Pengaruh Alat Musik Gamelan dalam Penyebaran Islam di Nusantara

Gamelan dalam Islam

Pecihitam.org – Gamelan merupakan alat musik asli Nusantara, alat ini terbuat dari tembaga atau kuningan. Pada zaman dahulu, alat musik ini begitu populer dan tidak jarang pula digunakan oleh para wali untuk menyebarkan dakwah Islam. Lantas seberapa besarkah pengaruh gamelan dalam penyebaran islam di Nusantara?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Seperti yang kita tahu, bahwa di Arab alat musiknya berupa terbang atau rebana yang terbuat dari kulit dan kayu, di Eropa alat musiknya berupa gitar yang terbuat dari kayu dan benang. Sedangkan Nusantara mampu membuat gamelan yang terbut dari tembaga.

Ini menunjukan bahwa kala itu Nusantara memiliki peradaban dan kemajuan yang luar biasa. Dalam mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Batara Guru pada 167 Saka (atau 230 M), dewa yang memerintah sebagai raja seluruh Jawa dari sebuah istana di Wukir Mahendra Giri di Medang Kamulan (sekarang Gunung Lawu).

Gambar dari bentuk gamelan dapat kita jumpai di relif dinding candi Borobudur yang dibangun oleh Gunadharma pada abad ke-8 masa wangsa Sailendra di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Baca Juga:  Tradisi Rajaban Pembacaan Kitab Arja Syafaat di Temanggung Jawa Tengah

Pada saat penyebaran agama islam di Jawa, Sunan Bonang menggubah gamelan yang pada waktu itu sangat kental dengan estetika Hindu. Gubahannya waktu itu memberi nuansa transendental atau wirid yang mendorong kecintaan pada kehidupan, dan menambahkan instrumen bonang pada satu set gamelan.

Pada penyebaran islam di Demak, Sunan Kalijaga menggunakan gamelan sebagai salah satu penarik masyarakat untuk berkumpul, kemudian dalam perkumpulan tersebut Sunan Kalijaga mengajarkan tentang agama Islam.

Sunan Kalijaga pun mengajak mereka untuk membaca kalimat Syahadat sebagai syarat menjadi pemeluk agama Islam dan sampai sekarang akhirnya tradisi ini dikenal dengan istilah sekaten. Sekaten merupakan singkata dari syahadat tain yang berarti dua kalimat syahadat, sebagai dasar dari rukun islam.

Hingga sampai sekarang tradisi sekaten masih terus dijalankan, salah satunya di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Acara sekaten di lakukan selama tujuh hari dari tanggal 5 sampai 11 pada bulan Mulud/Rabiul Awal untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW .

Baca Juga:  Inilah 9 Tradisi dan Amaliyah NU yang Umum di Masyarakat

Upacara sekaten diawali dengan penabuhan gamelan pusaka dan upacara menyebar udhik-udhik (uang logam) dan gamelan dipindahkan dari dalam kraton ke halaman Masjid Gedhe. Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai raja dan pengiringnya hadir di Masjid Gedhe untuk mendengarkan pembacaan riwayat Maulid Nabi Muhammad SAW.

Diselenggarakan pula upacara udhik-udhik di pagongan dan serambi Masjid Gedhe. Saat malam terakhir gamelan kembali dibawa dari halaman Masjid Gedhe ke dalam keraton untuk menandai ditutupnya upacara sekaten.

Ada dua perangkat gamelan pusaka yang terdapat pada Kraton Ngayoyakarta Hadiningrat, yaitu bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo, ditempatkan di “pagongan” kidul dan lor pelataran masjid Gedhe Kauman Alun-alun Utara Yogyakarta.

Pengiring atau penabuhnya merupakan abdi dalem Kraton. Khusus pada malam jum’at, gamelan ditabuh atau dibunyikan hingga malam menjelang peringatan Hari Kelahiran Rasulullah SAW atau Maulid Nabi Muhammad SAW.

Baca Juga:  Kesesuaian Pola Dakwah NU Nusantara dengan Kaidah Fikih

Dapat kita pahamai dari penjelasan di atas bahwa budaya yang baik dapat menyatu dengan agama. Dan kebijakan para wali songo kala itu memang luar biasa. Penyebaran agama islam dengan akulturasi budaya ternyata mampu merubah masyarakat kala itu.

Padahal dahulu masyarakat Nusantara sudah menjadi bangsa yang hebat dan maju, namun islam dapat berkembang pesat didalamnya. Tentu jika penbyebaran islam tidak dengan kebijakan tentu islam akan tertolak di Nusantara ini.

Maka dari itu tetaplah jaga dan lestarikan budaya yang baik, namun kita perlu menampung budaya yang lebih baik, sesuai dengan perkembangan zaman, itulah yang di sebut dengan islam moderat.

Wallahua’lam.

Lukman Hakim Hidayat