Sejarah Berdirinya Wahabi, Berawal dari Gerakan Pemurnian Menuju Gerakan Takfiri

Sejarah Berdirinya Wahabi, Berawal dari Gerakan Pemurnian Menuju Gerakan Takfiri

PeciHitam.org – Berbicara mengenai sejarah berdirinya Wahabi, erat kaitannya dengan tema utama pemikiran Ibnu Taimiyah pada abad ke-7 yaitu gerakan al-ruju ila al-Quran wa As-Sunnah yang artinya kembali pada sumber ajaran Islam, yakni Al-Quran dan Sunnah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dengan tekanan pada pemurnian akidah, gerakan ini sering disebut dengan muhyi atsar al-salaf (menghidupkan kembali ajaran ulama salaf yang saleh), yakni praktik ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW dan tiga generasi sesudahnya, yakni generasi para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.

Gerakan ini muncul dipelopori oleh Ibnu Taimiyah dan didukung muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Mereka mengobarkan semangat pembaruan (tajdid), proyek purifikasi Islam yang bertolak dari kembali kepada al-Quran dan hadis.

Gerakan ini seolah membuka kran ijtihad yang telah tertutup dan menolak taqlid. Tidak lama berselang, gerakan ini pun akhirnya menyebar dan mendapatkan tempat di kalangan muslimin pada masa tersebut.

Gerakan pemurnian yang diusung Ibnu Taimiyah saat itu sejalan dengan pemikiran gurunya, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, yang menghidupkan ajaran salafiyah, tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah, tetapi terbuka pada ijtihad.

Karenanya, dalam perkembangan berikutnya, gerakan pemurnian tersebut menjadi bersenyawa dengan spirit ijtihad dan berorientasi pada bagaimana membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari kemunduran dan kejumudan.

Baca Juga:  Jawaban atas Wahabi yang Hobby Membenturkan Rasul dan Ulama

Ibnu Taymiyyah memandang bahwa Islam telah dikotori oleh tasawuf dan tarekat yang sama sekali tidak berorientasi kepada Sunnah Nabi. Tarekat yang dimaksud mengetengahkan konsep-konsep wali, wasilah, dan karamah yang dianggap mengandung unsur khurafat dan syirik seperti kelompok sufi al-Ahmadiyah pasa masa Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyyah berusaha menghilangkan itu semua dengan menyerukan “kembali kepada tauhid”.

Beberapa abad setelah wafatnya Ibnu Taimiyah, pemikiran beliau mengenai pemurnian akidah (kembali kepada tauhid) yang merupakan reaksi terhadap kondisi politik dan paham tauhid di kalangan umat Islam, kemudian diadopsi oleh seorang tokoh terkemuka di semenanjung Arab bagian timur, yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab.

Muhammad bin Abdul Wahhab nama lengkapnya ialah Abu Abdullah Muhammad ibn Abdul Wahhab ibn Sulaiman Abu Ali bin Muhammad ibn Ahmad ibn Rasyid al-Tamimi.

Ia dilahirkan di dusun Uyainah (Nejd) suatu negeri yang terletak di jantung padang pasir yang masih murni keislamannya. Buku-buku sejarah pada umumnya mengungkapkan bahwa ia hidup antara tahun 1703 sampai tahun 1787 M.

Semenjak kecil, ia belajar kepada ayahnya yang berprofesi sebagai seorang hakim (Qadhi) yang bermazhab Hanbali. Kemudian ia merantau ke Hijaz dan di sana berguru kepada ulama Makkah dan Madinah. Setelah menyelesaikan pelajarannya di sana, ia merantau ke Basrah dan tinggal di kota ini selama empat tahun.

Baca Juga:  Gagal Paham Wahabi Tentang Hadis Safar, Kok Bisa Disamakan dengan Ziarah Kubur??

Selanjutnya ia pindah ke Bagdad dan di sana ia memasuki hidup perkawinan dengan seorang wanita kaya. Lima tahun kemudian, setelah istrinya meninggal dunia, ia pindah ke Kurdistan, dan selanjutnya ke Hamdan dan Isfahan. Di kota Isfahan ia berhasil mempelajari filsafat dan tasawuf. Setelah bertahun-tahun merantau, akhirnya ia kembali ke tempat kelahirannya, Nejd.

Di setiap negeri Islam yang dikunjungunya, ia melihat berbagai macam tradisi, kepercayaan, dan adat-istiadat yang dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk ritual-keagamaan.

Ia juga menyaksikan betapa besarnya pengaruh ahli-ahli tarekat di masa hidupnya sehingga kuburan-kuburan syaikh tarekat yang bertebaran di setiap kota, bahkan kampung-kampung, ramai dikunjungi oleh orang-orang yang ingin meminta berbagai macam pertolongan.

Muhammad bin Abdul Wahhab melihat di beberapa negeri Islam yang dikunjunginya itu kehidupan Islam telah lenyap karena telah meninggalkan ritus yang dianggap tidak bernafaskan Islam, dan kemunduran yang merata.

Kondisi umat yang dianggap telah rusak tauhidnya itulah yang mendorong Muhammad bin Abdul Wahhab untuk memperbaikinya lewat pemikiran dan ajaran-ajarannya.

Menurutnya, kemurnian paham tauhid mereka seolah telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam. Gagasan-gagasan Muhammad bin Abdul Wahhab untuk memberantas bid’ah yang masuk ke dalam ajaran Islam akhirnya berkembang menjadi suatu gerakan yang disebut “Gerakan Wahabi”.

Baca Juga:  Pendapat Para Sahabat, Imam Madzhab dan Para Ulama Atas Aqidah Mujassimah Wahabiyah (Bag I)

Dari pemaparan singkat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah berdirinya Wahabi tidak terlepas dari pemikiran Imam Hambali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, mengenai pemurnian akidah.

Gerakan Wahabi ini muncul merespon kondisi kaum muslimin pada masa tersebut yang dianggap berada pada kejumudan dan dipenuhi khurafat serta syirik sehingga dianggap perlu untuk membuat gerakan pemurnian akidah dengan mengajak agar kembali kepada al-Quran dan Sunnah.

Mohammad Mufid Muwaffaq