Kisah Rabi’ah binti Ismail Asy-Syami, Ulama Perempuan dan Wali Besar pada Zamannya

Kisah Rabi’ah binti Ismail Asy-Syami, Ulama Perempuan dan Wali Besar pada Zamannya

Pecihitam.org- Rabi’ah binti Ismail asy-Syami adalah istri dari Imam Ahmad bin Abi al-Hawari yakni seorang ulama dan wali besar di zamannya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Beliau merupakan murid Imam Abu Sulaiman al-Darani, Imam Waki’, Imam Abu Usamah, Imam Sufyan bin ‘Uyainah,  dan masih banyak lagi. Ahmad bin Abi al-Hawari di gambarkan oleh Imam Ibnu Katsir melalui ucapannya:

“Salah satu dari ahli zuhud yang ternama, ahli ibadah yang dikenal, penyayang (atau dermawan) yang bersyukur, termasuk (dalam golongan orang-orang) yang memiliki keadaan spiritual yang saleh, dan karamah yang benar” (Imam Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003, juz 14, h. 448).

Rabi’ah bin Isma’il asy-Syami adalah wanita terpandang dan kaya raya. Imam Abdurrahman al-Sulami menggambarkannya dengan kalimat: “Rabi’ah binti Ismail asy-Syami merupakan bagian dari wanita terpandang di Syam. Ia adalah wanita yang kaya raya. Kemudian ia menafkahkan semua (kekayaan) miliknya kepada Ahmad (bin Abi al-Hawari) dan sahabat-sahabatnya (atau murid-muridnya)” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003, h. 399).

Baca Juga:  Ketika Cacing Saja Bershalawat, Masih Patutkah Kita Sombong?

Kisah pernikahan Rabi’ah binti Ismail asy-Syami dengan Imam Ahmad bin Abi al-Hawari cukup menarik. Rabi’ah menjadi orang pertama yang mengajukan lamaran kepada Ahmad al-Hawari, bukan sebaliknya. Dalam kitab Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn diceritakan:

Rabi’ah binti Isma’il melamar Ahmad bin Abi al-Hawari. (Namun), Ahmad al-Hawari tidak senang dengan lamaran itu karena hendak fokus beribadah. Ia berkata kepada Rabi’ah: “Demi Allah, aku tidak punya keinginan (menikahi) wanita, karena aku sibuk dengan perjalananku.” Rabi’ah binti Isma’il berkata: “Sungguh aku lebih sibuk dengan perjalananku dibandingkanmu, dan tiada (lagi) syahwatku. Tapi, aku mewarisi harta yang sangat banyak dari suamiku. Karena itu aku berkeinginan menafkahkannya kepada saudara-saudaramu (atau teman dan murid-muridmu), dan aku tahu yang bersamamu adalah orang-orang saleh, maka bagiku (itu) menjadi jalan menuju Allah ‘Azza wa Jalla” (Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi, Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2016, juz 6, h. 232).

Setelah mendapat lamaran dari Rabi’ah bin Isma’il asy-Syami, Imam Ahmad al-Hawari meminta izin kepada gurunya, Imam Abu Sulaiman al-Darani.

Baca Juga:  Inilah Mukjizat Nabi Daud AS dalam Kisah yang Terdapat pada Al-Quran

Pada awalnya, gurunya tidak mengizinkannya, tapi setelah mendengar penjelasannya tentang Rabi’ah binti Isma’il asy-Syami, Imam Abu Sulaiman al-Darani menyetujuinya. Ia mengatakan:

Nikahlah dengannya. Sesungguhnya ia adalah wali Allah” (Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi, Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, 2016, juz 6, h. 232).

Dalam kisah di atas, Rabi’ah bin Isma’il mengatakan bahwa perjalanannya atau pengembaraannya melebihi Ahmad al-Hawari. Ini karena Rabi’ah asy-Syami merangkap peran dalam setiap perjalanannya.

Ia menjadi seorang ulama perempuan (sufi) yang menyibukkan diri beribadah dan berdakwah; ia juga seorang yang mewarisi harta dan jaringan bisnis suaminya terdahulu. Karena itu, perjalanan yang dilaluinya lebih berat daripada perjalanan yang dilalui Imam Ahmad al-Hawari.

Selain itu, “perjalanan” (al-jâl) bisa juga diartikan sebagai perjalanan atau pengembaraan menuju Tuhan. Menggunakan makna ini, tentu perjalanan yang dilalui seorang wanita jauh lebih berat dari laki-laki, apalagi jika ia seorang ulama, pengusaha, istri dan ibu. Ia harus menjalankan banyak peran sebagai wanita sekaligus menapaki perjalanannya menuju Tuhan.

Baca Juga:  Kisah Heroik Nabi Daud Melawan Jalut Hanya dengan Senjata Ketapel

Rabi’ah binti Isma’il tidak sekedar berkata-kata. Ia menunjukkannya dalam sikap. Ia menikah bukan karena syahwat, tapi karena jalan persaudaran sufi yang ingin dilaluinya bersama orang-orang saleh. Dalam sebuah riwayat dikisahkan:

“Ahmad bin Abi al-Hawawri bercerita kepadaku (al-‘Abbas bin Hamzah). Ia berkata: “Suatu hari Rabi’ah berkata kepada Ahmad bin Abi al-Hawari: “Aku berdoa kepada Allah ta’ala agar hartaku dimakan oleh (orang) sepertimu dan seperti sahabat-sahabatmu” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 399-400).

Mochamad Ari Irawan