Perempuan dan Tantangan Penguatan Fatayat NU Sulawesi Selatan di Era 4.0

Oleh: Herwanita, S.Sos.I, M.I.Kom, Sekertaris PW Fatayat NU Sulsel

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Fatayat NU dan Irisan Histografi NU di Sulawesi Selatan

Fatayat NU sebagai badan otonom dari Nahdatul Ulama (NU) tidak akan bisa dilepaskan secara historis dari perjalanan dan dinamika Nahdatul Ulama dari masa ke masa. Demikian pula dengan konteks histori dan geografi kehadiran Nahdatul Ulama di Sulawesi Selatan yang hadir di pasca kemerdekaan. Meskipun paham Ahlus Sunnah Waljamaah (Aswaja) yang identik dengan NU sudah berkembang di Sulawesi Selatan jauh sebelumnya, bahkan embrio lahirnya  NU sudah ada di Sulsel sejak tahun 1930.

Awal tahun 1960 –an, NU di Sulawesi Selatan belum mampu menegasikan diri sebagai sebuah organisasi keagamaan yang disegani di Sullsel, berbeda dengan pergerakan Muhamaddiyah yang sejak pertengahan tahun 1930-an telah eksis khususnya di wilayah Soppeng dan Wajo. Meskipun dalam dokumen sejarah ditemukan pada sekitar tahun1933 di Makassar pernah terbentuk Jamiah NU Wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara dengan memunculkan nama Abdul Hamid Daeng Maggasing sebagai ketua umum dan KH Ahmad Bone sebagai rais suriah, namun tidak terlalu aktif, bahkan justru yang aktif adalah organisasi sehaluan dengan NU yaitu Rabitatul Ulama.

NU sebagai kelembagaan baru diperkenalkan secara intens di Sulsel di sekitar tahun 1950-an, itupun atas inisiasi pengurus pengurus NU di Jawa. Bahkan ketika NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri yaitu Partai NU.  Maka KH. Abdul Wahid Hasyim yang di utus ke Sulawesi pada saat itu berusaha keras menjumpai beberapa ulama aswaja di daerah daerah pelosok Sulawesi selatan seperti KH. Abdurrahman Ambo Dalle Pimpinan pompes DDI Mangkoso. Meski negosiasi gagal untuk mengajaknya bergabung dengan partai politik NU, Perjuangan beliau ini menjadi bukti bagaimana Sulawesi Selatan menjadi salah satu pertimbangan besar konfigurasi kekuatan NU secara politik nasional pada saat itu .

Kiprah NU di Sulsel kemudian mulai tampak menumbuh dan berkembang setelah periode tahun 1970. Khususnya dari kalangan muda NU yang aktif di PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).  Kemunculan PMII sebagai sebuah embrio baru perkembangan pergulatan NU Ulama di Sulsel karena beberapa hal , pertama tokoh tokoh PMII di kala itu memiliki kemampuan akdemik dan intelektual yang cukup diperhitungkan, kedua, aktivitas mereka dalam wilayah pengkaderan menciptakan banyak kader NU yang kemudian bergabung dengan banom banom NU, seperti Ansor, IPPNU dll, bahkan secara geneologi pemahaman ada yang terekrut bukan verasal dari NU seperti muhammadiyah yang menjadi kader NU generasi pertama di keluarga mereka. Mereka inilah kader kader muda yang berdiaspora keluar berjejaring menempati posisi posisi strategis di NU bahkan di luar NU.

Baca Juga:  Amanat Kiai Said Peringati Hari Santri Nasional: Santri Jangan Lupa Jati Diri

Bagaimana dengan perkembangan Fatayat NU Sulawesi Selatan seiring dengan konfigurasi perjalanan NU di Sulawesi Selatan. Dalam catatan dokumen, keberadaan dan eksistensi Fatayat NU di Sulawesi Selatan baru terdengar dipertengahan 80 an. Meskipun secara admistrasi organisasi , beberapa  periode generasi kepengurusan yang tidak tercatat dalam dokumen admistrasi dalam kurun waktu 10 tahun awal. Namun sejarah perjalanan dan penguatan Fatayat, tidak terlepas dari bagaimana keberadaan NU yang ditopang oleh pesantren peantren yang berhaluan aswajah, bertumbuhnya banom NU seperti PMII, IPPNU dan Ansor serta organisasi sayap dari daerah yang berhaluan aswaja. Tokoh tokoh PMII dan NU dengan pemikiran pemikirannya seperti Prof. Dr. Musdah muliah pernah memegang pucuk pimpinan Fatayat NU di Sulawesi Selatan pada Dekade 80-an.

Pesantren Pesantren berhaluan Aswaja itu hari ini masih hadir dan berdinamika dalam perjalanan kaderisasi formal maupun non formal sebagai bagian dari jamaah dan jamiah NU. Sebut saja PP Assadiyah Sengkang, DDI Mangkoso, PP Bontoala, PP Annahdah dan cabang cabang lainnya dengan nama yang berbeda dan di dirikan olah para santri sebaran pesantren-pesantren tersebut.

Tipologi dan metode kaderisasi Fatayat NU

Dari lintasan perjalanan sejarah keberadaan NU di Sulawesi Selatan sebelumnya, tentu memberikan gambaran bagaimana pola yang sama mewarnai kaderisasi Fatayat NU di Sulawesi Selatan. Sebagaimana dipahami bersama bahwa kaderisasi adalah jantung dari sebuah organisasi. Kader dan kaderisasi tentu merupakan dua hal yang berbeda namun keduanya dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi dan membentuk citra organisasi.

Menurut Berliana Kertakusumah, dalam bukunya Geneologi Kepemimpinan Kontemporer (2006), kader adalah sekelompok orang yang terorganisasi secara terus menerus dan menjadi tulang punggug bagi kesatuan kelompok yang lebih besar. Seseorang bisa disematkan pada dirinya sebagai kader fatayat maupun organisasi lain misalnya jika memenuhi unsur; bergerak dan terbentuk dalm organisasi, memiliki komitmen yang utuh dan mempunyai standar tertentu sesuai yang ditetapkan organisasi. Sedangkan kaderisasi adalah upaya organisasi untuk mengaktualisasikan potensi manusia sesuai dengan ideologi yang dimiliki, termasuk pengetahuan, sikap dan keterampilan . dari penjelasan di atas setidaknya ada dua perbedaan kader dan kaderisasi, pertama kader adalah orang atau pihak yang terlibat dalam organisasi. Sedangkan kaderisasi merupakan upaya organisasi untuk mengimplementasikan ideologi yang di usung, kedua,  kader merupakan pelaku, sementara kaderisasi ialah aksinaya. Untuk melakukan kaderisasi dibutuhkan seorang kader yang mempuni.

Baca Juga:  Salah Satu Keutamaan Orang Miskin adalah Didekatkan dengan Nabi

Dari pemaparan di atas dapat dibuat pemetaan potensi kader dan pola perekrutan kader bagi fatayat NU Sulawesi Selatan dengan melihat beberapa peluang:

  1. Kader yang berasal dari lumbung pesantren berhaluan Aswajah di Sulawesi Selatan
  2. Kader-kader perempuan yang berasal dari alumni PMII, IPPNU dan sayap organisasi lembaga berhaluan aswajah seperti DDI dan Assadiyah.
  3. Kader-kader murni hasil perekrutan formal LKD dll yang bukan berasal dari rumpun keluarga NU dan Organisasi NU

Tantangan terbesar dari konfigurasi potensi peluang rekruitmen kader fatayat NU Sulawesi Selatan dari ke empat tipologi di atas tentunya memiliki dinamika dan tantangannya sendiri. Tidak bisa dipungkiri bahwasannya persentase rekruitmen kader fatayat hari ini di di tingkatan Sulawesi Selatan lebih banyak diwarnai oleh sahabat sahabat yang berasal dari PMII sebanyak 60 %, IPPNU 20 %, kader Umum 10 %, kader rumpun keluarga NU 5 %, alumni pesantren berhaluan aswaja 5%.  Konfogurasi ini tentu berbeda disetiap kabupaten dan PC dengan dinamika dan tantangannya yang berbeda-beda. Padahal potensi potensi kader yang bisa di rekrut dan aktif sebagai kader bisa jauh lebih besar secara kuantitas jika menemukan pola rekruitmen yang mengikuti tipologi potensi kader yang di gambarkan sebelumnya di atas.

Selain rekruitmen kader secara kuantitas sebagai bagian dari upaya menjalankan roda organisasi yang semakin aktif dan progresif. Pola kaderisasi sebagaimana disebutkan sebelumnya seyogyanya berbanding lurus dengan segala upaya untuk membuat format kaderisasi yang mampu terejawantahkan sebagai sebuah gerakan simultan dari berbegai sektor.

Kader –kader fatayat NU Sulawesi Selatan yang telah terekrut hari ini misalnya berasal dari berbagai profesi, latar belakang pendidikan, passionhobby, budaya dan tipologi kader yang berbeda-beda. Ini menjadi peluang besar dalam menggenjot sisitem kaderisasi dari berbagai lini. Jika dikonfigurasi lebih jauh maka akan tampak seperti gambar di bawah ini.

Konfigurasi kader kader hari ini di Sulawesi Selatan tentu menjadi tanggungjawab bersama untuk membuat kaderisasi organisasi yang bisa mengakomodir dan memanfaatkan peluang peluang dan potensi kader untuk menjadi bagian dari partikel partikel dalam menggerakkkan sistem kaderisasi yang ada Sulawesi Selatan. Khususnya di tengah pesatnya perkembangan informasi dan teknologi di era industry 4.0 dan society 5.0 menjadi tantangan besar dalam membuat pola kaderisasi yang tidak menjauh dari isu yang mewarnai gerakan fatayat selama ini tentang perempuan dan anak namun juga tidak melepaskan nilai nilai lokalitas daerah. 

Baca Juga:  Peran Habaib Dalam Pendirian Nahdlatul Ulama

Disinilah pentingnya adaptasi lokalitas dalam gerakan perempuan. Dengan ini Fatayat NU memiliki tumpuan pada tradisi ketika berselancar dalam lautan teori feminism dan gerakan perempuan. Gerakan yang berbasis pada tradisi, baik tradisi keagamaan maupun tradisi ‘lokal’ Nusantara yang menjadi modal dalam mengarungi Revolusi Industri 4.0. dan society 5.0. Zaman dimana kecerdasan buatan (artifisial intelegence), Era super komputer, rekayasa genetik, inovasi dan perubahan cepat yang berdampak pada ekonomi, industri, pemerintahan dan politik.

Olehnya, penguasaan yang baik terhadap teknologi informatika dan komunikasi tentu akan mampu mengamplifikasi kekhasan karakter perempuan muda fatayat NU dalam melakukan Personal Branding baik pada tingkatan wacana, praksis gerakan maupun persiapan menghadapi Bonus Demografi serta menyambut pencapaian target planet 50-50 pada keterwakilan perempuan di semua sektor pada tahun 2030. Tak mudah mengafirmasi diri sebagai bagian dari Generasi Industri 4.0 sekaligus sebagai kader dari Organisasi gerakan yang berpijak pada Aswaja dan kearifan lokal. Itulah pembeda dengan yang lain.

Pada akhirnya, semoga pola kaderisasi bisa menjadi ruang untuk distribusi kader dalam berbagai/multi sektor agar siklus kader dan kaderisasi menjadi sebuah satu kesatuan yang menopang berdiri kokohnya roda organisasi Fatayat NU dan cita cita besar kita bersama dalam mewujudkan Fatayat NU sebagai kawah chandradimuka lahirnya pemimpin pemimpin perempuan dari berbagai sektor.

Redaksi