Mengenal Ahlussunnah wal Jamaah; Sejarah, Definisi dan Pemikirannya

ahlussunnah wal jamaah

Pecihitam.org – Dalam perkembangan lahirnya firqah-firqah islam yang menyimpang dan konflik identitas teologis lahirlah sebuah paham yang disebut Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Aswaja lahir untuk meluruskan penyimpangan yang dilakukan oleh golongan lain agar sesuai dengan paham yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya. Paham-paham menyimpang yang kala itu banyak berkembang antara lain lain seperti Khawarij, Syiah, Jabariyah, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah.

Awalnya penyimpangan-penyimpangan itu lahir karena faktor politik yang melibatkan Mu’awiyah, Ali bin Abi Thalib, dan kelompok yang netral. Kelompok netral ini dipelopori oleh Abdullah bin Umar. Namun kelompok netralis ini ditendang oleh Mua’wiyah.

Kemudian dalam perjalanannya bergabunglah golongan as-sunnah (para netralis politik Madinah) dan al-jama’ah (para pendukung Mu’awiyah). Inilah yang menjadi embrio Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Ahlussunnah adalah mereka yang banyak bergaul dengan para ulama anggota ahlul bait. Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab sangat berperan besar dalam merumuskan doktrin Aswaja. Mereka adalah sebagai sosok mujtahid yang teguh berpegang kepada teks (al-qur’an-hadis) dan kemaslahatan manusia.

Definisi Ahlussunnah wal Jamaah

Secara bahasa Aswaja terdiri dari tiga kata, ahlu, as sunnah, dan al jama’ah. Kata ahlu diartikan sebagai keluarga, komunitas, atau pengikut. Kata as sunnah diartikan sebagai jalan atau karakter. Sedangkan kata al jamaah diartikan sebagai perkumpulan.

Arti sunnah secara istilah adalah segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW., baik berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Sedangkan al-jamaah bermakna sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW. dan pada era pemerintahan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali).

Jama’ah juga mengandung beberapa pengertian, yaitu: kaum ulama atau kelompok intelektual; golongan yang terkumpul dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang amir; golongan yang di dalamnya terkumpul orang-orang yang memiliki integritas moral atau akhlak, ketaatan dan keimanan yang kuat; golongan mayoritas kaum muslimin; dan sekelompok sahabat Nabi Muhammad SAW.

Baca Juga:  Manhaj dan Pemikiran Ahlussunnah Wal Jama'ah

Sehingga secara istilah Ahlussunnah wal Jamaah adalah golongan yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW. dan jalan para sahabat beliau, serta jalan para salafusshalih baik dilihat dari aspek aqidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak hati.

Menurut Imam Abu Hasan al Asy’ari, Aslussunnah wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadits, dan apa yang diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.

Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlussunnah wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama.

Secara spesifik, Ahlussunnah yang berkembang sekarang ini adalah mereka yang dalam fikih mengikuti salah satu dari 4 mazhab yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I atau Imam Hanbali.

Dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari atau Abu Mansur al Maturidi, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali, Imam Abu al-Hasan al-Syadzili atau Abbul Qosim Al-Junaidi.

Itulah mengapa Ahlussunnah wal Jamaah sanad keilmuannya jelas, karena pengikutnya di wajibkan mengikuti ulama-ulama di atas baik dalam. akidah, fiqih, dan tasawuf agar pemahamannya tidak menyimpang.

Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlussunnah wal Jamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.

Dari definisi-definisi di atas meneguhkan akan kekayaan intelektual dan peradaban yang dimiliki Aslussunnah wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada al-Qur’an dan hadis.

Tetapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi.

Jika hanya terpaku dengan al-Qur’an dan hadis dan membiarkan sejarah para sahabat dan orang-orang salih merupakan bentuk kesombongan. Sebab generasi sahabat dan salafusshalaih adalah yang paling otentik dan orisinal yang lebih mengetahui bagaimana cara memahami, mengamalkan dan menerjemahkan ajaran Rasul dalam perilaku setiap hari, baik secara individu, sosial, maupun kenegaraan.

Baca Juga:  Bagaimana NU Dimata Dunia? Begini Cerita dari Para Ahli

Berpegang kepada al-Qur’an dan hadis tanpa dasar ilmu pengetahuan, bisa mengakibatkan hilangnya esensi (ruh) agama, karena akan terjebak pada aliran dhahiriyah (tekstualisme) sehingga mudah menuduh bid’ah kepada yang lainnya.

Ahlussunnah wal Jamaah Konteks Keindonesiaan

Di Indonesia, Ahlussunnah wal Jamaah yang paling dominan adalah mengikuti Imam Abu Hasan al Asy’ari dalam aspek aqidah, Imam Syafi’i dalam aspek fiqh, dan Imam Ghazali dalam aspek tasawuf. Karya-karya dan pemahaman mereka banyak dipelajari di pesantren, madrasah, majlis ta’lim, masjid, mushalla, dan lain-lain.

Abu Hasan al Asy’ari terkenal dengan kemampuannya menggabungkan dimensi rasionalitas aliran Mu’tazilah (karena beliau pernah lama menjadi pengikut Mu’tazilah) dan tradisionalitas aliran Jabariyah (fatalisme).

Teori kasb (upaya/usaha) adalah buktinya. Teori ini dimunculkan sebagai mediasi antara kaum rasionalis dan tradisionalis, bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berusaha, namun hasil akhirnya berada dalam kekuasaan Allah.

Imam Syafi’i dengan mazhabnya, terkenal dalam kemampuannya menggabungkan antara rasionalitas ahlu al-ra’yi (berguru pada Imam Hanafi di Irak) dan tradisionalitas ahlu al-hadis (berguru pada Imam Malik di Madinah).

Konsep analogi (qiyas) dan penelitian induktif (istiqra’) dalam menjawab masalah-masalah aktual adalah gaya pemikiran cemerlang Imam Syafi’i yang menggemparkan jagat intelektualitas pada masa itu.

Sedangkan Imam Ghazâli terkenal dengan kemampuannya menggabungkan rasionalitas filosof, formalitas ahli fiqh, dan esoteritas kaum sufi. Contohnya adalah Ihya’ Ulumiddin yang merupakan masterpiece Al-Ghazali.

Ihya Ulumuddin mengandung kedalaman kajian aqidah, filsafat, fiqh, tasawuf, sosial dan politik dalam satu kesatuan yang holistik. Tasawuf falsafi dan amali digabungkan dalam satu pemikiran dan tindakan yang membawa perubahan positif bagi masa depan dunia dan akhirat.

Jadi sebagai firqah islam, Ahlussunnah wal Jamaah sangat lengkap dalam kekayaan intelektualnya (keren bukan!). Sehingga diharapkan kader-kader Ahlussunnah wal Jamaah di masa depan harus mampu menguasai tiga bidang di atas sekaligus. Ahli di bidang aqidah, fiqh, dan tasawuf yang membawa perubahan dan kemajuan besar bagi peradaban dunia.

Baca Juga:  Jaga Terus Aswaja, Kirim Putra-putri Anda ke Lembaga Pendidikan NU

Tidak hanya itu, kader Ahlussunnah juga harus menguasai tafsir, hadis, dan pemikiran para pemikir Islam dalam semua bidang, karena Aswaja adalah golongan yang mengikuti sunnah Nabi, khulafa’ al-rasyidin, dan golongan mayoritas umat (al-sawadu al-a’dham).

Khususnya di Indonesia sebagai pengikut Ahlussunnah wal Jamaah an Nahdliyah mengikuti jejak pemikiran dan perjuangan KH Hasyim Asyari, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Ahmad Shidiq, KH. Ali Ma’shum, KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. Musthofa Bisyri, dan KH. Sa’id Aqil Siradj dan seterusnya, dalam wadah Jamiyah Nahdlatul Ulama merupakan langkah terbaik untuk mengembangkan Ahlussunnah wal Jamaah secara dinamis dan produktif.

Semangat membaca dari berbagai sumber pengetahuan, baik Barat maupun Timur, mengapresiasi pemikiran dan budaya lokal, menulis buku dan kitab, berjuang mencerdaskan umat dan menyejahterakan rakyat, dan aktif melakukan kaderisasi merupakan kunci sukses dalam mengembangkan Ahlussunnah wal Jamaah.

Selain itu para kader Ahlussunnah wal Jamaah an Nahdliyah juga harus mampu menepis tuduhan sepihak yang dilontarkan oleh golongan-golongan lain yang mengatakan bahwa banyak praktek budaya yang dilakukan warga Nahdlatul Ulama termasuk bid’ah tersesat yang ancamannya adalah masuk neraka. Demikian semoga bermanfaat. Wallahua’lam bisshawab.

*Diolah dari berbagai sumber

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *