Kisah Singkat Muadzah Al Adawiyyah, Seorang Wali Perempuan Masa Tabiin

Kisah Singkat Muadzah Al Adawiyyah, Seorang Wali Perempuan Pada Masanya

Pecihitam.org- Nama lengkap dari Muadzah al Adawiyyah adalah Mu’adzah binti Abdullah al-‘Adawiyyah al-Bashriyyah (w. 702 M). beliau merupakan istri Silah bin Asyyam, yakni seorang tabi’in yang mati syahid di medan perang.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam catatan Imam al-Dzahabi, Silah bin Asyyam hanya meriwayatkan satu hadits (yaitu hadits Ibnu Abbas) karena ia wafat sebelum Ibnu Abbas dalam peperangan. Imam al-Dzahabi menulis:

“Beliau merupakan seorang ulama besar, akan tetapi beliau tidak meriwayatkan hadits kecuali satu hadits dari Ibnu Abbas. Sebelum Ibnu Abbas, beliau mati syahid” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1982, juz 4, h. 509).

Mu’adzah al-‘Adawiyyah adalah seorang ahli ilmu (al-sayyidatul ‘âlimah). Ia berguru (meriwayatkan) langsung dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidah ‘Aisyah dan Hisyam bin Amir.

Ia memiliki banyak murid laki-laki (kalangan tabi’in), seperti Abu Qilabah al-Jarmiyy, Yazid al-Risyk, ‘Ashim al-Ahwal, Umar bin Dzar, Ishaq bin Suwaid, Ayyub al-Sikhtiyaniyy, dan lain sebagainya. Imam al-Dzahabi menulis:

Mu’adzah meriwayatkan (hadits) dari Ali bin Abu Thalib, ‘Aisyah, Hisyam bin ‘Amir. Abu Qilabah al-Jarmiyy, Yazid al-Risyk, ‘Ashim al-Ahwal, Umar bin Dzar, Ishaq bin Suwaid, Ayyub al-Sikhtiyaniyy, merupakan sebagian dari orang-orang yang mengambil riwayat darinya.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, 1982, juz 4, h. 509).

Baca Juga:  Inilah Beberapa Variasi Kisah Nabi Sulaiman yang Banyak Beredar, Termasuk Kisahnya dalam Borobudur

Imam Yahya bin Ma’in mengakui ketsiqqahannya (wa tsaqqahâ yahya bin ma’în). Ia juga memiliki banyak murid perempuan. Dalam penelitian Rkia Elaroui Cornell, Mu’adzah al-‘Adawiyyah dipandang sebagai orang pertama yang mendirikan mazhab asketisme (tasawuf) untuk perempuan di Bashrah.

Ia mendasarkan teorinya pada catatan Imam Abdurrahman al-Sulami bahwa banyak pelaku tasawuf perempuan yang berkumpul di sekitar Mu’adzah al-‘Adawiyyah dan disebut sebagai “tilmîdzah” (murid). (Rkia Elaroui Cornell, Rabi’a from Narrative to Myth: The Many Faces of Islam’s Most Famous Saint, Rabi’a al-‘Adawiyya, London: Oneworld Academic, 2019, h. 125).

Muadzah al Adawiyyah, dalam catatan Imam al-Sulami, merupakan teman karib Rabi’ah al-‘Adawiyyah (kânat min aqrân râbi’ah), dan ia tidak pernah memandang langit selama empat pulu tahun lamanya. Itu disebabkan ia merasa tidak pantas memandang ke atas. Ia merasa dirinya selalu kotor dan penuh dosa.

Baca Juga:  Hoax Pada Masa Nabi Muhammad

Mu’adzah selalu berhati-hati dalam berperilaku. Ia menahan diri dari memakan sesuatu yang syubhat, dan menjaga diri dari ketakabburan dan ujub. Ia benar-benar merasakan bahwa memandang ke atas (ke langit) merupakan bentuk ketidak-sopanan kepada Tuhan dan kesombongan dirinya.

Di sisi lain, perbuatannya juga bisa dimaknai sebagai bentuk pelatihan diri, yaitu pelatihan yang bermain di wilayah psikologis. Penjelasannya begini, andai kita sepakat bahwa memandang ke atas adalah kesombongan, dengan menahan diri untuk melakukannya, kita secara sadar tengah melatih diri kita untuk jauh dari kesombongan.

Dengan begitu, kita akan selalu diingatkan oleh diri kita sendiri ketika sinyal-sinyal kesombongan itu mendatangi kita.   Mu’adzah al-‘Adawiyyah dikenal dengan ketabahannya, sehingga tidak aneh jika nasihatnya kepada Ummu al-Aswad adalah, “Semoga kau ridha dengan ketetapan Tuhan.” Karena ia sendiri menyambut ketetapan Tuhan dengan riang gembira.

Dalam sebuah riwayat diceritakan: “Ketika (datang kabar) kesyahidan suaminya, Silah, dan anaknya dalam peperangan, berkumpullah para wanita di sisinya, kemudian Mu’adzah berkata: “Selamat datang kepada kalian jika kalian datang untuk berbahagia. Akan tetapi pulanglah, jika kalian datang untuk selain itu (berbela-sungkawa).” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, 1982, juz 4, h. 509).

Baca Juga:  Ketika Fatwa Abu Hanifah Ditolak oleh Ibunya Sendiri

Ia beranggapan wafatnya suami dan anaknya sebagai karunia Allah, sehingga tidak pantas disesali, apalagi ditangisi. Karena itu, ia tegas mengatakan, “Selamat datang jika kalian datang untuk berbagi kebahagiaan, tapi jika kalian datang untuk bersedih, pulanglah.”   Mu’adzah al-‘Adawiyyah wafat pada tahun 83 Hijriah atau 702 Masehi. Guru para ulama ini, meninggalkan pelajaran penting bagi kita semua.

Mochamad Ari Irawan