Perang dan Kekerasan Bukan Jalan untuk Membangun Kemaslahatan

perang timur tengah terkini

Pecihitam.org – Tingginya kasus pelanggaran kemanusiaan, membuat Tuhan menjerit di atas langit. Manusia tergopoh meneguk setetes air yang tersisa di cawan. Berusaha keras mengambil sisa-sisa makanan yang berserakan dalam kerumunan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Permusuhan adalah jalan kesesatan yang diambil berdasarkan mimpi kejayaan. Pihak pemenang lantang dengan suara bangganya. Sedangkan tangisan dan jeritan tak henti-hentinya diteriakkan mereka yang menderita kekalahan.

Mereka yang meneriakkan nama Tuhan berusaha membela kasus kemanusiaan yang sedang melanda seluruh umat manusia. Mereka berteriak dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah kalau kita harus melawan. Kita tidak boleh ditindas begitu saja oleh mereka yang berkuasa.

Secara individu kita lemah, namun secara jumlah agama kita mempunyai ribuan umat. Atas nama Tuhan, mari bersatu dalam satu kelompok besar yang melawan.

Tak lupa angan-angan akan kebebasan serta meratanya sumber kemakmuran mereka landaskan. Satu per satu rencana terucapkan, mengingat kembali strategi Islam yang berhasil dilakukan di masa silam. Tentu, Islam tidak begitu saja menjadi agama yang besar.

Ada beberapa catatan sejarah yang mengatakan Islam sebagai agama yang menorehkan semangat kegemilangan hamper di setiap bidang kehidupan. Kedokteran, teknologi terbarukan di masa depan, hingga ilmu memutuskan suatu hokum berdasar kebijaksanaan. Semua itu pernah diraih Islam di masa kejayaan.

Baca Juga:  Virus Corona dan Narasi Kelompok Radikal di Tanah Air

Akhirnya pertempuran dilaksanakan, sayup-sayup terdengar Allahu Akbar, Allahu Akbar yang sengaja diteriakkan untuk membakar semangat. Kalimat takbir itu rupanya telah membius ambisi semua prajurit yang ada di medan perang.

Tiba-tiba detakan jantung mereka berdebar kencang seolah menyuruh untuk berjuang sekuat tenaga. Bila perlu nyawa harus dikorbankan untuk mencapai kemenangan. Tak peduli berapa nyawa yang terkorbankan dalam peperangan itu, yang jelas mereka hamper memenangkan pertempurannya.

Di saat terakhir, 10 bom yang meledak berhasil meluluhlantahkan daerah musuh. Kembali ribuan nyawa menjadi korban di sana. Sialnya, tak hanya musuh yang berjatuhan, namun separuh pasukan yang menyerang ke daerah pertahanan juga tak kuasa menggandeng kematian. Meskipun begitu, kemenangan tetap menjadi mereka. Mereka bahagia menari di atas ribuan nyawa yang berjatuhan.

Tak disangka, sisa penduduk disana kembali menangis di setiap harinya. Kali ini bukan tentang penindasan, kali ini bukan karena kejahatan-kejahatan yang dilakukan orang atas. Akan tetapi mereka menangis lantaran kelaparan dan kehausan.

Baca Juga:  SERU!! Dialog Santri Sunni vs Wahabi Tentang Dalil Qiyas Dalam Ibadah

Hampir tidak ada tanah yang bisa ditumbuhi pepohonan. Semua tanah telah bercampur zat-zat beracun dalam senjata perang. Tanah menjadi gersang dan tidak menghasilkan hasil yang bisa menyembuhkan kekenyangan.

Kali ini badai kelaparan membuat mereka putus asa. Tak disangka cara yang mereka lakukan untuk memberantas pelanggaran kemanusiaan membuat mereka sendiri terjebak dalam musibah yang besar.

Musibah akibat gagasan kejayaan yang diciptakan segelintir orang. Mereka tak sadar gagasan peperangan yang ditawarkan menjadi titik balik yang mematikan daripada bom nuklir itu sendiri.

Kini, setiap malam mereka harus menderita kelaparan yang perlahan-lahan mengurangi angka kehidupan mereka. Kelaparan itu hampir menyiksa seluruh tubuh secara perlahan. Setiap detik yang mereka rasakan seperti tusukan-tusukan pedang dari peperangan. Perut mereka mengecil seiring berjalannya waktu. Terasa kecil dan semakin mengecil hingga tak kuat lagi ditahan.

Di sekitar mereka terlihat orang tua terbujur kaku dengan muka kesakitan. Tak disangka nafas mereka sudah tak bisa dikeluarkan. Detak jatung kian tak terdengar, yang menandakan dirinya telah mengalami kematian.

Baca Juga:  Konflik Identitas dan Cermin Sosial dalam Beragama

Mayat-mayat yang berada di sekitar mereka menjadi beban tersendiri yang kembali mengusik jiwa. Sambil mengisak sakit mereka terus tersiksa akibat pemandangan yang begitu mengerikan.

Sekarang mereka telah sadar bahwa peperangan bukanlah jalan terbaik dalam menyelesaikan segala bentuk penindasan. Peperangan tidak hanya merugikan juga berakibat panjang bagi sendi-sendi kehidupan. Ekonomi lumpuh, struktur tanah menjadi tak teratur, hingga akhirnya rubuhlah satu per satu penduduk yang ada di kawasan itu.

Muhammad Nur Faizi