Mengenal Ajaran Mistisme Islam Jawa Sultan Agung Hanyakrakusuma

Mengenal Ajaran Mistisme Islam Jawa Sultan Agung Hanyakrakusuma

Pecihitam.org – Sultan Agung adalah Raja Mataram Islam yang paling di kenal oleh masyarakat Nusantara. Ia juga mendapatkan gelar seperti Panembahan Hanyakrakusuma dan Susuhunan Agung Hanyakrakusuma.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sultan Agung di lahirkan pada tahun 1593 dan duduk menjadi Raja kerajaan Mataram pada tahun 1613 hingga  1646. Sultan Agung putra dari Panembahan Hanyokrowati atau anak kedua dari cucu Panembahan Senopati ( Pendiri Kerajaan Mataram dan sekaligus Raja pertama Mataram). Dibawa tangan kekuasaan Sultan Agung, Mataram Islam menjadi kerajaan yang besar di pulau Jawa.

Mataram Islam yang menajadi pusat kerajaan Jawa pada abad ke-16 yang didalamnya terdapat banyak tradisi Islam dan Jawa. Agama seringkali dipandang sebagai sumber nilai, karena berbicara baik dan buruk, benar dan salah.

Demikian pula agama Islam memuat ajaran yang penuh dengan nilai-nilai yang berbicara tentang kebaikan. Jika dilihat dari asal datangnya nilai-nilai dalam perspektif Islam terdapat dua sumber nilai, yakni Tuhan dan Manusia.

Sufisme Jawa tidak bisa dipisahkan dari akarnya yaitu tasawuf. Simuh mempunyai pandangan bahwa yang dinamakan dengan tasawuf adalah sebuah jalan untuk bisa mencapai tujuan utama yaitu bersatu dengan Tuhan secara makrifat.

Sedangkan yang dinamakan dengan mistisme Jawa adalah sesuatu ajaran yang menyembunyikan atau bersifat rahasia. Seperti sebuah jalan khusus untuk dapat mencapai kemuliaan drajat dihadapan-Nya.

Salah satu jalan untuk mencapainya yaitu dengan konsentrasi dan memusatkan pikiran untuk berzikir kepada Allah swt. Selain berzikir, ajaran mistisme Jawa juga dikembangkan menjadi sebuah sastra seperti Serat Sastra Gendhing yang ditulis oleh Sultan Agung.

Baca Juga:  Tujuan Ilmu Tarekat, Perjalanan Menuju Spiritual Tertinggi

Nilai yang datang dari Tuhan adalah ajaran-ajaran tentang kebaikan yang terdapat dalam kitab suci. Nilai yang berisi dan bermakna tentang firman Tuhan bersifat mutlak, tetapi di dalamnya terdapat bentuk ajaran perilaku yang merupakan penafsiran terhadap firman Allah swt dan bersifat relatif. Sehingga butuh penafsiran kembali dalam setiap zaman.

Demikian juga dengan nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusian yang seperti akhlak dan etika. Nilai kemanusiaan yang menjadi pijakan penting dalam membangun peradaban masyarakat yang harmonis dan sejahtera.

Pentingnya dalam membangun peradaban yang harmonis dan tidak meninggalkan ajaran-ajaran Islam. Sehingga Sultan Agung berinisiatif untuk membuat suatu serat yang bersifat religi dan mempunyai unsur-unsur lokal, seperti Serat Sastra Gendhing . Serat yang bersisi tentang nilai-nilai keislaman yang ditulis dalam bahasa Jawa.

Meskipun serat tersebut mengandung nilai-nilai keislaman, namun Sultan Agung menulisannya dalam bentuk bahasa Jawa. Penulisan ini bertujuan untuk mempermudah masyarakat untuk dapat dibaca dan dipelajari.

Munculnya Sastra Gendhing adalah respon dari polemik wacana sastra yang tidak berlandaskan pendidikan Islam. Muncul beberapa karya khasanah sastra dan berlandaskan religiusitas di antaranya Sastra Gendhing.

Sastra Gendhing diakui buah pikiran Sultan Agung, berisi tentang berbagai ajaran yaitu ajaran moral, religius, seni, filsafat, dan mistik. Karya mistik Sastra Gendhing mengajarkan keselarasan lahir batin dan awal akhir.

Baca Juga:  Sufisme dalam Islam, Sebuah Jalan Lain Menuju Allah

Serat Sastra Gendhing ditulis oleh Sultan Agung  bertujuan untuk mengingatkan manusia.  Supaya  Manusia selalu  ingat bahwa hidup  ada keterkaitanya antara manusia dan Tuhan. Hal demikian tercermin dalam diri Sultan Agung sebagai raja.

Dalam konsep kekuasaan Jawa, kekuasaan raja yang besar tetap harus diimbangi dengan kewajiban, ber budi bawa leksana, ambeg adil para marta , yaitu meluap budi luhur mulia dan sifat adil terhadap semua. Cerminan diri sosok Sultan Agung lalu ditulisa dalam bentuk teks sastra Gendhing.

Nilai religi dengan corak lokalitas dalam Gendhing menjadikan sastra ini banyak disukai oleh masyarakat Jawa. Unsur religi dalam sastra Jawa ditempatkan jelas sekali di bagian awal atau akhir dalam naskah, dinyatakan dengan kalimat untuk mendapatkan penganyoman dari Tuhan semesta alam, seperti yang tercantum pada Serat Sastra Gendhing pupuh Sinom bait 10 baris 1-5.

Kalengkanireng swarendah                 “Terangkai dalam keindahan suara”

Sarancak pinitheng esti                        “Tertata rapi dan berirama Irama”

 Ngesihi tableh ing panunggal “Irama yang memiliki tujuan”

Tuduh pamadyaning                           “Memberi petunjuk kepada umat manusia”

dasih Mring Hyang kang maha sugih “Mengenai Tuhan yang maha kaya”

Penggalan teks sastra Gendhing di atas menunjukan begitu besar  nilai-nilai Islam dengan bahasa Jawa sebagai bukti kesuksesan dalam alkulturasi budaya dan agama di tanah Jawa.

Baca Juga:  Inilah Sumber Tasawuf Yang Wajib Kita Ketahui (Bagian 1)

Perpaduan antara unsur religi dan budaya menjadikan Sultan Agung sebagai guru dan pemimpin yang disegani oleh masyarakat. Kewibawaan dalam memimpin dan menjadi tokoh agama, membuat membuat masyarakat merasakan kenyamanan dan ketentraman.

Banyak ajaran-ajaran yang Sultan Agung lakukan dalam membimbing masyarakat seperti budaya, agama, tradisi hingga pengenalan terhadap teks-teks sastra Gendhing.

Sultan Agung tentu ketika mengarang teks sastra Gendhing tersebut tidak terlepas dari Alquran, hadis serta  ajaran Sunan Kalijaga. Perpaduan anatara Alquran, hadis dan ajaran Sunan Kalijaga menginisiatif Sultan Agung untuk membuat sebuah teks sastra Gendhing yang didalamnya terdapat nilai-nilai tasawuf yang sangat dalam.

Nilai-nilai tasawuf tersebutlah yang Sultan Agung ajarkan kepada masyarakat yang bertujuan untuk menyalurkan  ajaran Islam kedalam sendi-sendi lokalitas budaya masyarakat Jawa.

M. Dani Habibi, M. Ag