Pengertian Riba dalam Islam Berdasarkan Tafsir at-Thabari

Pengertian Riba dalam Islam Berdasarkan Tafsir at-Thabari

Pecihitam.org – Istilah Riba saat ini menjadi topik hangat di kalangan Umat Islam, khususnya mereka yang menyebut diri sebagai kelompok “Hijrah“. Lalu apa sebenarnya riba itu? Mengawali pembahasan Riba dalam Islam ini, penulis ingin menukil sebuah ayat, di mana Allah SWT berfirman:

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Artinya: “[Perumpamaan] orang-orang yang memakan riba tidak berdiri kecuali seperti barang yang berdiri yang kemudian dibanting oleh setan dengan suatu timpaan (barang yang dirasuki oleh setan). Demikian itu, sebab sesungguhnya mereka telah berkata bahwa jual beli itu menyerupai riba. Padahal, Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka, barangsiapa yang telah dating padanya suatu nasihat (peringatan) dari Tuhannya, lalu mereka berhenti dari memungut riba, maka baginya apa yang dulu ia pinjam, lalu mereka berserah diri kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengulangi mengambil riba, maka mereka berhak atas neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah: 275)

Baca Juga:  Mengaku Mengetahui Ilmu Ghaib, Laknat atau Khurafat?

Penggalan ayat الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ditafsirkan oleh Abu Ja’far at-Thabari sebagai “pihak yang membuat riba”. Riba berasal dari kata ربـــا- يربــو yang berarti sebagai إذا زاد على ما كان عليه فعظم, yang berarti “ketika melebihi dari apa yang seharusnya ada dan semakin besar.”

Inti dari riba dalam Islam adalah al-ziyâdah, yang berarti tambahan. Orang yang mengambil riba disebut dengan istilah murbin (مُرْب). Oleh karenanya, pengertian riba juga didefinisikan sebagai:

وإنما قيل للمربي “مُرْبٍ”، لتضعيفه المال، الذي كان له على غريمه حالا أو لزيادته عليه فيه لسبب الأجل الذي يؤخره إليه فيزيده إلى أجله الذي كان له قبلَ حَلّ دينه عليه

Artinya: “Pihak yang mengambil riba diistilahkan dengan “murbin” karena usahanya “melipatgandakan” harta yang ditetapkan kepada pihak yang berutang, baik secara kontan (hâlan) atau dengan jalan menetapkan tambahan kepada pihak yang berutang sebab tempo pengembalian (ajal), yaitu penundaannya gharim (pihak yang berutang) kepada “murbin” lalu menetapkan tambahan atas aset yang dipinjam sampai masa jatuh tempo, yang mana hal ini berlaku sebelum pihak gharim melunasi utangnya.” (Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid at-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil Qur’an, bisa diakses di alamat ini)

Baca Juga:  Pengertian Riba Dalam Pandangan Ahli Tafsir

Penafsiran sedemikian ini oleh Abu Ja’far at-Thabari didasarkan pada adanya munasabah (kesesuaian) ayat di atas dengan ayat yang lain dalam Surat Ali Imran ayat 130:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan jalan melipatgandakan lagi dilipatgandakan.” (QS Ali Imran: 130)

Ibnu Mujahid dan Qatadah memiliki penafsiran yang sama dengan Abu Ja’far. Keduanya, yang merupakan generasi tabi’in ahli qira’ah dan sekaligus ahli tafsir, menegaskan bahwa dulu berlaku di kalangan masyarakat jahiliyah, apabila ada seseorang hendak meminjam ke orang lain, maka kepadanya disampaikan: “jika kamu pinjam dengan tempo segini, maka kamu harus mengembalikan segini.”

Bisyr yang menyandarkan ucapannya dari Imam Qatadah, juga menjelaskan secara terpisah bahwa riba pada masa jahiliyah berlangsung ketika ada seseorang melakukan jual beli barang sampai batas tempo tertentu kemudian ketika telah sampai masa jatuh tempo pelunasan, ternyata pihak pembeli belum bisa melunasi pembayarannya, maka ditetapkan “tambahan harga” kembali yang disertai “penetapan tunda pelunasan kembali.”

Misalnya: Pak Darwis membeli suatu barang secara tempo sampai batas pelunasan 1 tahun. Sebut misalnya bahwa harga barang secara tempo adalah 20 juta rupiah. Setelah masa satu tahun, ternyata Pak Darwis belum bisa melunasi harga pembelian barang tersebut, lalu diputuskan untuk melakukan negosiasi lagi, kemudian dilakukan penjadwalan kembali dengan menambahkan harga sebelumnya sebagai risiko penundaan lagi.

Baca Juga:  Perempuan yang Tidak Berhijab Tapi Rajin Sholat, Bagaimana Menurut Islam?

Nah, model transaksi seperti ini menurut mufassir generasi tabi’in, yakni Imam Qatadah adalah termasuk transaksi riba yang pernah berlaku di kalangan masyarakat jahiliyah.

Kesimpulan dari Tafsir at-Thabari di atas, adalah bahwa yang dimaksud sebagai riba dalam islam adalah adanya ziyâdah (tambahan) yang ditetapkan di awal sebelum berlakunya utang-piutang.

Sifat dari ziyâdah (tambahan harga) adalah melipatgandakan lagi dilipatgandakan (أضعافا مضاعفة), dan Riba dalam transaksi jual beli terjadi ketika ada penjadwalan kembali utang pembelian yang disertai penetapan harga tambahan yang melebihi dari harga yang disepakati di awal.

wallahu a’lam

M Resky S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *