Pentingnya Mematangkan Pemahaman Tentang Niat dalam Ushul Fiqh

Pentingnya Mematangkan Pemahaman Tentang Niat dalam Ushul Fiqh

PeciHitam.org Turunan hukum Niat dalam kaidah Ushul fiqh banyak memiliki dimensi yang beragam sebagai keabsahan sebuah Ibadah. Karena seperti yang sudah kita ketahui, Niat sangat penting dalam sebuah Ibadah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Keabsahan ibadah sangat tergantung kepada niat, bahkan untuk dikatakan sah atau batal bisa dilihat dari niatnya. Variasi dalam niat baik yang bersifat umum atau khusus harus ditempatkan dalam porsi yang sesuai. Tidak dibenarkan dalam niat untuk khusus dibuat umum atau niat umum dibuatkan kata khusus dan terjadi kesalahan.

Maka memahami niat dalam kaidah Ushul Fiqh dan turunan kaidahnya sangat penting. Tulisan bagian kedua akan mengupas 7 kaidah lanjutan dari bagian pertama yang telah membahas 4 kaidah.

Daftar Pembahasan:

Niat dalam Islam

Niat dikenal sebagai salah satu amaliyah hati yang sangat penting kedudukannya dalam Islam. Bahkan Ulama mengklasifikasikan niat sebagai setengah dari syariat Islam, karena memang hampir semua Ibadah berlandaskan dengan niat.

Hadits Nabi Muhammad SAW menyebutkan tentang pentingnya Niat dalam kehidupan Muslim. Hadits tersebut adalah;

“انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى

Artinya; “Segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan apa yang didapatkan (seseorang) ialah apa yang telah diniatkan.” (HR. Bukhari)

Sebagaimana disebutkan dalam artikel pertama tentang  niat dan kaidah ushul fikihnya, dalil tentang niat di atas banyak memuat dimensi Ushul (dasar Hukum) setidaknya 11 kaidah. Niat dalam kaidah ushul fiqh 1-4 mencakup tentang Tujuan, Motif, kekhususan dan keumuman niat.

Dimensi niat dalam kaidah ushul fiqh dengan segala turunannya menunjukan kepada kita bahwa Islam dipenuhi dengan hukum-hukum yang bersumber dari Allah SWT dan Rasulnya.

Kesederhanaan redaksi yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW melalui Haditsnya ternyata mengandung banyak cakupan hukum.

Keagungan dalam kandungan hukum pada setiap dalil dan perkataan Rasul SAW, kiranya paralel dengan dalil Al-Qur’an;

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا (١٠٩

Baca Juga:  Hukum Menunda Haid dengan Obat bagi Wanita

Artinya; “Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (Qs. Al-Kahfi: 109)

Niat dalam Ushul Fiqh

Bahasan Niat dalam kaidah Ushul Fikih berkembang sebagai jawaban atas permasalahan yang terjadi dimasyarakat. Kaidah 1-4 yang menerjemahkan Hadits Nabi tentang Niat dalam kerangka motif dan tujuan niat bagi kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya pembahasan Hadits Nabi Muhammad SAW tentang dan penjabarannya dalam kaidah Ushul Fikih sebagai berikut.

Kaidah ke-5, Berasal dari Hadits Niat

‘مقاصد اللفظ على نية اللافظ’

Yang bermakna ‘Maksud sebuah ucapan tergantung pada niat yang mengucapkan’. Ucapan yang tidak sesuai dengan maksud hati atau niat, maka tidak berakibat hukum apapun.

Ilustrasinya adalah ketika seorang Muslim melakukan shalat dzuhur, dan menambahkan redaksi Insya Allah dalam niatnya. Jika tujuan pengucapan Insya Allah adalah menggantungkan shalat kepada Kehendak Allah SWT, maka shalatnya batal. Jika tujuannya hanya untuk tabarruk maka shalatnya sah.

Kaidah Ke-6, Turunan dari Hadits tentang Niat

‘اليقين لا يزال بالشك’

Maksudnya adalah ‘Keyakinan tidak akan berjalan paralel dengan keraguan’. Dalam hal ini harus ada pemilihan yang jelas antara keyakinan dan keraguan. Karena keraguan menjadikan keyakinan hilang.

Contoh Ilustrasinya banyak terjadi ketika shalat dan ragu tentang jumlah rakaat yang sudah dilakukan. Misalkan Fatah Shalat Isya, dan ia ragu sudah mengerjakan 3 atau 4 rakaat pada saat sujud. Keraguan yang berada dihati fatah menjadikan dilematis gerakan selanjutnya untuk tasyahud akhir atau berdiri lagi.

Pilihannya adalah harus memantapkan diri menghitung rakaat yang terkecil, karena hitungan rakaat yang terkecil yang paling mendekati keyakinan. Sedangkan hitungan 4 rakaat yang paling mendekati keragu-raguan.

Kasus lain jika seorang melakukan kegiatan dalam keadaan berwudhu dan kemudian lupa tentang keadaan wudhunya batal atau belum, maka yang paling mendekati keyakinan adalah wudhunya batal.

Baca Juga:  Hukum dan Keutamaan Shalat Fardhu Berjamaah yang Harus Kamu Tahu

Kaidah tentang keyakinan dan keraguan atas opsi batal atau tidak batal dan lainnya sejalan dengan kaidah sebagai berikut;

ما ثبت بيقين لا يرتفع الا بيقين

Artinya; “Sesuatu yang tetap dengan keyakinan, maka tidak bisa dihilangkan kecuali dengan adanya keyakinan yang lain”.

Antara keragu-raguan dan keyakinan harus memilih keyakinan yang paling kuat karena hal tersebut yang paling mendekati kebenaran.

Kaidah Ke-7, Turunan dari Kaidah Niat

‘الاصل بقاء ما كان على ما كان’

Yang bermaksud ‘Pada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaannya semula’. Kaidah ini merujuk pada kasus orang yang tidak mengetahui waktu secara detail.

Misalnya adalah seorang terbangun dipenghujung Malam Bulan Ramadhan, ia ragu apakah sudah waktunya Imsak atau masih malam. Maka Hukumnya dikaitakan dengan waktu malam dan tetap sah puasanya.

Dan seorang yang akan berbuka dipenghujung siang, dan kemudian ragu, sudah masuk maghrib atau masih siang, maka puasanya batal karena asalnya adalah siang.

Kaidah Ke-8, Turunan Hukum dari Niat

 ‘الاصل براة الذمة’

Yang bermakna ‘Hukum asal adalah tidak adanya tanggungan’. Kaidah ini banyak digunakan dalam pengadilan karena bersangkutan dengan tuduhan dan penuduhnya.

Taqim dituduh oleh Suhail, bahwa ia telah menggelapkan Uang Organisasi Karang Taruna di Desanya. Taqim kemudian bersumpah bahwa ia sama sekali tidak menggelapkan Uang Karang Taruna, dan Suhail-pun tidak bisa membuktikan ucapannya. Maka Taqim sebagaimana awal terbebas dari tuduhan yang  dialamatkan kepadanya.

Kaidah Ke-9, Berasal dari Hadits Niat

Niat dalam kaidah Ushul Fikih juga menurunkan kaidah ‘الاصل العدم’ yang bermaksud ‘Hukum asal adalah ketiadaan’Kaidah ini dapat disematkan dalam konflik usaha berbasis Join atau kerjasama. Tatkala Amik dan Mia melakukan kerjasama perdagangan dengan Amik sebagai penyandang dana sebesar 10 Juta rupiah.

Sedangkan Mia menjadi orang yang dipercaya menjalankan Usaha untuk mencari Laba. Setelah berjalan 1 Bulan, Amik menilai Mia telah mendapatkan Laba Keuntungan, akan tetapi Mia mengelak dan mengatakan bahwa belum ada Laba Keutangan yang didapatkan.

Baca Juga:  Santri Menerima Zakat, Bagaimana Hukumnya, Bolehkah?

Dalam hal ini, hukum dipihakan kepada Mia, karena kaidah ‘الاصل العدم’ bahwa Join tidak memiliki laba Awal.

Kaidah Ke-10, Turunan dari Kaidah Niat

‘الاصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه’

Yang bermakna ‘Asal segala sesuatu diperkirakan dengan yang lebih dekat zamannya’. Jika ada sebuah kasus yang  mengandung banyak kemungkinan penyebab, maka Nisbah pertama yang paling mendekati waktu kejadiannya.

Ilustrasinya, Asep bangun dari tidur siang sekitar jam 15.00 dan belum masuk waktu sholat ashar. Kemudian ia langsung ke kamar mandi untuk buang air kecil. Kemudian setelah masuk sholat ashar jam 15.30, ia mendapati celananya basah.

Ia ragu bahwa air itu apakah air Mani atau Air Bekas Kecing yang belum tuntas. Maka dengan dasar Kaidah ‘الاصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه’ maka dinisbatkan kepada air Kencing yang waktunya memang lebih dekat.

Kaidah Ke-11, Tentang Turunan Hukum Niat

‘المشقة تجلب التيسر’

Yang bermakna ‘Kesulitan akan menarik kepada kemudahan’. Kaidah ini banyak dirujuk dalam ceramah karena berkaitan dengan kemampuan sholat sehari-hari.

Ilustrasinya, yakni ketika Shalat harusnya dilakukan sempurna dalam keadaan berdiri, ruku, sujud dan duduk. Akan tetapi bagi orang sakit yang terhalang atau tidak kuat untuk berdiri diperbolehkan untuk duduk. Jika tidak kuat untuk duduk maka diperbolehkan melakukan shalat dengan berbaring, dan selanjutnya.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan