Mengenal Konstruksi Tasawuf Moderat ala Buya Hamka

tasawuf moderat buya hamka

Pecihitam,org – Dalam sejarahnya tasawuf moderat baru muncul ketika tasawuf itu sendiri telah dikembangkan oleh para pembaharu Tasawuf dengan pemikiran masing masing. Sedangkan salah satu pengembang dari Tasawuf moderat yang berasal dari tanah air salah ialah Buya Hamka.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Buya Hamka, dialah salah satu cendekiawan Muslim Indonesia yang namanya cukup melejit dikalangan Muslim Indonesia bahkan di luar Indonesia sekalipun. Tafsirnya (Tafsir al Azhar) yang kini menjadi salah satu rujukan dalam menimba Ilmu tentu membuat namanya semakin dikenal dan dikenang.

Buya Hamka atau yang bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lahir pada tanggal 13 Muharram 1326 H bertepatan dengan 16 Februari 1908. Adapun jika kita menoleh pada keluarga beliau, rupanya ayah dari Hamka pun merupakan seorang ulama besar yang cukup berpengaruh di Minangkabau.

Namun pada tulisan kali ini kita tidak akan jauh membahas tentang perjalanan hidup seorang Buya Hamka, melainkan membahas tentang Konstruksi tasawuf Moderat Hamka, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasanya beliau merupakan seorang Ulama yang juga mendalami Ilmu Tasawuf, hanya saja pemikiran tasawuf beliau mengarah pada tasawuf moderat.

Sebelumnya, corak Moderat tasawuf Buya Hamka yang lebih cenderung  pada Moral dan Etikal dalam menguaraikan pelbagai persoalan keagamaan. Selain itu, Buya Hamka sangat senang memunculkan sang Hujjatul Islam Imam Al Ghazali dalam karya karya utamanya, dan itu tidak lain karena baginya sang Hujjatul Islam ini sangat diapresiasi beliau terlebih dalam dunia Tasawuf.

Dalam pemikiran beliau yang membahas terkait tasawuf Moderat, paling tidak ada dua point penting yang dijelaskan oleh oleh beliau, yakni

1. Tasawuf Sebagai Dampak dari Tasawuf

Dari kacamata seorang Buya Hamka, beliau menilai bahwa fondasi esensial doktrin Islam adalah Tauhid. Sebagai seorang muwahid (orang yang mengakui keesaan Allah) tentu jiwanya tidak boleh terpaut kepada yang lain,  sebab eksistensi yang lain hanyalah diciptakan oleh Tuhan yang maha Esa, dan yang Esa adalah apa apa yang berada diluar yang diciptakannya. Sehingga segala lain hanyalah makhluk belaka, baik alam lahir maupun alam Bathin.

Baca Juga:  Mengenal Sosok Buya Hamka, Sastrawan dan Ahli Tafsir Asli Indonesia

Tidak hanya, apabilah Tauhid telah mendarah daging pada jiwa seseorang, tentunya dia akan menggantungkan segala jiwanya yang hanya kepada sang Khalik, dan melepaskan jiwa tersebut dari segala pengaruh yang lain. Sehingga dengan demikianlah Tauhid merupakan pijakan tasawuf sekaligus sebagai sumber pencerahan tasawuf.

Sedangkan dalam sisi lain, Buya Hamka pun menilai hakikat dari tauhid ialah akan menyebabkan beberapa dimensi dalam tasawuf seperti Zuhud dan Cinta. Kemudian secara teoritis dalam konsep tasawuf, dibaginya dalam beberapa tahapan yakni

Pertama, Tauhid dalam penyembahan

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwasanya makna dari penyembahan ini ialah tidak ada satupun makhluk kecuali Allah yang disembah. Jikalau eksistensi manusia berasal dari Allah, tentulah manajemen dan pengarah hidupnya diserahkan pula kepada Allah Swt.

Kedua, Tauhid dalam meminta pertolongan

Selain dari penyembahan, Manusia sepatutnya hanya meminta pertolongan dari Allah Swt., dengan memandang Allah sebagai penyebab sejati di alam semesta, itu artinya tidak ada manfaat ataupun mudharat yang dapat menimpa manusia tanpa kehendaknya.

Ketiga, Tauhid dalam berharap

Pada point ini, tauhid mengajak setiap manusia agar tidak menempatkan harapan harapan mereka kepada siapa pun selain Allah, dan juga merupakan konsekuensi dari keyakinan kepada rububiyyah genetik Allah. Genetik Allah yang dimaksud dalam hal ini ialah Allah sebagai pencipta alam semesta, manajer, dan direkturnya. Sehingga Dialah penguasa mutlak terhadap alam semesta.

Dari tahapan inilah, Tauhid membawa konsekuensi logis dimana Tuhan menjadi tempat berlabuh dengan segala bentuk pengabadian, penyembahan, permohonan, dan pengharapan disetiap hamba hamba-Nya.

maka sangatlah wajar jika memandang hal ini, Buya Hamka menjadikan tauhid sebagai titik pijak sekaligus muara segala bentuk pengalaman tasawuf, bukan untuk mendekatkan diri atau mengabdi kepada orang lain (wali atau guru)

Sedangkan makna Tauhid yang pernah dilukiskan oleh Buya Hamka dengan khas gaya bahasanya ialah sebagai berikut

“Maka Tauhid adalah Rohnya Agama Islam dan jauhar intisarinya dan pusat dari seluruh peribadatannya. Laksana tanah kering, menjadi suburlah dia kalau telah disirami oleh air Tauhid. Al Qur’an menjelaskan hahikatnya berulang ulang. Segala misal dan perumpamaan, kisah dan hikayat dan perjuangan Nabi Nabi sejak Adam lalu Muhammad, semua isinya adalah penjelasan Tauhid.

Sehingga bolehlah dikatakan bahwasanya tauhid telah memberi cahaya sinar seminar dalam hati pemeluknya, dan memberi cahaya dalam otak sehingga segala hasil yang timbul daripada amal dan usahanya mendapat Cap “Tauhid” (Dr. Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf sebuah kajian tematik, (Jakarta: Rajawali Pres), h. 266)

Baca Juga:  Buya Hamka: Saya Qunut Subuh dan Ikut Maulid Setelah Baca 1000 Kitab

2. Keseimbangan antara Keshalelahan Individual dan Sosial

Mengingat Buya Hamka membangun pijakan tasawuf dengan bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah, tentulah kedua sumber ini sangat menekankan pada keseimbangan antara berbagai hal dalam kehidupan. Baik itu pada keseimbangan rohani dan jasmani, duniawi dan ukhrawi, maupun segala bentuk ibadah dan amal kebajikan yang tujuannya hanya semata mata meraih Ridha Allah Swt.,

Dari pola keseimbangan inilah yang mewarnai wacana tasawuf beliau yang bersifat moderat. Sedangkan dalam meraih kebahagiaan hakiki yang tentu menjadi tujuan dari para sufi dengan berbagai langkah langkah atau tingkatan peribadatan, Buya Hamka beranggapan bahwa Kebahagiaan tersebut mestilah seimbang dengan tuntutan Al Qur’an dan Sunnah.

Selain itu, kebahagiaan pun tidak hanya dapat diraih dengan kesehatan jiwa tetapi juga dengan kesehatan badan, bukan hanya dengan doa dan ibadah melainkan juga harus disertai dengan doa dan kegiatan sosial. Kalau bahasa sederhananya ialah tidak hanya  terpatok pada hubungan kita seorang hamba kepada Tuhan (corak vertikal), melainkan pun harus mengimplementasikan keshalehan sosial tersebut yang bercorak horizontal.

Dan yang menjadi kajian penting dalam memahami keseimbangan yang dimaksud Buya Hamka ialah sebagai berikut

Pertama, Zuhud

Zuhud yang dimaksud disini ialah bukanlah zuhud yang dilakukan sebagian orang dengan menjauhkan diri dari kekayaan ataupun menjauhkan diri dari kesenangan.

Melainkan zuhud yang dimaksud Buya Hamka ialah situasi Bathiniah seseorang yang tidak terikat apapun selain kepada Tuhan semata, yang seperti ini tentulah tak akan melabuhkan perhatian kalbunya kepada yang lain kecuali kepada Allah Semata.

Baca Juga:  Tanda-tanda Wali Allah Menurut Ibnu Athaillah as Sikandari

Tidak terikat dengan harta benda ataupun keindahan keindahan dunia yang lalu lalang berada dalam genggamannya. Sehingga orang zuhud yang dimaksud adalah mereka yang tidak terpengaruhi dengan harta kekayaan duniawi walaupun seluruh isi dunia berada dalam genggamannya.

Kedua, Qanaah

Secara  sederhana, Buya Hamka memaknai Qanaah dengan menerima cukup. Yang dimana hakikatnya ialah sikap Bathin yang merasa cukup dengan Tuhan, namun secara fisikal ia akan tetap berusaha dalam kehidupan duniawinya dan menyatu dalam gelanggang kehidupan sosial masyrakat.

Ketiga, Tawakkal

Tawakkal yang dimaksud Buya Hamka ialah seorang yang bertawakkal kepada Tuhan tidak menghalangi dirinya dari menunaikan segala usaha yang dibutuhkan dalam mencapai setiap target yang didambakannya. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa Tawakkal disini ialah kondisi Bathiniah seorang muslim dalam menyerahkan segala keputusan final kepada Tuhan, bukan kondisi lahiriah tanpa disertai perbuatan.

Keempat, Uzlah

Uzlah tidak dimaknai sebagai bentuk pengasingan diri demi memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt., melainkan dalam kacamata Buya Hamka, Uzlah ialah Upaya memperteguh disiplin diri dan mengambil tanggung jawab di tengah tengah pentas kehidupan sosial dalam rangka mengibarkan bendera dan mencegah kemungkaran.

Sehingga dalam pandangan ini, kita bisa memautkan antara keshalelahan individual dan sosial dalam upaya penegakan dan mencegah kemungkaran. Sebab jika kita memilih untuk mengasingkan diri, itu artinya secara tidak langsung kita telah melepaskan diri dari tanggung jawab sosial dalam kehidupan masyarakat.

Sumber: Dr. Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf sebuah kajian tematik, Jakarta: Rajawali Pres

Rosmawati