Pelecehan Seksual Bukan Terjadi Akibat Korban Memakai Baju Seksi

Pelecehan Seksual Bukan Terjadi Akibat Korban Memakai Baju Seksi

Pecihitam.org – Banyak yang beranggapan bahwa berbagai kasus pelecehan seksual terjadi karena korban memakai pakaian seksi. Anggapan ini boleh jadi benar, sebab baju seksi seringkali lebih menggoda dan memantik gairah seksual secara tajam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Meskipun, perkara pelecehan seksual tidak selalu identik dengan pakaian tertutup atau terbuka. Karenanya, berbagai kasus pelecehan seksual lebih banyak terjadi karena faktor kesempatan dalam kesempitan.

Tulisan ini akan sedikit mengungkap sebuah fakta bahwa ternyata banyak kasus pelecehan seksual tidak melulu terjadi atas faktor pakaian seksi yang dikenakan oleh si korban.

Sebuah survey dari Koalisi Ruang Publik Aman menyimpulkan bahwa tidak ada kaitan antara pakaian yang dikenakan perempuan dengan pelecehan seksual. Baik perempuan yang berbaju terbuka maupun tertutup sama-sama berpotensi menjadi korban pelecehan seksual.

Mengutip sumber detik (23 Juli 2019), dari 19 jenis pakaian yang survei, hasil survei ini menunjukkan bahwa pakaian yang dikenakan korban adalah rok panjang dan celana panjang (17,47%), disusul baju lengan panjang (15,82%), baju seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), berhijab (13,30%), baju lengan pendek (7,77%), baju seragam kantor (4,61%), dan rok selutut atau celana selutut (3,02%). Yang bercadar juga mengalami pelecehan seksual (0,17%). Bila dijumlah, ada 17% responden berhijab mengalami pelecehan seksual.

Baca Juga:  Orang Awam Berpenampilan Layaknya Seorang Ulama, Bolehkah?

Survey ini dipaparkan dalam jumpa pers yang dihadiri oleh media massa, di Kinini, Cikinim Jakarta, pada Rabu 17 Juli 2019. Dari survei itu terlihat pakaian model apa saja yang dikenakan perempuan saat mengalami pelecehan seksual.

Kita sering mendengar bahwa korban pelecehan seksual banyak disalahkan karena dianggap ‘memantik’ hasrat seksual laki-laki dengan memakai baju seksi, baik ketika mereka sedang  jalan sendirian di tengah malam atau sedang berada di keramaian. Tapi anggapan ini keliru dan terbantahkan karena perempuan yang memakai cadar pun sering dilecehkan, bahkan pada siang hari.

Ini menunjukkan bahwa berbagai kasus pelecehan seksual sebenarnya lebih banyak terjadi karena faktor pelakunya. Dan, dapat dipastikan tidak ada korban yang secara sengaja ‘mengundang’ dirinya sendiri untuk dilecehkan. Karenanya, tidaklah patut bila ada orang yang justru menyalahkan korban yang jelas-jelas mengalamai pelecehan akibat kejahatan yang dilakukan oleh orang lain.

Baca Juga:  Nalar Kekerasan Kaum Islam Radikal dan Utopia Kejayaan Masa Lalu

Meskipun di survie itu disebutkan 17% perempuan korban pelecehan seksual mengenakan baju tertutup dan berhijab, bukan berarti juga bahwa pakaian tertutup tidak perlu dikenakan. Sebab, ini adalah bagian dari langkah pencegahan terhadap terjadinya kejahatan seksual dan upaya setiap individu untuk mengamalkan ajaran agamanya sesuai dengan tuntunan syariat.

Mengutip ungkapan bang Napi, “Ingat, kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, tapi juga karena ada peluang atau kesempatan”. Dengan demikian, setiap orang harus selalu waspada dan menutup sebisa mungkin agar tidak ada peluang.

Hemat saya, hubungan antara pakaian yang dikenakan perempuan dengan pelecehan seksual sama saja seperti hubungan perhiasan pemudik dengan tingkat kriminalitas di jalur mudik. Polisi bahkan mengimbau pemudik supaya tak memakai perhiasan yang mencolok saat mudik.

Ini sama halnya dengan pelecehan seksual terhadap perempuan. Perempuan hendaknya berpakaian secara lebih sopan sesuai dengan batasan etik masyarakat, yang penting rapi dan tidak mengundang birahi. Batasannya? Tentu yang sesuai dengan aturan-aturan agama yang diyakininya.

Baca Juga:  Butir-butir Gagasan Pluralisme Gus Dur dalam Sila Pertama Pancasila

Dengan kata lain, masalah berpakaian ini, baik untuk laki-laki dan perempuan, harus bisa memperhatikan dari sisi kepatutan dan norma yang diyakini masyarakat. Baik norma agama, sosial, adat, hukum, dan apapun itu, yang harus diikuti bersama.

Kita hampir tidak mungkin hidup sebebas-bebasnya, di samping menyalahi aturan demokrasi, juga akan menabrak kebebasan yang juga dimiliki oleh orang lain. Selama apa yang kita lakukan tidak mengandung unsur-unsur negatif yang juga akan memantik tindakan negatif, setiap orang bebas berekspresi sesuai dengan selera dan aspirasi dirinya sendiri.

Soal cara berpakian ini, setiap orang perlu hati-hati dan berpakianlah secara wajar dan apa adanya. Tidak perlu muluk-muluk, kalau mau ikut tren silahkan, tapi jangan terlalu berlebih-lebihan. Karena Tuhan sendiri tidak suka hal-hal yang berlebih-lebihan sampai melampaui batas.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *