Peran Penting Maqashidus Syariah dalam Pengambilan Hukum Islam

Perang Penting Maqashidus Syariah Dalam Pengambilan Hukum Islam

PeciHitam.org – Pembahasan artikel kali ini tentang peran maqashidus syariah dalam hukum Islam. Istilah maqashidus syari’ah mungkin masih asing bagi kalangan awam, tapi merupakan aspek yang akrab dan sangat penting bagi kalangan ahli fiqih untuk membantu menetapkan sebuah hukum.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Arti maqashid adalah jamak dari “maqshod”. Menurut bahasa, maqshod berarti tujuan. Sedangkan dalam istilah ilmu fiqih, maqashidus syari’ah adalah tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat Islam.

Para ulama membagi kategori maslahah yang ada, yaitu mashlahah mu’tabarah, mashlahah mulghah, dan mashlahah mursalah. Yang paling banyak diperbincangkan adalah mashlahah mu’tabarah dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Sementara itu mashlahah mulghah adalah sesuatu yang dianggap maslahah oleh manusia tetapi syariat secara tegas menolaknya melalui penetapan hukum, seperti berlebihan dalam beragama. Mashlahah mursalah maslahat yang tidak dinafikan oleh syariat dan tidak pula diakui secara tegas (didiamkan).

Kajian tentang maqashidus syariah ini sebenarnya lebih diperuntukkan bagi faqih atau fuqaha, karena kalau orang awam, cukup menerima hukum secara tekstual seperti yang diputuskan oleh mufti atau mujtahid.

Keberadaan maqashidus syariah ini penting membantu ilmu ushul fiqih dalam menyelesaikan sebuah persoalan.

Jika dimaknai secara tekstual, maka zakat yang diambil disesuaikan dengan pekerjaannya. Jika petani, diambil padinya, jika pedagang pasir, diambil zakat pasirnya, pedagang besi, diambil zakat besinya.

Baca Juga:  Sangat Keliru Jika Membagi Tauhid menjadi 3, Ini Penjelasannya

Maqashidus syari’ah dalam hal ini membantu memberi solusi dalam zakat ini, dengan menafsirkan, zakat bisa diambil dalam bentuk nilai uangnya, tidak dalam bentuk barangnya untuk memudahkan pemanfaatan bagi mereka yang mendapat hak.

Tetapi juga ada masalahah yang tidak boleh diubah bentuknya, seperti Qurban, yang harus dalam bentuk penyembelihan hewan, tidak dalam bentuk pembagian uangnya.

Mahbub Muwafi, salah satu pengurus LBMNU (pada tahun 2010), memberi contoh tentang pentingnya maqashidus syari’ah dalam dunia sekarang. Suatu ketika rasulullah pernah dimintai sahabat untuk menetapkan harga sebuah barang yang naik tinggi, tetapi rasulullah menolaknya. Jika melihat secara tekstual dari hadits ini, pengendalian harga dilarang, tetapi dalam konteks sekarang, penting dilakukan, khususnya untuk bahan pokok agar tidak merugikan masyarakat banyak dengan alasan adanya maqashidus syari’ah.

Mahbub juga melihat adanya pergeseran pandangan di kalangan NU dengan membandingkan hasil bahtsul masail komisi Maudluiyyah dalam muktamar NU di Makassar 2010 dan Munas NU di Lampung tahun 1992.

“Ada pergeseran dari ushul fiqih yang tekstualis menjadi lebih melihat pada realitas yang ada, hukum ditetapkan berdasarkan apa yang paling memberi masalahah pada masyarakat luas,” katanya.

Kiai Arwani menambahkan, maqashidus syari’ah sangat penting ketika ada berbagai pendapat dalam satu hukum. Keputusan diambil dengan menetapkan yang manfaatnya paling tinggi, dengan lima kriteria yang telah disebutkan. Tetapi disisi lain, maslahah yang sifatnya duniawi tidak boleh bertentangan dengan maslahah ukhrawi.

Baca Juga:  Hukum Pajak dalam Islam, Benarkah Haram Mutlak?

Satu hasil bahtsul masail NU juga tidak melihat permasalahan secara hitam putih, ketika dikaitkan dengan maqashid asy-syari’ah, akan terlihat berbagai persyaratan untuk memenuhi maslahah bagi semua fihak.

Pada Munas NU di Surabaya tahun 2006, dibahas masalah suami yang pergi lama tanpa ketahuan statusnya. Akhirnya, si istri menikah lagi, tiba-tiba suami pertamanya kembali. Yang menjadi pertanyaan, yang berhak suami pertama atau kedua, dikalangan ulama NU sendiri terjadi perbedaan pendapat.

Akhirnya disimpulkan, suami pertama tetap berhak, tetapi istrinya harus mengembalikan mahar kepada suami kedua dan suami pertama juga harus memberi kompensasi mantan suami kedua yang telah menafkahi istrinya.

“Ini semua dalam tinjauah maqashidus syari’ah, karena kalau sekedar bahtsul masail, tidak dipertanyakan,” tuturnya.

Penggunaan maqashidus syari’ah sendiri harus hati-hati karena kelompok liberal dan konservatif mengggap maqashidus syari’ah terlepas dari teks, padahal aspek keadilan, berbuat baik dan lainya juga banyak dikutip dalam ayat Al-Qur’an.

Sekretaris Lajnah Ta’lief wan Nasr (pada tahun 2010) Ulil Hadrawi, yang juga hadir diskusi, mengkritik kalangan yang belum-belum langsung merujuk pada maqashidus syari’ah tanpa melihat ushul fiqihnya.

Baca Juga:  Bid'ahkah Shalat Sunnah Qabliyah Jumat? Ini Penjelasannya

“Ada yang belum-belum langsung merujuk pada maqashidus syari’ah. Ini kemungkinannya ada dua, karena keterbatasan manusia dalam memahami teks atau malah mencari teksnya,” tandasnya.

Jika kecenderungan ini semakin meningkat, maka peran teks, baik Al-Qur’an atau hadits akan semakin tersingkir, dan seolah-olah tidak usah pakai usul fiqih.

“Nanti akhirnya yang masuk di sana masuk kepentingan, kekuasaan, dan lainnya. Bukan lagi ada pertimbangan fikih lagi,” tandasnya.

Kiai Arwani menegaskan, kesalahan dalam penggunaan maqashidus syari’ah akan membahayakan banyak orang.

“Orang alim atau mujhahid akan terpeleset jika salah menerapkan maqashidus syari’ah. Intinya, kita harus menggunakannya secara hati-hati,” tandasnya.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *