Resolusi Jihad, Laskar Hizbullah, dan Nasionalisme Pesantren

Resolusi Jihad, Laskar Hizbullah, dan Nasionalisme Pesantren

Pecihitam.org – Pada 17 September 1945, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari menandatangani Fatwa Jihad yang kemudian dikukuhkan oleh rapat para kiai pada tanggal 21-22 Oktober 1945 yang dikenal dengan Resolusi Jihad.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam sejarah, resolusi jihad tidak hanya sebagai pengobar semangat ulama-santri, tapi juga bertujuan untuk mendesak pemerintah agar segera menentukan sikap melawan kekuasaan Belanda yang ingin menggagalkan kemerdekaan.

Ketika itu, banyak terjadi pertempuran-pertempuran yang melibatkan para kiai dan santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah. Di saat tentara negara belum efektif pada jalur komandonya, laskar ulama-santri telah sigap menghadapi berbagai ancaman yang akan terjadi.

Bahkan, konsolidasi dan jalur komando Laskar Hizbullah dengan dukungan struktural NU dan Masyumi begitu masif bergerak hingga ke pedesaan.

Baru pada 5 Oktober 1945 Presiden Soekarno mengeluarkan dan menandatangani maklumat tentang pembentukan tentara nasional yang dinamakan Tentara Keamanan Nasional (TKR).

Dengan berdirinya TKR yang masih sebatas berupa fungsi keamanan, fungsi ketahanan justru dilakukan oleh kesatuan laskar di berbagai daerah.

Hizbullah merupaan kesatuan laskar yang cukup solid dan telah memiliki anggota yang cukup banyak. Di bawah bendera Masyumi, semua ormas Islam telah membentuk laskar-laskar Hizbullah di daerahnya masing-masing.

Baca Juga:  Pulang dari Zona Merah, Pengasuh Pondok Pesantren di Wonogiri Positif Corona

Ketika TKR baru berdiri, pemerintah dan Hizbullah bersepakat untuk menempatkan diri sebagai bagian dari organisasi tentara nasional yang baru dibentuk. Garis pimpinan Hizbullah meliputi pimpinan tingkat pusat hingga mencapai kesatuan-kesatuan lokal juga mengikuti TKR.

Sepanjang Oktober 1945, Hizbullah terus melakukan rekonsiliasi dan rekrutmen di berbagai daerah seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, dan Sumatera.

Konsolidasi dan pengorganisasian Hizbulllah bertitik tolak dari keprihatinan dan kewaspadaan terhadap musuh yang tiada hentinya melakukan gerakan untuk mengagalkan kemerdekaan.

Surabaya yang ketika itu menjadi medan pertempuran dapat dijadikan saksi sejarah bagaimana para pejuang cukup dapat menghentakkan pihak sekutu. Dengan berbekal Fatwa Jihad yang diteguhkan Resolusi Jihad, para pejuang pantang menyerah dalam menolak kedatangan kolonial.

Resolusi Jihad itu menyeru seluruh elemen bangsa, khususnya umat Islam untuk membela NKRI. Ketika pertempuran 10 November 1945 meletus, laskar ulama-santri dari berbagai daerah berada di garda depan pertempuran.

Baca Juga:  Kiai, Santri dan Budaya Korupsi di Lingkungan Pesantren

Dampak Resolusi Jihad juga membahana di Semarang dan sekitarnya, bahkan telah mengiringi keberhasilan dalam Perang Sabil Palagan Ambarawa. Para laskar ulama-santri juga terus melakukan pertempuran mempertahankan daerahnya masing-masing sampai di luar Jawa.

Boleh dibilang, Resolusi Jihad telah menjadi pegangan seluruh umat Islam di Indonesia untuk menerapkan barisan dan melakukan perlawanan terhadap sekutu dan Belanda di seluruh wilayah Indonesia.

Pesantren, sebagai tempat persemaian ulama-santri, menjadi basis-basis perlawanan yang tidak pernah surut.

Ketika para mempimpin bangsa sedang melakukan berbagai upaya diplomasi, Belanda justru memanfaatkan situasi itu untuk menyusun kekuatan.

Di sini, loyalitas ulama-santri diuji, terutama dengan adanya proses-proses politik dalam reorganisasi dan rasionalisasi tentara negara. Karena yang diusung oleh para ulama adalah politik kebangsaan, maka laskar Hizbullah tidak mempermasalahkan kebijakan-kebijakan Negara terkait dengan tentara.

Bahkan, para ulama tetap menjaga semangat juang dengan meneguhkan kembali Resolusi Jihad jilid II. Perlawanan tanpa henti ini dilancarkan untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia tetap eksis dengan tegak.

Kiranya, Resolusi Jihad telah menggerakkan seluruh jejaring ulama-santri dan rakyat Indonesia untuk terus melakukan perlawanan terhadap berbagai upaya Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia.

Baca Juga:  Menag Segera Putuskan Soal Pembelajaran Pesantren di Masa New Normal

Para laskar ulama-santri, tidak pernah berhenti menjadi nadi resolusi jihad bagi para pejuang-pejuang bangsa Indonesia untuk menjaga tegaknya negara.

Dengan demikian, Resolusi Jihad telah menjadi momentum bersejarah, puncak perlawanan dari sejarah panjang jihad yang tidak pernah berhenti dinyalakan oleh para ulama dan santri.

Pesantren menjadi tempat persemaian semangat anti kolonialisme, cinta tanah air, dan jihad fisabilillah menjadi bentuk rasa kebangsaan yang khas bagi bangsa Indonesia.

Selama berabad-abad, peran pesantren tidak pernah bisa diabaikan dalam menanamkan nasionalisme bagi tegaknya negara dan bangsa Indonesia.

Bahkan, hingga di abad ke-21 ini, pesantren masih eksis menjadi benteng utama berbagai ancaman dari luar. Baik ancaman ideologis, maupun ancaman fisik berupa upaya untuk meruntuhkan benteng-benteng NKRI.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *