Pola Pemikiran Imam Syafi’i dalam Menetapkan Hukum Islam

Pola Pemikiran Imam Syafi'i dalam Menetapkan Hukum Islam

PeciHitam.org Dalam mengistinbathkan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum, Imam Syafi’i memakai lima dasar, yakni al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal. Kelima dasar ini yang kemudian dikenal sebagai dasar-dasar mazhab Syafi’i.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dasar pertama dan utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an, kalau suatu masalah tidak menghendaki makna lafzi barulah ia mengambil makna majazi (kiasan), kalau dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, ia beralih pada Sunnah Nabi s.a.w.

Sunnah yang dipakai adalah Sunnah yang nilai kuantitasnya mutawatir (perawinya banyak) maupun ahad (perawinya satu orang), Sunnah yang nilai kualitasnya sahih maupun hasan, bahkan sunnah da’if.

Adapun syarat-syarat untuk semua sunnah da’if adalah: tidak terlalu lemah, dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli (umum) dari nas, tidak bertentangan dengan dalil yang kuat atau sahih dan hadis tersebut bukan untuk menetapkan halal dan haram atau masalah keimanan, melainkan sekedar untuk keutamaan amal (fada’il al-‘amal) atau untuk himbauan (targib) dan anjuran (tarhib).

Dalam pandangan Imam Syafi’i hadis mempunyai kedudukan yang begitu tinggi bahkan disebut-sebut salah seorang yang meletakkan  hadis setingkat dengan al-Qur’an dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam yang harus diamalkan.

Karena, menurutnya, hadis itu mempunyai kaitan yang sangat erat  dengan al-Qur’an. Bahkan menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah s.a.w. pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang ia peroleh dari memahami al-Qur’an.

Baca Juga:  Hukum Membantah Orang Tua yang Salah, Benarkah Anak Pasti Durhaka?

Satu hal yang perlu diketahui bahwa Imam Syafi’i tidak bersikap fanatik terhadap pendapat-pendapatnya, hal ini nampak pada suatu ketika ia pernah berkata: “Demi Allah aku tidak peduli apakah kebenaran itu nampak melalui lidahku atau melalui lidah orang lain.”

Adapun penjelasan dari masing-masing sumber hukum tersebut adalah sebagai berikut:

Daftar Pembahasan:

Al-Qur’an

Dalam pemahaman Imam Syafi’i atas al-Qur’an, ia memperkenalkan konsep al-bayan. Melalui konsep al-bayan ini, ia kemudian mengklafikasikan dilalah nas atas ‘amm dan khas. Sehingga ada dilalah `amm dengan maksud `amm, ada pula dilalah ‘amm dengan dua maksud ‘amm dan khas, dan ada pula dilalah ‘amm dengan maksud khas.

Klasifikasi lain adalah dilalah tertentu yang maknanya ditentukan oleh konteksnya, ada juga dilalah yang redaksinya menunjuk arti implisit bukan eksplisit, bahkan ada pernyataan ‘amm yang secara spesifik ditunjukkan oleh sunnah bahwa maksudnya khusus.

Al-Sunnah

Menurut Imam al-Syafi`i yang dimaksud adalah al-Hadis. Al-Sunnah selain sebagai sumber yang kedua setelah al-Qur’an juga sebagai pelengkap yang menginterpretasikan isi kandungan al-Qur’an, sehingga kedudukan al-Sunnah atas al-Qur’an sebagai berikut:

  1. Ta`kid, menguatkan dan mengokohkan al-Qur’an.
  2. Tabyin, menjelaskan maksud nas al-Qur’an.
  3. Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya dalam al-Qur’an.
  4. Dilalah-dilalah al-Sunnah meskipun hukumnya berdiri sendiri tidak ada yang bertentangan dengan dilalah nas al-Qur’an, karena al-Sunnah selain bersumber pada wahyu juga ada faktor lain yang menyebabkan keontetikkan al-Sunnah yaitu terpeliharanya Nabi dari dosa dan kekeliruan sejak kecil.
Baca Juga:  Memisahkan Tempat Tidur Anak Dan Batasan Usianya Menurut Islam

Ijma’

Imam Syafi’i mendefinisikan ijma’ sebagai konsensus ulama dimasa tertentu atas suatu perkara berdasarkan riwayat Rasul. Karena menurutnya mereka tidak mungkin sepakat dalam perkara yang bertentangan dengan al-Sunnah.

Imam Syafi’i membagi ijma’ menjadi dua yaitu ijma’ sarih dan ijma’ sukuti. Namum yang paling diterima olehnya adalah ijma’ sarih sebagai dalil hukum. Hal ini menurutnya, dikarenakan kesepakatan itu disandarkan kepada nas, dan berasal dari secara tegas dan jelas sehingga tidak mengandung keraguan. Sedangkan ijma’ sukuti ditolaknya karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Dan diamnya mujtahid menurutnya, belum tentu mengindikasikan persetujuannya.

Qiyas

Syarat-syarat qiyas yang dapat diamalkan menurut Imam Syafi’i   adalah sebagai berikut:

  1. Orang itu harus mengetahui dan mengusai bahasa arab.
  2. Mengetahui hukum al-Qur’an, faraid, uslub, nasikh-mansukh, ‘amm-khas, dan petunjuk dilalah nas.
  3. Mengetahui Sunnah, qaul sahabat, ijma` dan ikhtilaf dikalangan ulama.
  4. Mempunyai pikiran sehat dan prediksi bagus, sehingga mampu membedakan masalah-masalah yang mirip hukumnya.
Baca Juga:  Membaca Basmalah, Keutamaan dan Hukum Membacanya

Istidlal

Bila Imam Syafi’i tidak mendapatkan keputusan hukum dari ijma` dan tidak ada jalan dari qiyas, maka barulah ia mengambil dengan jalan istidlal, mencari alasan, bersandarkan atas kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang terakhir yang disebut “syar`u man qablana” dan tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia, juga ia tidak mau mengambil hukum dengan cara istihsan, seperti yang biasa dikerjakan oleh ulama dari pengikut Imam Abu Hanifah di Bagdad dan lain-lainnya.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan