Perbedaan Pendapat Ulama tentang Tafsir bi al Ra’yi

Perbedaan Pendapat Ulama tentang Tafsir bi al Ra'yi

PeciHitam.orgTerjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai Tafsir bi al-Ra’yi sebagian menolak dan sebagian lain mendukung. Ulama yang menolak Tafsir bi al-Ra’yi antara lain adalah Ibn Taimiyah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dia menyatakan bahwa tafsir dengan menggunakan akal semata termasuk tafsir yang harus dijauhi.

Ibn Katsir menyatakan bahwa Tafsir bi al-Ra’yi yang dipahami oleh ulama salaf sebagai suatu metode penafsiran yang pelik, sebab yang dimaksudkan adalah menafsirkan ayat-ayat al Quran tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan dan argumen yang kuat.

Penolakan sebagian ulama pada Tafsir bi al-Ra’yi didasarkan pada alasan tertentu yang disandarkan pada berbagai argumen yang terdapat dalam al Quran dan Hadis, antara lain:

  1. Firman Allah Swt. dalam Surat Al-Baqarah ayat 169 “…dan mereka mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui”
  2. Sabda Nabi Muhammad Saw: Siapa yang berkata terhadap al-Quran berdasarkan pendapatnya, maka hendaklah dia menyiapkan tempatnya di neraka.” (HR AI Turmizi dari Ibnu Abbas)

    “Siapa yang berkata terhadap al-Quran berdasarkan pendapatnya, lalu fa benar, maka di dianggap telah bersalah.” (HR Al-Turmizi dari Jundub)

  3. Pendapat para sahabat dan tabi’in yang menyatakan bahwa sesungguhnya menafsirkan ayat al-Quran sesuai dengan pendapat pribadi semata-mata adalah perbuatan yang tercela.

    Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. bahwa, “Perkataan yang paling jelek adalah pembicaraan tentang al-Quran sesuai dengan pendapat pribadi atau tanpa ilmu pengetahuan.” Demikian pula apa yang dinyatakan Al-Sya’b, “Ada tiga perkara yang kamu tidak boleh bicarakan, yaitu al-Quran, ruh, dan ta’wil mimpi.”

Meskipun sebagian ulama menolak eksistensi Tafsir bi al-Ra’yi, tetapi mayoritas ulama, terutama ulama tafsir kontemporer menerimanya.

Syaikh Muhammad Abduh, misalnya, menyatakan bahwa tafsir Tafsir bi al-Ra’yi sebagai salah satu metode memahami al Quran dapat diterima, sebab antara akal dan wahyu tidak mungkin bertentangan.

Penggunaan akal secara bebas dalam menafsirkan ayat al-Quran dimungkinkan sepanjang tidak membawa kemudaratan dan sesuai dengan ruh syariat.

Demikian pula Imam Fakhruddin Ar-Razi mendukung Tafsir bi al-Ra’yi; terbukti dalam kitab tafsirnya banyak menggunakan pemikiran filsafat, teologi dan ilmu kealaman Penerimaan sebagian ulama pada tafsir al-ray mengacu kepada:

  1. Firman Allah SWT dalam Surat Muhammad ayat 24 “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci?”
  2. Sabda Nabi Muhammad Saw, sebagai doa kepada Ibn Abbas: “Ya Allah berikanlah pemahaman kepadanya tentang ilmu agamadan ilmu tentang ta wil.”
  3. Seandainya Tafsir bi al-Ra’yi tidak dibolehkan, maka banyak ayat ayat hukum yang tidak dapat diamalkan. Lagi pula, Nabi Muham mad Saw. tidak sempat menerangkan secara rinci makna setiap ayat.
    Di samping itu, setiap mujtahid yang melakukan istinbāth diberi pahala, meskipun hasil ijtihadnya salah.

Ayat 169 Surat Al-Baqarah di atas yang dijadikan argumen oleh penentang Tafsir bi al-Ra’yi sebenarnya tidak menafikan pemakaian akal dalam memahami al-Quran.

Yang dilarang dalam ayat tersebut hanyalah mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang mengada ada terhadap Allah Swt., seperti membolehkan yang terlarang atau sebaliknya.

Apa yang disebut dengan kata bi al-Ra’yi dalam hadis yang pertama (HR al-Turmizi dari Ibn Abbas) ialah menafsirkan al-Quran dengan pendapat pribadi tanpa mengikuti pendapat ulama, tanpa mengacu pada kaidah bahasa dan kaidah ushul fikih maupun kaidah penafsiran.

Dengan kata lain, Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Quran berdasarkan hawa nafsu untuk mendukung mazhab tertentu, tanpa mengakui pendapat lain yang lebih tepat. Orang seperti itulah yang tempatnya di neraka.

Adapun mengenai hadis kedua (HR al-Turmuzi dari al-Jundub). sebagian ulama hadis menilainya sebagai hadis gharib. Ibnu Munzir, misalnya, menyatakan bahwa yang menilai hadis tersebut gharib ialah Imam al-Bukhari, al-Nasai, Ahmad, dan sebagainya.

Karena hadis tersebut termasuk dalam kategori dha’if (lemah), maka tidak dan dijadikan argumen untuk menolak eksistensi Tafsir bi al-Ra’yi.

Para sahabat dan tabi’in, seperti Abu Bakar r.a. dan al-Sya’bi menyatakan bahwa yang dilarang adalah menafsirkan al-Quran tanpa terlebih dahulu membekali diri dengan berbagai ilmu yang bertalian dengan metode penafsiran.

Sebagai bukti, dapat diketahui bahwa sekiranya Tafsir bi al-Ra’yi dilarang oleh para sahabat, maka tidak akan ditemukan perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam memahami ayat-ayat al-Quran.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa yang dilarang oleh Nabi Muhammad Saw., para sahabat, dan tabi’in, serta ulama yang menolak Tafsir bi al-Ra’yi adalah menafsirkan al-Quran tanpa bekal ilmu pengetahuan yang memadai.

Persoalan ini semakin jelas bila dikaitkan dengan macam-macam Tafsir bi al-Ra’yi yang terdiri dari tafsir mahmud dan mazmüm.

Dapat ditegaskan bahwa sesungguhnya yang dikehendaki oleh kelompok penolak Tafsir bi al-Ra’yi hanyalah kategori tafsir al-mazmum (tercela), sebab tidak sesuai dengan kaidah penafsiran.

Dengan demikian, baik golongan yang menolak maupun golongan yang mendukung Tafsir bi al-Ra’yi pada dasarnya menyetuju keberadaan tafsir bi al-Ra’yi mahmud, dan mereka sepakat menolak keberadaan Tafsir bi al-Ra’yi mazmum.

Mohammad Mufid Muwaffaq