Pahami Kembali Ushul dan Furu’ Agar Tak Mudah Memvonis Bid’ah, Kafir dan Sesat

ushul dan furu

Pecihitam.org – Dewasa ini banyak sekali terjadi diantara umat muslim yang mudah sekali melabeli saudaranya sendiri sesat, kafir, ahlul bid’ah, dan sebagainya hanya karena alasan dalil semata, bukan alasan dhahir yang telah disepakati para Ulama’ dengan syarat – syarat tertentu dan atas pertimbangan yang matang.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Banyak yang menelan mentah-mentah semua yang ustadz mereka sampaikan tanpa melalui kajian dan khazanah yang luas dan mendalam. Padahal dalam memahami dalil juga diperlukan ilmunya. Untuk memahaminya mari kita ingat kembali masalah Ushul dan Furu sebagaimana pengertian berikut ini.

Daftar Pembahasan:

Makna Ushul dan Furu

Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu : USHULUDDIN dan FURU’UDDIN.

Ushuluddin biasa disingkat Ushul, yaitu ajaran Islam yang pokok utama, prinsip, dan sangat mendasar. Umat Islam wajib sepakat dalam perkara Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam masalah ushul adalah penyimpangan yang jelas mengantarkan kepada kesesatan.

Sedangkan Furu’uddin biasa disingkat Furu bisa berarti cabang, yaitu ajaran Islam yang juga sangat penting namun bukan prinsip dan tidak mendasar, sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam masalah furu’. Karena perbedaan dalam Furu’ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni: Ada dalil yang bisa dipertanggungjawabkan secara syari.

Penyimpangan dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang perbedaan dalam Furu’ wajib ditoleran dengan besar hati dan lapang dada serta sikap saling menghargai dan menghormati.

Baca Juga:  Keunikan Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Menjelaskan Fungsi Akal dan Wahyu

Menentukan Ushul dan Furu

Cara menentukan suatu masalah masuk dalam Ushul dan Furu adalah dengan melihat Kekuatan Dalil dari segi WURUD (Sanad Penyampaian) dan DILALAH (Fokus Penafsiran).

Wurud terbagi dua, yaitu :

  1. Qoth’i : yakni Dalil yang sanad penyampaiannya Mutawatir.
  2. Zhonni : yakni Dalil yang sanad penyampaiannya Tidak Mutawatir.

Mutawatir ialah sanad penyampaian yang perawinya berjumlah banyak di tiap tingkatan, sehingga mustahil mereka berdusta.

Dilalah juga terbagi dua, yaitu :

  1. Qoth’i : yakni Dalil yang hanya mengandung Satu Penafsiran.
  2. Zhonni : yakni Dalil yang mengandung Multi Tafsir.

Karenanya, Al-Qur’an dari segi Wurud semua ayatnya Qoth’i dan sampai kepada kita dengan jalan muatwatir. Sedang dari segi Dilalah maka ada ayat yang Qoth’i karena hanya satu penafsiran, dan ada pula ayat yang Zhonni karena multi penafsiran.

Sementara As-Sunnah, dari segi Wurud, yang Mutawatir semuanya Qoth’i, sedang yang tidak Mutawatir semuanya Zhonni. Ada pun dari segi Dilalah, maka ada yang Qoth’i karena satu pemahaman dan ada pula yang Zhonni karena multi pemahaman.

Selanjutnya, untuk menentukan klasifikasi suatu persoalan, apa masuk Ushul atau Furu’, maka ketentuannya adalah :

  1. Suatu masalah jika dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Qoth’i, maka ia pasti masalah Ushul.
  2. Suatu masalah jika dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Zhonni, maka ia pasti masalah Furu.
  3. Suatu masalah jika dalilnya dari segi Wurud Qoth’i tapi Dilalahnya Zhonni, maka ia pasti masalah Furu.
  4. Suatu Masalah jika dalilnya dari segi Wurud Zhonni tapi Dilalahnya Qoth’i, maka Ulama berbeda pendapat, sebagian mengkatagorikannya sebagai ushul dan sebagian lainnya mengkatagorikannya sebagai Furu.
Baca Juga:  Adab Anak kepada Orang Tua Ada Tujuh, Apa Sajakah?

Dengan demikian, hanya pada klasifikasi pertama yang tidak boleh berbeda, sedang klasifikasi kedua, ketiga dan keempat, maka perbedaan pendapat tidak dapat terhindarkan.

Contoh Ushul dan Furu

1. Dalam Aqidah

Kebenaran peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW adalah masalah Ushul, karena dalilnya Qothi, baik dari segi Wurud maupun Dilalah. Namun masalah apakah Nabi Muhammad SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan Ruh dan Jasad atau dengan Ruh saja, maka ini masuk masalah Furu’. Karena dalilnya Zhonni, baik dari segi Wurud maupun Dialalah.

Itu sebabnya, barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW maka ia telah sesat, karena menyimpang dari Ushul Aqidah.

Namun barangsiapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan Ruh dan Jasad atau Ruh saja, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah Furu Aqidah.

2. Dalam Syariat

Kewajiban Shalat 5 Waktu adalah masalah Ushul, karena Dalilnya Qothi, baik dari segi Wurud maupun Dilalah. Namun masalah apakah boleh dijama’ tanpa udzur, maka masuk masalah Furu’, karena dalilnya Zhoni, baik dari segi Wurud mau pun Dialalah.

Jadi jelas, barangsiapa menolak kewajiban shalat lima waktu maka ia telah sesat karena menyimpang dari Ushul Syariat. Namun barangsiapa yang berpendapat bahwa boleh menjama’ shalat tanpa ’udzur atau sebaliknya, maka selama memiliki dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah Furu Syariat.

Baca Juga:  Strategi Dakwah Rasulullah di Madinah

3. Dalam Akhlaq

Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah Ushul, karena salilnya Qothi, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah. Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjama’ah, maka masuk masalah Furu’, karena dalilnya Zhonni, baik dari segi Wurud maupun Dilalah.

Itu sebabnya, barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama muslim, maka ia telah sesat, karena menyimpang dari Ushul Akhlak. Namun perkara kebolehan berjabat tangan setelah shalat berjama’ah itu masalah Furu Akhlak.

Nah dari sini sebetulnya bisa kita ketahui pentingnya ilmu yang memadai, jiwa yang tegas dan hati yang bersih dalam memahami suatu masalah. Sehingga furu’iyah atau perbedaan pendapat dikalangan kaum Muslimin bisa lebih teratasi dengan sikap saling menghormati. Bukan malah membid’ahkan dan mengkafirkan antar sesama.

Wallaahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik