Pembaharuan Hukum Islam dalam Kacamata Ibnu Rusyd

Pembaharuan Hukum Islam dalam Kacamata Ibnu Rusyd

PeciHitam.org – Bagi umat Islam, syari’ah merupakan tugas umat manusia secara menyeluruh. Sumber utama syari’ah adalah al-Quran dan al-Sunnah yang universal, abadi dan mencakup segala lapangan kehidupan serta mampu memenuhi kebutuhan hidup umat manusia sepanjang zaman kapan dan di mana pun berada.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Namun sejalan dengan perubahan sosial yang mengakibatkan munculnya tuntutan akan perubahan dan pembaharuan dalam bidang hukum, maka dibutuhkan adanya ijtihad yang digunakan untuk memenuhi dan mengeluarkan hukum dari dua sumber tersebut.

Perubahan dan pembaharuan dalam hukum Islam erat kaitannya dengan masalah ijtihad. Ijtihad secara umum dapat berarti pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.

Sementara itu, Syariah Islam yang terkandung dalam al-Quran dan Sunnah sangat terbatas dan bersifat global. Oleh sebab itu, butuh interprestasi terhadap keumuman teks tersebut dikarenakan hukum Islam selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman, kondisi, serta keadaan tertentu agar hukum Islam itu sendiri bersifat fleksibel, sebagaimana bunyi kaidah fiqhiyah:

لاينكر تغيّالأحكام بتغيّالأزمنة والأحوال

Sedangkan proses untuk menyerap perkembangan dan menetapan hukum terhadap problematika baru diperlukan sebuah usaha yang keras, inilah yang sering disebut dengan ijtihad.

Dalam rangka pembaharuan hukum Islam, ijtihad dapat berupa penetapan hukum terhadap masalah-masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya atau penetapan hukum baru untuk menggantikan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan umat manusia. Dinamika hukum Islam ini terbentuk karena adanya interaksi wahyu dan akal. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad.

Baca Juga:  Meski Sama-sama Catatan Sejarah, Namun Inilah Perbedaan Sirah dan Tarikh

Akal telah dipandang sebagai sumber fundamental kedua ketika al-Quran dan al-Sunnah diam dan tidak lagi memberi jawaban atas permasalahan yang ada.

Ketika suatu prinsip atau aturan syari’ah didasarkan pada makna umum atau implikasi yang luas dari teks al-Quran dan al-Sunnah serta berbeda dengan aturan langsung dari teks yang jelas dan rinci, maka teks dan syari’ah itu harus dihubungkan melalui penalaran hokum (ijtihad).

Agaknya bukan suatu yang asing bagi para sahabat sepeninggal Rasulullah saw untuk memecahkan berbagai maslah penting melalui ijtihad, karena ijtihad itulah metodologi yang tersedia bagi manusia untuk memahami ajaran-ajaran agama.

Al-Ghazali menyatakan telah terjadi ijma’ sahabat, bahkan berita bahwa para sahabat telah menggunakan ijtihad terhadap kasus-kasus yang tidak dijumpai secara tegas dalam nas telah sampai ke masanya.

Kecendrungan untuk menggunakan ijtihad ini merupakan implikasi dari kegiatan berpikir dan kepercayaan bahwa bagi penalar akan diberi dua pahala apabila penalarannya benar, dan satu pahala apabila penalarannya salah. Al-Sunnah mendukung ijtihad sebagai sumber syari’ah.

Baca Juga:  6 Hal Ini Menjadi Tanda Diterimanya Taubat, Pahami! Jangan Asal Beristighfar Saja

Para ulama konvensional juga melakukan sebuah ijtihad guna menetapkan sebuah hukum terhadap masalah-masalah tersebut baik berupa interpretasi langsung terhadap nas maupun dengan pendekatan istimbat hukum yang lain selama tidak bertentangan dengan dalil Syar’I.

Dalam menetapkan hukum itu sendiri tidak terlepas dari metodologi dan pola pikir serta latar belakang kehidupan mereka dalam memahami suatu nas, sehingga mereka dapat mengeluarkan istimbat sebuah hukum. Hal ini menjadikan masing-masing ulama mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda beda atas suatu keputusan masalah.

Salah satu ulama yang mengakomodir perbedaan pendapat di antara para ulama dalah Ibnu Rusyd dalam karyanya kitab Bidayatul al Mujtahid wa Nihayatul al Muqtasid. Dalam kitab tersebut diakomodir beberapa pendapat para ulama di antaranya Hanafi, Maliki, syafii maupun Hambali dan beberapa ulama lain.

Di dalam kitabnya tersebut Ibnu Rusyd berusaha mengkomparasikan pendapat mereka agar bisa terlihat jelas apa sebenarnya yang menjadi problem perbedaan (sebab al-ikhtilaf ) sehingga akan memunculkan sebuah kesimpulan–kesimpulan hukum yang berbeda,

Ibnu Rusyd menyajikan dengan singkat dan lengkap dengan landasan tekstual yang diperlukan dengan menggunakan permainan logika yang setandar akademisnya masih cukup dominan.

Baca Juga:  Menjadikan Metode Hiwar Sebagai Salah Satu Metode Pendidikan Akhlak

Di balik Karya Ibnu Rusyd berupa kitab Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid juga mengajak serta menjadikan sesorang untuk berfikir secara bermetode dan tidak hanya menjadikan produk hukum.

Dalam kitabnya, Ibnu Rusyd mengutip pendapat imam empat madzhab secara jeli dengan studi banding, bahkan melampaui madzhab lain di luar madzhab empat.

Ia tidak hanya berhenti pada kutipan, tetapi memberi opini terhadap aneka pendapat itu dengan argumentasi berdasarkan ayat-ayat suci al-Quran, al-sunnah, Ijma’ dan Qiyas, bahkan sampai pada mashalih al-Mursalah, istihsan dan urf.

Mohammad Mufid Muwaffaq