Hubungan NU dan Santri yang Tak Terpisahkan

Hubungan NU dan Santri yang Tak Terpisahkan

Pecihitam.org- Membincang tentang NU dan Santri adalah pembahasan yang tak terpisahkan. Santri yang kemudian banyak dipahami sebagai entitas yang melekat pada warga nahdliyyin merupakan istilah yang digunakan untuk para pelajar yang menuntut ilmu di pondok atau pesantren.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kata “santri” menurut Nurcholis Madjid, menduga bahwa kata tersebut berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf ”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang memiliki arti orang yang mengikuti kemanapun gurunya pergi.

Dari istilah santri inilah, kemudian munculah istilah pesantren, yang merupakan tempat di mana para santri belajar dan di didik oleh para kiyai dan ustad.

Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, pesantren mempunyai akar yang kuat. Para sejarawan memandang bahwa keberadaan pesantren tidak lepas dari peran Walisongo, figur penyebar agama Islam di Jawa.

Walisongo punya peran besar dalam pengembangan ajaran Islam, yang secara tradisional terlembagakan melalui lembaga pendidikan Islam tradisional. Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air.

Sebab, setelah menyelesaikan studinya, para santri merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.

Baca Juga:  Masjid Raya Mujahidin, Masjid Megah Kebanggaan Masyarakat Kalbar

Sedangkan menurut data yang lebih spesifik, bentuk pesantren sebagaimana yang kita kenal saat ini, baru ada pada abad ke-18. Lembaga pendidikan pesantren tertua adalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo, yang didirikan pada tahun 1724.

Namun sekitar satu abad kemudian, yakni melalui survei Belanda tahun 1819, tampak sekali bahwa pesantren tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat, terutama di seluruh pelosok Pulau Jawa.

Survei itu melaporkan bahwa lembaga pendidikan ini sudah terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo. Sehingga Martin Van Bruinessen yakin bahwa sebelum abad ke-18 atau sebelum berdirinya Pesantren Karang, belum ada lembaga yang layak disebut pesantren, yang ada hanyalah tempat pengajaran perorangan atau tidak terstruktur.

Berkaitan dengan istilah santri, mungkin banyak orang yang memahami sebagai para penuntut ilmu di pondok pesantren. Dalam tulisan ini, istilah santri lebih memiliki makna luas, yakni umat Islam yang memiliki pemahaman keagamaan yang kuat.

Baca Juga:  Warna Warni Masyarakat Islam di Indonesia Menurut Clifford Geertz

Sebagaimana Clifford Geertz, antropolog Amerika yang pernah meneliti tentang Islam Jawa, juga menggunakan istilah santri ini untuk mnenyebut orang Islam yang mengamalkan ajaran agamanya secara konsisten.

Kaum santri memiliki karakter ketaatan yang sangat kuat terhadap seorang kyai. Ketaatan ini merupakan wujud sikap beragama, di mana kyai dipandang sebagai orang yang memiliki pemahaman akan kitab suci secara baik.

Selain itu, penghargaan terhadap ahli ilmu, orang yang memiliki banyak ilmu juga merupakan inti ajaran Islam, yang juga menjadi sumber ketaatan.

Ketertundukan pada kyai atau guru inilah yang menyebabkan para santri akan melakukan apa saja yang diperintahkan oleh sang kyai tersebut, karena menganggap adanya kadar kebenaran yang tersirat dari perintah tersebut.

Dalam perjalanannya, NU adalah organisasi atau gerakan sosial yang sulit dipisahkan dari dinamika politik nasional. Jam’iyah dengan basis komunitas santri terbesar di Indonesia ini, seringkali melibatkan aktifitasnya dalam gerakan politik praktis.

Mulai dari tujuan kebangsaan sampai pada partai politik tidak mungkin melalaikan jaringan social dan kekuatan NU ini. Tak pelak, dinamika perjalanan jam’iyyah ini mengalami pasang surut gerakan, sesuai dengan konteks dan ruang waktu berkiprah.

Baca Juga:  Islam Nusantara: Definisi, Sejarah Singkat dan Karakteristiknya

Namun yang sulit untuk diabaikan bahwa, derap langkah jam’iyyah yang berdiri pada tahun 1926 ini senantiasa bersinggungan dengan prinsip dan nilai kebangsaan.

Lebih mudahnya, apa yang dilakukan oleh NU ini selalu berkhidmat pada kepentingan bangsa dan negara. Dengan kata lain, nasionalisme NU pada bangsa Indonesia ini menjadi orientasi dasar dalam kiprah dan gerakan organisasi.

Mochamad Ari Irawan