Pangeran Diponegoro dan Kedekatannya dengan Pesantren

Pangeran Diponegoro dan Kedekatannya dengan Pesantren

PeciHitam.org – Kita pasti mengingat perjuangan melalui perang gerilya jika kita mendengar nama Pangeran Diponegoro. Tidak sedikit pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ratusan, ribuan bahkan jutaan orang memberikan sumbangsihnya demi kemerdekaan bangsa ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pejuang yang bernama asli Raden Mas Mustahal atau Raden Ontowiryo ini lahir di dusun Tegalrejo, kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dan meninggal dunia di Makassar, Hindia Belanda pada 08 januari 1855. Salah satu bangsawan kraton ini hidup di kalangan rakyat jelata dalam cengkraman Belanda saat itu, melihat kesengsaraan masyarakat inilah beliau kemudian bangkit dan menimba ilmu di pesantren-pesantren.

Guru sang pangeran adalah Tabrazani, seorang mursyid thariqah syattariyah yang berguru pada Kiai Noer Iman, saudara kandung Sultan Hamengkubuwano I. Merasa tidak puas pada satu guru, Diponegoro muda nyantri di berbagai pesantren untuk memperkuat batin, olah pikir, dan olah kanuragan.

Keingintahuan Diponegoro sangat tinggi namun saat kebangsawanannya tercium teman-teman santri yang lain Diponegooro hengkang dari pesantren tersebut. Begitu dekat, sang pangeran dengan dunia pesantren yang menjadi jembatan Diponegoro berjalan menyusuri tanah jawa, berdiam di goa-goa untuk mengobati sakitnya akan tekanan-tekanan terhadap masyarakat yang dilihat jelas di sekitarnya.

Baca Juga:  Gambar Angin dan Formalisme Simbol Agama

Dalam dunia pesantren, beliau pernah di beri nama oleh sang guru “Seh Ngabdurakhim” (Syekh Abdul Rokhim), dalam perjalan menyepi sang Seh, datanglah Sunan Kali yakni Sunan Kali Jaga, yang memberi khabar bahwa Seh Ngabdurahim akan menjadi wasilah terusirnya Belanda dari Negeri Nusantara, meski jabatan sebagai Ratu Jawa hanya ngerang-erang nuli musna (sebentar dan kemudian sirna).

Namun dalam waktu yang tak lama itu Pangeran Diponegoro akan membuat Belanda kocar-kacir. Tak pelak, ramalan yang diwaskitakan sejak ia kecil pun terjadi, kebijakan-kebijakan beliau yang memihak rakyat adalah bentuk perlawanan beliau pada Belanda yang semena-mena.

Perang Diponegoro pun terjadi, dalam pupuh tersebut disebutkan jika Belanda mengalami kerugian besar-besaran akibat melawan Pangeran Diponegoro, meski pada akhirnya Pangeran tertangkap dan diasingkan, namun peperangan ini adalah awal perlawanan yang besar dan muncullah perlawanan-perlawanan selanjutnya oleh penerus pejuangannya.

KH As’ad Said Ali mengatakan, semangat cinta tanah air dan ketaatan menjalankan ajaran agama menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Ini yang diwarisi para ulama NU dari Pangeran Diponegoro dan pasukannya.

Baca Juga:  Ubadah bin Shamit; Penghafal al Quran dan Hakim Pertama di Palestina

“Patriotisme dan religiusitas, keduanya adalah satu kesatuan. Ini yang menjadi inti ajaran Pangeran Diponegoro,” katanya dalam bedah buku tentang Pangeran Diponegoro bertajuk “Kuasa Ramalan” dan buku “Lasykar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad

As’ad mengatakan, spirit utama perlawanan Pangeran Diponegoro dan dilanjutkan dengan berbagai perlawanan kaum santri terhadap penjajah sampai dikeluarkannya Resolusi Jihad 1945 adalah melawan ketidakadilan.

“Menegakkan keadilan itu nomor satu. Karena adanya ketidakadilan itulah kita melawan,” katanya menjelaskan peristiwa perang diponegoro 1825-1830 hingga Resolusi Jihad 1945.

Menurut As’ad, perjuangan Pangeran Diponegoro dan pasukannya diteruskan oleh para kiai dan santri hingga menghasilkan kemerdekaan Indonesia.  Lebih dari itu, pergerakan ulama pada awal abad ke-20 dalam mewujudkan kemerdekaan dipelopori oleh para murid dan keturunan  Diponegoro dan pasukannya.

“Diponegoro telah melahirkan jaringan ulama, dan jaringan ulama itulah yang kemudian menjadi NU,” katanya. “Kiai Sholeh Darat misalnya, cucu dari Mbah Mutamakkin, adalah salah seorang panglima Diponegoro,” katanya.

Ia menambahkan, buku yang ditulis Milal Bizawie tentang Lasykar Ulama-Santri merinci persebaran pasukan Diponegoro hingga melahirkan generasi ulama, seperti Kiai Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah.

Baca Juga:  Kisah Zahid ra. Rela Gagal Nikah dan Mati Syahid Demi Allah dan Rasul-Nya

Dari pemaparan dapat kita simpulkan bahwa sumbangsihnya sangatlah besar demi kemerdekaan Indonesia. Adapun sumber-sumber diatas merupakan sumber terpercaya dimana sumber pertama berupa pupuh 1 yang berupa serat versi Surakarta namun dalam serat tersebut mengisahkan kisah hidup, perjuangan serta perjalanan ruhani sang pangeran, karena karya tulis Pangeran Diponegoro yang asli berada di London. Selanjutnya “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa (1785-1855) Peter Carey” dan “Lasykar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad” Zainul Milal Bizawie. Semoga bermanfaat.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *