Khazanah Tafsir Al-Qur’an II : Perkembangan Tafsir di Era-Kolonialisme Abad ke-18

Perkembangan Tafsir di Era-Kolonialisme

Pecihitam.org – Sejarah perkembangan tafsir di Jawa tentu tidak bisa dipisahkan dengan persebaran Agama Islam di tanah Jawa. Dalam persebaran agama Islam di tanah Jawa tentu tidak terlepas dari Al-Qur’an dan Hadis.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sejak abad ke-14  persebaran agama Islam di Jawa mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kehadiran Wali songo di tanah Jawa membawa peruabahan baru dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Secara umum dalam proses penafsiran Al-Qur’an tentu tidak terlepas dari sebuah metodologi. Metodologi adalah satuan terpiasah dari teks yang mana setiap metodologi mempunyai karakteristik tersendiri. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses interpretasi setiap mufasir ketika menafirakan Al-Qur’an.

Karena jika seorang mufasir ingin mencapai sebuah tujuan ketika menafirkan al-Qur’an, metodologi tafsir menduduki peran penting dalam tatanan ilmu tafsir Ulum al-Qur’an. Begitu juga dengan metode tafsir Al-Qur’an di Jawa.

Perkembangan al-Qur’an di Jawa sudah ada sejak pada abad ke-17. Setelah ditemukannnya naskah di daerah Aceh Tafsir Surat Al-Khafi pada tahun 1607-1636. Namun sampai saat ini naskah tafsir tersebut belum ditemukan pengarangnya.

Baca Juga:  Surah Yusuf Ayat 11-12; Terjemahan dan Tafsir Al Qur'an

Pada akhir abad ke-17 terdapat dua ulama penyebar ajaran Islam di Pulau Sumatra yaitu al-Din al-Samatrani, Abd al-Ra’uf al-Sinkili dan Hamzah al-Fansuri. Abd al-Ra’uf al-Sinkili menulis sebuh kitab tafsir yang paling tua ditemukan dengan tulisan lengkap tiga puluh juz Tarjuman al Mustafid.

Dinamika pekembangan pemikiran tentang tafsir Al-Qur’an memang terus mengalami kemajuan. Dalam tulisan saya sebelumnya sudah menjelaskan tentang perkembangan tafsir pada abad ke-17. Dimana pada abad-17 ditemukannya beberapa kitab tafsir yang masih berbentuk terjemah bahasa Melayu.

Namun seiring dengan perkembangnya situasi dan kondisi. Perkembangan tentang tafsir Al-Qur’an pada abad ke-18 ini mengalami pasang surut. Hal tersebut dapat kita lihat dimana pada abad ke-18 masuknya kolonialisme Belanda di Indonesia.

Peran para tokoh masyarakat, kiai dan beberapa ulama mengalami penurunan. Namun hal tersebut tidak membuatnya putus untuk melakukan dakwah kepada masyarakat.

Dari segi agama, Islam memiliki jumblah penganut yang paling banyak jika dibandingkan dengan agama-agama lain. Kesuksesan penyebaran agama Islam tentu tidak bisa dilepaskan dengan hadirnya Walisongo di tanah Jawa.

Baca Juga:  Surah Az-Zumar Ayat 21-22; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Karena memiliki peran dalam penyebaran agama dan dapat mempengaruhi masyarakat. Melihat hal demikian, kemudian Belanda menguasai dengan melakukan peperangan seperti Perang Diponegoro dipimpin oleh Pangeran Diponegoro( 1827 M ), Perang Aceh dipimpin oleh  (1824), Perang Banjarmasin yang dipimpin oleh Pangeran Antasari (1852). Akibat peperangan tersebut para ulama banyak yang gugur dan diasingkan oleh Belanda seperti Kiai Maja yang diasingkan di Manado.

Perkembangan agama Islam khususnya dalam pengajaran al-Quran dan tafsir pada abad ke-18 terjadi penurunan. Para kiai dan tokoh agama mengalihkan perhatian masyarakat untuk dapat menjaga dan memerangi penjajah yang masuk di wilayahnya masing-masing.

Melihat kejadian yang banyak terjadi peperangan pada abad ke-18 dan banyaknya para kiai yang gugur dapat dipastikan pada abad ke-18 perkembangan tafsir al-Qur’an mengalami kemunduran.

Sejauh ini penulis belum menemukan kitab tafsir yang ditulis pada abad ke-18. Namun penulis mempunyai pandangan bahwa penafsiran al-Qur’an pada era abad ke-18 dilakukan oleh ulama dalam bentuk cramah di tempat-tempat ibadah dan bercorak nasionalisme (Jihad melawan penjajah).

Baca Juga:  Mengenal Metodologi Tafsir Al-Quran di Nusantara

Sehingga pada abad ke-18 ini cukup sulit untuk bisa ditemukannya kitab tafsir yang diitulis pada waktu itu. Karena, pada abad ke-18 banyak  para ulama tatkala mentrasnfer ilmu keagamaannya melalui sembunyi-sembunyi dan hanya bersifat ceramah. Minimnya dokumentasi berupa naskah dikarnakan kekhawatiran para ulama menjadi tawanan para penjajah.

M. Dani Habibi, M. Ag