Perintah Membaca dalam al Quran dan Tantangan Literasi Umat

perintah membaca dalam al quran

Pecihitam.org – Wahyu pertama yang diterima Nabi Saw berupa perintah membaca dalam al-Quran. Akan tetapi, kenyataan memang sungguh berbeda, sebab budaya membaca di masyarakat ternyata sangatlah rendah. Hal ini juga akhirnya berdampak pada tingkat literasi di masyarakat..

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Indonesia adalah negara yang minat dan kebiasaan membaca buku penduduknya sangat rendah. Demikian hasil riset UNESCO tahun 2012 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara di dunia dalam indeks tingkat literasi. PISA (Programme for International Students Assessment) juga melakukan penelitian serupa dengan hasil dari 72 negara Indonesia menduduki peringkat ke-64 dalam tingkat literasi penduduknya.

Kedua riset itu dilakukan kurang lebih 7 tahun yang lalu. Adapun hasil penelitian terbaru oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2017 menyebutkan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per-minggu dengan durasi membaca 30-59 menit, sedangkan jumlah buku yang ditamatkan per-tahun rata-rata hanya 5-9 buku.

Data-data tersebut menggambarkan fakta yang tentu saja memprihatinkan, cukup untuk memicu gerakan-gerakan kampanye literasi oleh berbagai kalangan, baik oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga masyarakat non-pemerintah, dengan beragam tingkat akselerasinya.

Tidak hanya karena tingkat minat dan kebiasaan membaca yang sangat rendah, saat ini masyarakat negara ini juga dihadapkan pada fenomena-fenomena yang mengancam keamanan dan ketenteraman hidup bermasyarakat dan bernegara. Berseliwerannya hoaks, maraknya hate spin dan otoritas keilmuan yang kacau menghajatkan perlunya warga negara memperbanyak perbendaharaan pengetahuan dan memperluas wawasan.

Lebih-lebih, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Sudah lazim bagi umat Islam Indonesia bahwa wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw mengandung perintah “iqra`” yang berarti “bacalah!”. Kumpulan wahyu Tuhan itu sendiri dinamakan al-Quran yang secara harfiah berarti “bacaan”.

Baca Juga:  Alquran Masa Kini dan Penodaan Kitab Suci

Mujiburrahman dalam bukunya Bercermin ke Barat: Pendidikan Islam Antara Ajaran dan Kenyataan (2013) menyampaikan satu kisah menarik tentang dialog seorang pastur dan seorang muslim. Berikut kutipannya:

“Sebagai seorang Katolik, ada satu hal yang membuat saya iri dengan Islam”, kata seorang pastur. “Apakah itu gerangan?” tanya teman saya penuh harap. “Sejauh pengetahuan saya, tak ada satupun agama di dunia ini yang perintah pertamanya adalah membaca (iqra`) kecuali Islam”, jawabnya. Sebagai seorang muslim, teman kita ini tentu merasa bangga, meskipun di dalam hatinya ia bertanya-tanya, apakah umat Islam sudah mengamalkan perintah itu.

Cerita ini menegaskan bahwa wahyu pertama yang diterima Nabi Saw berupa perintah membaca menunjukkan betapa mulia dan pentingnya aktivitas tersebut. Akan tetapi, antara ajaran dan kenyataan memang sungguh berbeda, sebagaimana diungkap oleh hasil-hasil riset yang disinggung di awal. Walau begitu, para pegiat literasi di kalangan muslim tak patah arang mengutip ayat pertama dari surah al-‘Alaq itu.

Persoalannya, kampanye literasi nampaknya akan sedikit menemui tantangan berupa penafsiran ayat. Tafsir al-Misbah (Volume 15, 2009) karangan Prof. Dr. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata perintah “iqra`” merupakan derivasi dari kata “qara`a” yang mulanya berarti “menghimpun”, yakni menghimpun dan merangkai huruf kemudian mengucapkan rangkaian tersebut.

Dengan demikian, realisasi perintah membaca tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, atau dalam arti yang dibaca tidak harus buku. Orang, karena itu, bisa memaknai bahwa yang dimaksud “membaca” tidak mesti berarti membaca buku.

Baca Juga:  Al Quran; Sejarah Pengumpulan, Jenis Hingga Kedudukannya

Selain itu, kata perintah (fi’l al-amr) “iqra`” tidak disertai dengan objek (maf’ul bihi), sehingga objek bacaan bersifat umum dan bisa apa saja. Hal ini diperkuat oleh riwayat bahwa Jibril As ketika mengantarkan wahyu pertama itu tidak menyodorkan suatu teks tertulis, sehingga Nabi Saw bertanya: “ma aqra`?” (apa yang harus saya baca?). Tak ayal spekulasi mengenai apa yang harus dibaca bermunculan di kalangan ahli tafsir.

Kekaburan ini nampaknya dapat dijelaskan dengan sebuah kaidah kebahasaan yang dikutip dalam Tafsir al-Misbah. Kaidah tersebut menyatakan, “apabila suatu kata kerja yang membutuhkan objek tidak disertai dengan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut”.

Tak dapat diabaikan pula fakta riwayat yang mengisahkan saat diminta Jibril As untuk membaca, Nabi Saw juga mengatakan: “ma ana biqari`!” (saya tidak dapat membaca). Al-Qur`an sendiri menyebut Nabi Muhammad Saw adalah seorang ummiy, atau seorang yang tidak pandai membaca dan menulis.

Karena itu, makna kata perintah membaca dalam al-Quran (“iqra`”) tidaklah tunggal. Kamus-kamus mengemukakan beragama makna kata itu, antara lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan lain-lain.

Keadaan ini membuka peluang adanya penafsiran lain selain membaca buku. Orang bisa memaknainya dengan bermacam-macam aktivitas yang berorientasi mengakses pengetahuan, entah itu dari sumber pengetahuan suci dari Tuhan maupun bukan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Membaca konten-konten di media sosial atau mendengarkan ceramah, tak peduli ceramah oleh ustadz mana, juga dapat dimaknai sebagai bagian dari pelaksanaan perintah membaca.

Baca Juga:  Mengenal Fungsi Hadis Terhadap AlQuran Menurut Para Ulama

Keterbukaan peluang penafsiran ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi kampanye literasi di kalangan masyarakat muslim. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa masyarakat muslim Indonesia adalah masyarakat yang sistem komunikasinya berbasis lisan.

Dalam Identitas dan Kenikmatan (2015) Ariel Heryanto menyinggung bahwa seseorang yang sedang membaca buku di tengah keramaian akan dipandang aneh bagi masyarakat berbasis komunikasi lisan. Meski begitu, masyarakat semacam ini memiliki ikatan komunal yang tinggi.

Maka wajarlah jika sebagian umat Islam di Indonesia memiliki ikatan bersifat komunal dengan sosok Guru atau ulama kharismatik. Guru atau ulama menjadi “objek bacaan” atau sumber pengetahuan Islam kalangan ini. Adagium yang masyhur di tengah mereka adalah “belajar harus berguru”. Sekalipun seseorang membaca buku atau kitab, ilmunya tidak berarti jika tanpa merujuk kepada seorang Guru yang diakui.

Tradisi ini dapat dipahami sebagai bagian dari upaya masyarakat untuk menjaga otoritas para ulama dan menghadirkan kehidupan keilmuan yang bertanggungjawab. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa tradisi ini dimaknai sebagai bagian dari literasi atau lebih tepatnya dapat disebut oral literacy.

Sebagaimana persoalan penafsiran kata perintah membaca dalam al-Quran, oral literacy juga menjadi tantangan bagi kampanye literasi dalam pengertian minat dan tradisi membaca buku. Pegiat literasi di kalangan muslim Indonesia harus mempertimbangkan fenomena-fenomena yang ada di tengah masyarakat dalam menyusun strategi kampanye literasi.

Yunizar Ramadhani