lainnya ialah ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Pada waktu Abu Yazid bertanya pada sang pengetuk pintu tersebut “Siapa yang engkau cari?” orang tersebut menjawab “Abu Yazid”. Maka Abu Yazid pun menjawab “Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang Maha kuasa dan maha Tinggi”

Sedangkan kalimat Syatahat lainnya ialah “Apabila Jahannam melihatku, maka ia akan menyurut” (Siradj, Said Aqil [2003]. Ma’rifatullah : Pandangan Agama Agama dan Tradisi Filsafat)

Sehingga, dari kisah hidup Abu Yazid al Busthami kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa mendalami ilmu tasawuf sampai berada pada tingkatan penyatuan dengan Tuhan tentu tidak didalami begitu saja oleh orang yang keimanannya biasa-biasa pula. melainkan mereka yang memang betul betul patuh terhadap ajaran Allah dan telah merasa bahwa dunia tak lagi berarti baginya. Semoga bermanfaat!

Rosmawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *