Pengaruh Kesenian Wayang dalam Penyebaran Dakwah Islam di Nusantara

wayang dalam islam

Pecihitam.org – Sering kita dengar soal pertunjukan wayang, apalagi di negara Indonesia khususnya Jawa. Yang akan jadi pembahasan kali ini yaitu, eksistensi wayang dalam penyebaran agama islam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Seperti yang kita tahu bahwa islam hadir di bumi Nusantara ini dengan damai ataupun tanpa paksaan. Dakwah islam di Nusantara menggunakan dakwah islamiyah yang mengedepankan kasih sayang dan perdamaian.

Di pulau Jawa, kita tahu bahwa islam disebarkan oleh para ulama yang berjuluk wali songo yaitu Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati, menggunakan dakwah kultural.

Para wali berdakwah menyampurkan adat dan budaya dibalut dengan bahasa lokal yang menyentuh bagi pendengarnya. Seperti menggunakan kesenian yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat kala itu sebagai media dakwah.

Kala itu kesenian yang sangat digemari oleh masyarakat adalah wayang. Hal itu dilihat oleh wali songo sebagai peluang untuk menyampaikan dakwahnya secara efektif dan bisa tepat sasaran. Seperti Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang purba yang kemudian ia kembangkan, sehingga pementasan wayang purba bisa menjadi media dalam dakwah islam di tanah jawa kala itu.

Baca Juga:  Refleksi Harlah NU Ke-92: Pesan Kebangsaan KH Hasyim Asy'ari

Wayang secara bahasa artinya bayangan. Wayang merupakan pertunjukan teater tradisional yang dimainkan oleh dalang. Ada yang mengatakan bahwa wayang berasal dari India dan rekam jejak wal pementasannya telah ada sejak tahun 930 M.

Namun juga ada yang berpendapat bahwa wayang adalah asli dari Indonesia, hususnya daerah jawa, seperti yang dikemukakan oleh R. Gunawan Djajakusuma dalam karyanya “pengenalan Wayang Golek Purwa di Jawa Barat.

Dalam buku tersebut disebutkan bahwa wayang berasal dari kata Wad an Hyang, yang memiliki arti “leluhur”. Penggunaan wayang sebagai media dalam dakwah islam oleh wali songo di Nusantara sangatlah tepat. Adapun cikal bakal wayang berasal dari wayang beber yang memiliki gambar seperti manusia dan lakonnya diambil dari sekitar sejarah kerjaan Majapahit.

Pendekatan psikologis, sejarah, pedagogis dan politik yang terletak pada pertunjukan wayang membawanya menjadi media dakwah islam yang sukses di Nusantara hususnya di daerah Jawa.

Tidak seperti zaman sekarang, dahulu pertunjukan wayang dilakukan di masjid ataupun surau, masyarakat bebas untuk melihatnya namun ada persyaratan yang harus dilakukan sebelum melihat pertunjukan wayang. Yaitu melakukan wudhu dan membaca kalimat syahadat terlebih dahulu, setelah itu masyarakat diperbolehan untuk masuk masjid dan melihat pertunjukan wayang tersebut.

Baca Juga:  Menyingkap Jati Diri Islam Nusantara

Wayang bukanlah budaya asli islam karena ia ada sebelum islam berkembang di pulau Jawa, namun dakwah islam dapat mengadopsi wayang sebegai sarana penyebarannya dengan berbagai inovasi dan perubahan-perubahan yang dilakakun baik dari segi cerita, lakon maupun lainnya. Sehingga selain untuk menjauhkan masyarakat dari kemusyrikan dan kemungkaran pementasan wayang juga sebagai sarana edukasi dan pembelajaran kepada masyarakat tentang agama islam.

Tidak lantas menggunakan dalil-dalil secara utuh, namun di sampai menggunakan bahasa kiasan, dengan lagu-lagu, kidung dan sebagainya. Sehingga masyarakat dapat memahami ajaran agama islam yang bersumber dari nash  meskipun tidak  dibacakan ayat Al-Qur’an ataupun hadits secara utuh.

Nama-nama lakon dalam pewayangan Punakawan, seperti Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng pun berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti yang luar biasa. Setiap tokohnya memiliki sifat atau karakter yang berbeda.

Semar dalam bahasa Arab “Simaar” artinya paku, maksudnya adalah bahwa kebenaran agama islam adalah kokoh. Kemudian Petruk dalam bahasa Arab “Fatruk” artinya tinggalkan, maksudnya adalah tinggalkan semua yang ada selain Allah.

Baca Juga:  Menjawab Tuduhan Salafi Wahabi Tentang Haramnya Membaca Yasin di Malam Jumat - Bagian 2

Gareng dalam bahas Arab “Naala Qariin” namun orang jawa zaman dahulu tidak bisa membaca Qariin sehingga yang dibaca adalah Gareng yang artinya memperoleh banyak kawan. Dan yang terahir yaitu Bagong dalam bahasa Arab “Bagha” yang artinya berontak, maksudnya adalah memberontak segala kezaliman.

Wayang ini memiliki peran cukup signifikan dalam penyampaian syiar dakwah islamiyah, khususnya kepada masyarakat Jawa. Dengan penyampaian yang mudah dipahami dan mengena di hati, masyarakat dengan senang hati memeluk agama islam. Tanpa ada kekerasan, pemaksaan dan tumpah darah, agama islam berkembang dengan pesat di bumi Nusantara ini.

Wallahua’lam.

Lukman Hakim Hidayat