Nikah Mut’ah, Pernikahan Macam Apa Ini dan Bagaimana Hukumnya?

nikah mut'ah bagaimana hukumnya

Pecihitam.org – Pernikahan ini juga disebut nikah kontrak. Nikah mut’ah adalah seorang pria mengadakan akad nikah dengan seorang wanita selama satu hari, seminggu atau sebulan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dinamakan nikah mut’ah karena si pria bersenang-senang (yatamatta’) dengan si wanita sampai tenggang waktu yang telah ditetapkan.

Sehingga apabila si pria telah memuaskan hasratnya kepada si wanita dalam tenggang waktu yang telah ditetapkan, maka setelah itu, si wanita bagaikan orang asing yang tidak ada hubungan sama sekali dengan si pria.

Rasul SAW telah mengharamkan bentuk pernikahan ini pada peristiwa penaklukan kota Mekah hingga hari kiamat. Ulama Ahlussunnah wal Jamaah khususnya para imam mazhab sepakat bahwa nikah mut’ah adalah pernikahan yang batil, fasidah (nikah yang rusak/tidak sah).

Karenanya mereka sepakat mengharamkannya dengan alasan bahwa pernikahan ini hanya demi memuaskan hasrat seksual semata.

Beberapa sumber rujukan terkait hal ini, antara lain seperti dari kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi’i juz V hlm 71, I’anatuth Thalibin juz III hlm 278 – 279, Al-Mizan al-Kubraa juz II hlm 113, Fatawi Syar’iyyah Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II hlm 7, As-Syarwani ‘alat Tuhfah juz Vll hlm. 224, dan kitab Rahmatul Ummah hlm 21.

Imam Syafi’i mengatakan, bahwa segala pernikahan yang ditentukan masa berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer), maka pernikahan tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan. (Al-Umm V/71)

Baca Juga:  Berbeda dengan Wajib Haji, Rukun Haji Tidak Bisa Digantikan dengan Apapun

Dengan demikian, pernikahan bentuk ini tidak dimaksudkan untuk tujuan hakiki pernikahan, yaitu demi kelangsungan keturunan, menjunjung kehormatan dan kemuliaan wanita serta menafkahinya, tidak pula demi menghasilkan anak-anak dan mendidik mereka dengan baik yang merupakan naluri keibuan dan kebapakan.

Nikah mut’ah bagaikan perzinahan dipandang dari sisi tujuannya yang demi memuaskan hasrat seksual semata. Diriwayatkan bahwa Muhammad bin ja’far bertanya tentang nikah mut’ah, lalu dijawab Nabi bahwa nikah mut’ah sama saja dengan zina.

Di samping itu, nikah mut’ah tidak berkaitan dengan hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur’an mengenai akad nikah, perceraian, iddah dan hukum-hukum lain yang sejenis.

Karenanya, bentuk pernikahan ini tidak disyari’atkan seperti halnya bentuk-bentuk pernikahan yang batil. Selain itu, banyak hadis yang mengharamkan nikah mut’ah.

Diriwayatkan dari al-juhani bahwa ia ikut berperang bersama Rasulullah SAW dalam peristiwa penaklukan kota Mekah. Lalu Rasul mengizinkan kepada mereka melakukan nikah mut’ah kepada para wanita. Tidak berapa lama kemudian, Rasul mengharamkannya.

Demikian pula, Umar bin Khaththab ketika menjadi amirul mu’minin pernah berkhutbah di atas mimbar mengharamkan nikah mut’ah, dan pada saat itu tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkarinya.

Apabila pernikahan seperti ini memang disyari’atkan, tentu para sahabat akan mengingkari Umar. Karena Umar mendorong orang agar tidak sungkan-sungkan berbeda pendapat dengannya, dan ia tanpa segan mengambil pendapat orang lain.

Baca Juga:  Hukum Bepergian Di Hari Jumat Menurut Hadits dan Pendapat Ulama

Sejarah pernah menginformasikan Umar pernah berkata, “Umar
salah dan yang benar wanita ini.”

Dalam salah satu hadis diriwayatkan bahwa Rasul pernah bersabda:

“Wahai sekalian manusia, sungguh aku telah mengizinkan nikah mut’ah, kini ingatlah bahwa Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat.”

Tersebut dalam sejarah, bahwa pada suatu hari khalifah al-Ma’mun ingin mengumumkan kehalalan nikah mut’ah. Lalu qadhi Yahya bin Aktsam at-Tamimi masuk ke ruangan khalifah dengan wajah marah.

Maka, khalifah al-Ma’mun menanyakan sebabnya, lalu dijawab qadhi bahwa ada mendung, wahai Amirul-mu’minin yang menimpa wajah Islam yakni seruan tentang kehalalan zina.

Khalifah al-Ma’mun bertanya dengan tidak percaya, “Zina?” Qadhi menjawab “Iya, benar. Nikah mut’ah adalah zina.” Kemudian khalifah berkata, “Apa alasannya?” Qadhi menjawab, “Kitabullah dan Sunnah RasulNya SAW. Allah berfirman:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

“dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu’minun: 5-7).

Baca Juga:  Heboh Maraknya Kawin Kontrak, Bupati Bogor Intruksikan Tangkap Pelaku yang Masih Berkeliaran

“Wahai Amirul-Mu’minin, apakah istri yang diakad dengan nikah mut’ah merupakan budak yang dimiliki (milkul-yamin)? Khalifah menjawab, “Tidak.”

Qadhi bertanya lagi, “Apakah istri yang diakad dengan nikah mut’ah adalah istri yang dapat memperoleh warisan dan hartanya diwaris?” Khalifah menjawab, “Tidak.”

Qadhi berkata, “Kalau begitu, orang yang melanggar kedua batas ini merupakan orang yang melampaui batas.

Di samping itu, ada pula hadis yang diriwayatkan az-Zuhri dari ‘Abdullah dan al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyyah dari ayah keduanya, dari ‘Ali bin Abi Thalib RA, ia berkata;

“Rasulullah SAW memerintahkanku agar mengumumkan larangan dan keharaman nikah mut’ah setelah Rasul mengizinkannya.” Lalu al-Ma’mun bertanya, “Apakah hadis ini shahih dan tidak bertentangan (mahfuzh)?

Kemudian al-Ma’mun mengetahui bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Malik. Seketika al-Ma’mun berkata, “Astaghfirullah”, lalu ia memerintahkan agar keharaman pernikahan diumumkan kepada masyarakat. (Ahmad ‘Asyur: al-Fiqh al-Muyassar fil Mu’amalat, hlm. 150-151.)

Wallahu a’lam

M Resky S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *