Pembahasan Mengenai Al Hiwar dalam Al Quran

Pembahasan Mengenai Al Hiwar dalam Al Quran

PeciHitam.org – Perbedaan merupakan salah satu ketetapan Allah yang menjadikan kehidupan di dunia ini semakin beragam. Perbedaan pendapat, keyakinan, dan perilaku manusia merupakan sebuah keniscayaan, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah dalam surat Hud (11): ayat 118:

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.”

Pada ayat ini, makna berselisih pendapat diungkapkan dengan lafadz wala yazaluna mukhtalifina, dengan menggunakan fi’il mudhari’ yang mengindikasikan bahwa setiap perselisihan akan terus berlangsung pada masa kini dan masa mendatang.

Penyebutan kata mukhtalifina pada ayat tersebut, nampaknya, menjadi titik penting dalam problematika perbedaan pendapat yang bersifat insidental. Fakhr al-Din al-Razi, misalnya, memahami ayat tersebut bersifat umum, meliputi perbedaan agama, perilaku, perbuatan, warna kulit, bahasa, rezeki, dan lainnya.

Pendapat tidak jauh berbeda diungkapkan Wahbah al-Zuhaili, ia menyatakan bahwa ayat tersebut memiliki arti perbedaan argumentasi, agama, keyakinan, ideologi, petunjuk, rezeki, dan lain-lain.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskusi diartikan sebagai perundingan untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah. Sebagai padanan dari istilah diskusi, di dalam al-Quran disebutkan istilah al-hiwar, al-mira’, al-muhajjah, al-jadal, syura, dan al-munazarah yang definisinya lebih mendekati perdebatan.

Baca Juga:  Zakat dan Pajak: Pengertian dan Perbedaannya

Dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah, kata al-hiwar berasal dari akar kata yang terdiri dari huruf ha-wa-ra yang memiliki tiga makna dasar, yaitu kembali, warna, dan berputar. Sedangkan Ibn Manzur dalam kitab Lisan al-‘Arab, menyebutkan kata al-hawur yang berarti kembali dari sesuatu dan kembali terhadap sesuatu.

Makna kembali ini juga digunakan dalam surat al-Insyiqaq (84): 14; innahu dzanna an lan yahur (sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali kepada Tuhannya). Demikian juga digunakan dalam doa Rasulullah yang berbunyi; na‘udhu bi Allah min al-hawr ba‘da al-kawr (kami berlindung kepada Allah dari keadaan kembali berkurang setelah sebelumnya bertambah).

Kemudian kata al-hawar digunakan untuk arti bagian mata yang sangat putih dengan paduan bola mata yang hitam. Setiap wanita yang berkulit putih disebut al-hawariyyat. Sedangkan menurut Al-Asfahani, dalam kitab al-Mufradat fi Gharib al-Quran, kata al-hawariyyun diarahkan kepada para pengikut Nabi Isa karena menurut suatu pendapat mereka selalu menggunakan pakaian berwarna putih. Sedangkan Ibn Faris dalam kitab Mu’jam Maqayis menambahkan bahwa batang kayu yang tidak mungkin bisa berputar disebut al-mihwar.

Jika kita telusuri dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadzi al-Quran al-Karim, kata yang terbentuk dari akar kata ha-wa-ra ini dalam Al-Quran disebut tidak kurang dari 13 kali. Dari 13 tempat, yang bermakna diskusi ditemukan dua kali dalam bentuk kata yuhawiruhu, yaitu dalam Q.S. al-Kahfi (18): 34 dan 37, dan dalam bentuk tahawurakuma terdapat dalam Q.S. al-Mujadalah (58): 1. Sebagai contoh al-hiwar yang bermakna diskusi bisa dijumpai dalam Q.S. al-Kahfi (18): 34 berikut ini;

Baca Juga:  Sedekah untuk Orang yang Sudah Meninggal, Apa Benar Pahalanya Bisa Sampai?

وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا

Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika berdiskusi dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat”.

Terkait dengan ayat ini, al-Mawardi dalam kitab al-Nakt wa al-‘Uyun Tafsir al-Mawardi memahami kata yahawiruh dengan arti perdebatan dan adu argumentasi. Ia menambahkan, bahwa kata yahawiruh pada ayat tersebut memiliki dua sudut pandang; keimanan dan kekafiran, serta kehidupan dunia dan akhirat.

Sementara al-Baghawi dalam kitab Ma’alim al-Tanzil – Tafsir al-Baghawi mengartikan kata tersebut sebagai bentuk adanya saling tanya jawab. Berbeda dengan al-Baghawi, Zamakhshari dalam kitab Tafsir al-Kasysyaf dan al-Baidhawi dalam kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil bi Tafsir al-Baidhawi, menafsirkannya dengan arti mengulas suatu pembicaraan seseorang yang telah didiskusikan sebelumnya.

Baca Juga:  Inilah Cara Yang Benar Menyikapi Sobekan Al-Qur’an

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa diskusi yang diungkapkan dengan kata al-hiwar mengindikasikan sebuah pembicaraan dan proses tanya jawab secara bergantian dengan argumentasi masing-masing.

Kemudian bisa jadi salah seorang peserta diskusi menarik argumentasinya yang ternyata keliru untuk kembali pada kebenaran yang terpampang secara gamblang di hadapannya.

Dengan demikian, di samping orang yang aktif dalam diskusi harus argumentatif, ia seyogianya juga harus bersikap kooperatif dan siap kembali pada kebenaran bila ternyata argumentasinya terbukti keliru.

Mohammad Mufid Muwaffaq