Menguji Keabsahan Pelarangan Memakai Cadar di Instansi Pemerintahan

Menguji Keabsahan Pelarangan Memakai Cadar di Instansi Pemerintahan

Pecihitam.org – Belum lama ini Menteri Agama Fachrul Razi tengah mengkaji pelarangan memakai cadar di instansi pemerintahan dengan alasan keamanan. Kebijakan yang masih dalam tahap wacana dan pengkajian ini, menjadi salah satu rentetan kebijakan polemis tentang agama yang ada di Indonesia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tahun 2018 lalu, institusi kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga pernah memberlakukan pelarangan memakai cadar bagi mahasiswinya. Alasannya, UIN sudah lama disusupi paham radikal, termasuk adanya simpatisan HTI yang menjadi mahasiswa.

Menurut pihak kampus, pelarangan memakai cadar menjadi sangat penting dan mendesak untuk mengikis paham radikalisme di dalam kampus.

Namun demikian, tak lebih dari sehari, kebijakan itu menuai polemis dan kontroversi yang luas di kalangan masyarakat. UIN dianggap sebagai institusi yang membelenggu kebebasan berkespresi dan beragama.

Menurut banyak kalangan, cadar tidak ada hubungannya dengan radikalisme, sehingga orang boleh-boleh saja berpakaian sesuai dengan keyakinannya, toh itu tidak merugikan orang lain.

Akibat dari serangan bertubi-tubi dari berbagai lapisan masyarakat, UIN akhirnya memutuskan untuk menarik kembali kebijakan itu, dan membiarkan mahasiswinya berpakaian sesuai kode etis yang berlaku.

Pertanyaannya, sebegitu pentingkah negara mengatur hal-ihwal agama yang diyakini dan dipraktikkan oleh setiap warganya? Terkhusus, apa urgensinya melarang setiap muslimah untuk bercadar? Bukankah cadar itu ekspresi agama seseorang yang diyakininya sebagai kebenaran, dan bukan ekspresi radikal atau ekstremis.

Baca Juga:  Agama Dalam Kepentingan dan Politik Identitas

Paling tidak, ada beberapa alasan mengapa Menag menguji pelarangan memakai cadar ini di instansi pemerintahan, di antaranya karena sejak awal dilantik, Menag yang berasal dari kalangan militer itu memiliki orientasi yang serius dalam menumpas paham radikalisme yang selama ini disematkan kepada Muslim yang mengambil jalan keras dalam beragama.

Selain itu, cadar, dalam beberapa kasus, juga merupakan representasi kelompok-kelompok radikal atau ekstremis. Berbagai jaringan teroris internasional juga begitu, para muslimahnya pasti bercadar, hampir tak ada yang berkerudung biasa seperti orang-orang Indonesia.

Meskipun, pandangan ini tak bisa digeneralisis begitu saja, bahwa ada banyak juga orang bercadar namun tak berpaham radikal, mereka hanya menjalankan tuntutan syariat sesuai dengan apa yang mereka pahami dan yakini.

Misalnya seperti di negara-negera Timur Tengah seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Yaman, dan lain sebagainya, sebagian besar muslimah di sana bercadar, namun mereka bukanlah teroris. Mereka bercadar bukan sekedar sebagai pengalaman agama, tetapi juga pengalaman kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa.

Baca Juga:  Mencabut Hak-hak Politik Warga Negara Khilafah di Indonesia

Perlu juga diketahui bahwa secara historis, cadar bukanlah murni ajaran yang dianggap dari Islam. Sebelum Islam datang, cadar sudah dipakai di kawasan Timur Tengah, baik yang beragama Yahudi, Kristen, dan agama lainnya, mereka juga bercadar sebagai bentuk ekspresi budaya. Bahkan sampai sekarang, cadar masih dipakai bukan hanya oleh orang-orang Islam, umat-umat lain, juga memakainya.

Pada titik ini, cadar bisa disebut sebagai ajaran “penetrasi” atau ajaran dari luar Islam atau kebudayaan luar, yang kemudian oleh para ahli fikih diadopsi dan dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam.

Meskipun, ini hanya pandangan ulama-ulama tertentu saja. Mayoritas ulama sepakat bahwa cadar bukanlah ajaran Islam yang wajib dijalankan, tapi umat Islam boleh-boleh saja memakainya sesuai pemahamannya atas agama.

Dengan demikian, cadar menjadi sebentuk identitas bagi kelompok muslim tertentu dalam pengalaman keberagamaannya. Sehingga cadar sama sekali tidak identik dengan radikalisme, ekstremisme, apalagi terorisme.

Sampai pada titik ini, apa yang diupayakan oleh Menag untuk mengkaji pelarangan memakai cadar seperti ingin mengatakan bahwa cadar itu keliru dan berbau radikalisme. Sebab, Menag boleh dibilang terlalu ikut campur dengan urusan privat agama yang diamalkan oleh sebagian umat Islam.

Baca Juga:  Kritik atas Politisasi Islam; Model Pemikiran Politik yang Ketinggalan Zaman

Bahkan, Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengimbau kepada Fachrul Razi untuk tidak membuat gaduh, karena masalah agama adalah masalah yang sensitif. Harusnya, kata Anwar, untuk mewacanakan hal itu, harus melalui dialog dan musyawarah. Meski ini pendapat pribadi Anwar Abbas dan tak mewakili suara MUI, boleh jadi apa yang dikatakannya benar.

Hemat saya, apa yang dilakukan oleh Menag sah-sah saja, dan mungkin menjadi keharusan lantaran faham radikalisme sudah sebegitu merajalela di negeri ini. Upaya-upaya kecil yang bisa dilakukan, maka harus dilakukan, selama itu bisa menangkal atau meminimalisir gerakan radikalisme tersebut.

Namun demikian, apapun kebijakannya nanti, Menag atau pemerintah, dalam hal pelarangan memakai cadar ini, harus betul-betul membuat kebijakan yang sesuai dengan semangat Pancasila UUD 1945.

Sebab, UUD 1945 telah menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut kepercayaan masing-masing. Jangan sampai, pelarangan cadar ini menjadi semacam pembelengguan bagi kebebasan beragam bagi individu.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *