PeciHitam.org – Sejak awal setelah Nabi Muhammad saw meninggalkan para sahabat perbedaan pemahaman tentang Islam mulai muncul, mulai dari pemilihan siapa pengganti Nabi maupun hal lainnya. Maka tak heran jika beberapa ratus tahun kemudian makin banyak perbedaan yang muncul, hal ini juga terjadi pada pemahaman Mazhab, dimana banyak sekali mazhab yang berkembang dan memiliki pemahaman yang berbeda, seperti 4 mazhab yang masyhur di Indonesia.
Perbedaan pendapat sama maknanya dengan ikhtilaf. Secara bahasa ikhtilaf berasal dari kata khalafa, yakhlifu khalfan. Adapun maknanya yaitu berbeda, mengganti, dan lain-lainnya. Sedangkan makna ikhtilaf secara istilah adalah perbedaan pendapat yang terjadi diantara beberapa pertentangan untuk menggali kebenarannya dan sekaligus untuk menghilangkan kesalahannya.
Terjadi perbedaan pendapat 4 mazhab dalam menetapkan hukum Islam, di samping disebabkan oleh faktor manusiawi, juga faktor agama. Faktor tersebut mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya, sehingga kadang-kadang menimbulkan pertentangan keras, terutama di kalangan masyarakat awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiah dalam persolaan furu’iyah tidak begitu dipersoalkan. Wahbah menyebutkan sebab-sebab utama yang menimbulkan perbedaan di kalangan 4 mazhab secara lebih rinci sebagai berikut:
Perbedaan Arti dari beberapa kata Arab
Al-Qur’an banyak terdapat kata-kata yang mempunyai arti ganda, seperti kata “al-quruu’u” yang mempunyai makna “suci” dan juga “haid”. Para Sahabat dalam memberikan makna al-quru’ yang berkaitan dengan masalah iddah wanita yang dicerai suami berbeda pendapat. Ummul Mukminin Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit ra. memberi makna al-quru’ suci. Sedang Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memberikan makna al-quru’ sebagai haid. Perbedaan ini berlanjut sampai imam-imam mazhab. Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengikuti pendapat kelompok yang pertama, sementara Imam Abu Hanifah mengikuti pendapat kelompok kedua.
Perbedaan Riwayat
Sebuah hadis kadang kala dapat diketahui oleh ulama tertentu saja, tetapi hadis tersebut tidak diketahui oleh ulama yang lainnya. Atau sampainya hadis tersebut kepada sebagian ulama melalui jalur sanad yang lemah. Sedangkan yang lain menerimanya melalui jalur sanad yang kuat.
Perbedaan Sumber
Dalam berijtihad, terdapat sumber-sumber dalil yang telah disepakati oleh ulama mujtahid, seperti al-Qur’an, Sunah, ijmak dan kias. Namun di samping sumber-sumber tersebut, ada beberapa sumber yang masih diperselisihkan, seperti istihsan, maslahah mursalah, syar’u man qablana, `urf, dan lain-lain. Dalam menyikapi sumber-sumber tersebut, ada golongan yang menerima dan ada juga yang menolak, atau yang menerima tetapi bersyarat.
Perbedaan kaidah-kaidah usul fikih
Ulama usul misalnya berbeda dalam menyikapi kalimat atau kata umum, sebagian berpendapat tidak dapat dijadikan dalil secara mutlak, sebagian lain mengatakan boleh menjadi dalil. Contoh lain misalnya pendapat mazhab Dhahiri yang mengatakan: “al-Mafhum al-Muwafaqah” tidak dapat dipakai sebagai dalil istinbath. Tetapi mazhab-mazhab lain dapat menerimanya sebagai dalil.
Ijtihad dengan dasar Qiyas
Masalah ini banyak membuka perbedaan dalam skala yang luas. Persoalan ini membuka peluang terjadinya perbedaan di antara ulama. Misalnya mazhab Syafi’i mengatakan, bahwa tertib dalam melakukan wudu adalah fardu, apabila hal tersebut diabaikan maka wudunya tidak sah. Pendapat tersebut didasarkan dalil qiyas dalam melakukan tata cara ibadah yang lainnya, seperti ibadah sa’i.
Kontradiksi dan Pengunggulan Dalil
Contohnya Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa, orang yang sedang melakukan ihram, tidak boleh menikah atau menikahkan. Sedangkan Imam Abu Hanifah, membolehkan nikah ketika sedang melakukan ihram. Hal tersebut menunjukkan adanya dua dalil yang kontradiktif, dan terjadi perbedaan di antara ulama dalam memilih dalil yang unggul.
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbal menggunakan dasar hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Utsman bin Affan ra. bahwa Rasulullah bersabda:
لاَ یَنْكِحُ اْلمُحْرِمُ وَلاَ یُنْكِحُ
Artinya: orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan menikahkan”. (HR. Imam Muslim)
Sedangkan Imam Abu Hanifah menggunakan hadis yang diriwayatkan oleh Yazid bin al-A’sham dari Maimunah ra. Hadis tersebut bermakna bahwa, Nabi menikahinya setelah tahallul, dan kumpul dengan beliau dalam keadaan halal (bebas ihram)”. (HR. Imam Ahmad dan Imam Turmudzi)