Pecihitam.org – Jika berbicara sejarah lahirnya mazhab Syafi’i, mungkin ini kali pertama anda tahu bahwa pada awalnya Imam Syafi’i tidak pernah berniat untuk mendirikan suatu mazhab tersendiri atau memisahkan diri dari mazhab gurunya yaitu Imam Malik. Bahkan, fatwa-fatwanya juga tidak keluar dari kaidah-kaidah berfatwa yang telah dirumuskan oleh Imam Malik.
Adapun motivasi yang mendorongnya untuk membentuk mazhab baru adalah setelah ia melakukan perjalanan intelektual ke Baghdad yang pertama (184 H). Sebelum tahun tersebut, Imam Syafi’i masih terbilang sebagai penyokong mazhab Imam Malik. la membela pendapat-pendapat gurunya dan berdiskusi dengan menyokong mazhab ahlur ra’yi di Baghdad sampai-sampai ia dijuluki sebagai “penolong sunnah (nashiru as-sunnah).” Gelar itu disematkan karena ia selalu membela pendapat-pendapat gurunya yang kental dengan aroma hadits.
Sebelum belajar kepada Imam Malik, Imam Syafi’i belajar di Mekkah sebagai destinasi awal dalam perjalanannya mencari ilmu. Di sana, ia terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran lbnu Abbas, sehingga ia pun sangat gandrung dengan sya’ir Arab, belajar ilmu al-Qur‘an hingga mahir, baru kemudian ia menghafalkan kitab al-Muwaththa‘, lalu ia bertemu dengan sang pengarangnya yaitu Imam Malik, tepatnya dalam perjalanan menuju Madinah.
Ketika sudah bertemu dengan Imam Malik, Imam Syafi’i tidak diterima langsung sebagai murid, tidak pula diajar Iangsung olehnya, lantaran ianya saat itu masing tergolong sangat muda. Namun, setelah melihat remaja itu penuh talenta, Imam Malik berkenan mengajar kitab al-Muwatthha‘ secara langsung.
Sehingga, dalam catatan sejarah, Imam Syafi’i pernah belajar kepada Imam Malik hingga akhir-hingga Imam Malik wafat (179). Setelah gurunya wafat, Ia pergi ke Yaman untuk mencari rezeki, selepas dari Yaman, Ia melanjutkan perjalanan Intelektualnya ke lrak dan Mesir.
DI setiap perjalanan, ia mempelaiari mazhab-mazhab yang pada waktu itu terbilang mempunyai banyak pengikut seperti mazhab Auza’i, mazhab Imam Laits, mazhab Muhammad bin Hasan, dan mazhab Abu Yusuf. Ia mempelajari mazhab-mazhab tersebut hingga dapat memahami detail permasalahannya, menguasai mana yang muttafaq dan mana yang mukhtalaf, kemudian ia juga membandingkan mazhab-mazhab tersebut.
Dari komparasi mazhab yang dilakukannya ini, ia mendapat kesimpulan bahwa dalam pandangannya, “Imam Laits lebih alim dari Imam Malik Hanya saja, para muridnya tidak menjaga ilmunya dengan baik.”
Imam Syafi’i juga belajar kepada Imam Muhammad bin Hasan, mempelajari kitab-kitabnya dan mengambil semua ilmu yang dapat diambil darinya. Sementara di lrak, pada waktu itu terdapat beberapa mazhab fiqih seperti mazhab Abu Yusuf. Abu Yusuf adalah murid Imam Abu Hanifah dan salah satu dari fuqaha ahlur ra’yi, yang terkenal dengan kuatnya hafalan hadits.
Latar belakangnya ini membuatnya lebih banyak melakukan penelaahan secara lebih mendalam mengenai hadits Nabi, dan menjadikannya sebagai dalil, serta jika ia menemukan pemikiran terdahulu yang tidak sesuai dengan hadits, ia akan meninggalkannya dan akan beralih kepada pemikiran yang sesuai dengan kandungan haditsnya. Tercatat, Muhammad bin Hasan pernah meriwayatkan hadits dari Imam ats-Tsauri, setelah itu, dia belajar kepada Imam Malik selama 3 tahun.
Lebih jauh, Imam Syafi’i tumbuh dan berkembang dalam lingkungan di mana dua mazhab besar Fiqih, Hanafi dan Maliki, baru muncul. Ia tidak tebersit sedikit pun untuk mendirikan suatu mazhab sendiri sampai ketika ia meninggalkan Baghdad untuk pertama kali.
Lalu kapan Mazhab Syafi’i lahir? Tepatnya, setelah ia berdiskusi panjang dengan mazhab ahlur ra’yi dan ia menemukan masih adanya celah kosong dalam mazhab Imam Malik. Dari sini, ia bertekad untuk menggabungkan madrasah ahlur ra’yi dan madrasah ahlul hadits secara harmonis di Mekkah.
Dari sinilah, apa yang dilakukannya ini Sadar ataupun tidak, ia telah memunculkan mazhab baru dalam bidang hadits. Mazhab baru ini kali pertamanya ia adakan/ajarkan dalam halaqah ilmiah di Masjidil Haram. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa mazhab Syafi’i telah mengalami tiga periode yang sangat penting;
Periode pertama. Bermula dari pengajaran yang ia sampaikan di Masjidil Haram, sekembalinya ia dari Baghdad, hingga sembilan tahun setelahnya. Periodisasi seperti ini dilontarkan oleh Imam Abu Zahrah. Dalam periode ini, karya Imam Syafi’i yang berjudul ar-Risalah lahir.
Kitab ushul Fuqih pertama ini, lahir dari permintaan Abdurrahman bin Mahdi ketika dirinya meminta Imam Syafl’i untuk membuat sebuah kitab yang dapat menjelaskan makna al-Qur‘an, mengumpulkan fanfan hadits, legalitas ijmak, dan penjelasan tentang nasikh dan mansukh dalam al-Qur‘an dan sunnah.
Periode kedua. Bermula dari kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad untuk kedua kalinya dengan membawa karya ilmiah pertamanya dalam bidang ushul fiqih atas permintaan ulama Baghdad.
Imam Syafi’i menilai banyak perubahan yang terjadi dalam masalah furu’ dan ushul. Hal ini mendorongnya menyebarkan ilmunya secara luas. Imam al-Karabisi berkata,
“Kami tidak mengetahui kitab itu apa, sunnah itu apa, dan ijmak itu apa sampai kami mendengar perkataan Imam Syafi’i, Al-Kitab, as-Sunnah, aI-ljmak. Mereka-ulama sebelumnya-sibuk dengan persoalan riwayat dan furu’ sehingga mereka tersentak oleh perkataan Imam Syafi’i, ‘Terkadang Allah menyebutkan redaksi lafazh umum, tetapi yang dikehendaki adalah khusus; menyebutkan redaksi khusus, tetapi yang dikehendaki adalah makna umum.’ Mereka berkata, ‘Kami tidak mengetahuinya sampai mereka mendengar Imam Syafi’i berkata, ‘Allah telah berfirman, ‘Orang-orang Quraisy telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu. ’ (QS.Ali lmran [3]: 173). Yang dimaksud kata ‘orang-orang (an-nas)’ dalam ayat tersebut bukanlah orang quraisy secara keseluruhan, melainkan yang dimaksud adalah Abu Sufyan saja.”’
Dalam firman-Nya, “Wahai Nabi! Apabila kamu ceraikan istri-istrimu.” (Q5. Ath-Thalaq [65]: 1). Redaksi “Wahai Nabi” adalah lafazh khash, tetapi yang dimaksud adalah lafazh ‘am. Mereka tidak mengetahui hal tersebut sampai Imam Syafi’i datang menjelaskannya. Periode ini dimulai tahun 195 H.–sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Zahrah- sampai tahun 198 H.
Pada periode ini, Imam Syafi’i mengetengahkan pendapat para fuqaha pada zamannya, pendapat para sahabat, dan pendapat para tabi’in disertai ragam perbedaannya, seperti pendapat Ali bin Abu Thalib, lbnu Mas’ud, lbnu Abbas, Zaid bin Tsabit, dan lain sebagainya. Setelah itu, ia juga mengetengahkan khilafiyah mazhab dalam mazhab Abu Hanifah dan Abu Laila dengan riwayat Abu Yusuf yang terkenal dengan nama “perbedaan para ahli Fiqih di Irak (Ikhtilaf ‘Iraqiyyin’)”, dan juga mengemukakan Sirah al-Waqidi, Fiqih Auza’i, dan beberapa pendapat lain.
Lebih dari itu, ia menerapkan masalah yang ada dengan kaidah dan ushul mazhab yang ia bangun, lalu memilih pendapat mana yang lebih dekat dengan ushul yang ia pakai atau meninggalkannya dan mengambil pendapat yang baru.
Periode ketiga. Dimulai pada tahun 199 H. ketika ia hijrah ke Mesir sampai ia meninggal. Pada periode ini, keilmuan Imam Syafi’i benar-benar sudah matang. Setelah tinggal di Mesir, Imam Syafi’i melihat hal-hal baru yang belum pernah dilihatnya, baik yang berkaitan dengan adat kebiasaan, peradaban, maupun pengaruh ulama tabi’in di sana.
Ia merekonstruksi kitab ar-Risalah; mengurangi dan menambah kontennya, dan melihat kembali hasil-hasil ijtihadnya. Periode ini bagi Imam Syafi’i adalah periode pembaharuan dan penelitian ulang atas pemikirannya sendiri.
Dalam setiap periode di atas, Imam Syafi’i mempunyai banyak murid yang menyebarkan ide dan hasil ijtihadnya. Hal ini menjadikan mazhabnya cepat berkembang di seluruh penjuru dunia Islam. Terutama, di Mekkah al-Mukarramah, mazhab syafi’i menggeser mazhab lbnu Abbas yang sudah sekian lama bercokol di sana.
Demikian pula, di Madinah mazhabnnya menyaingi mazhab Imam Malik yang menjadi penerus keilmuan Imam Zuhri. Juga di Irak, mazhabnya berdampingan dengan mazhab Abu Hanifa yang keilmuannya bermuara kepada Hamad bin Abu Sulaiman.
- Mengenal Imam Abu al-Hasan al-‘Ijli Pengarang Kitab al-Tsiqat - 09/03/2024
- Menteri Agama RI Luncurkan PMB PTKIN 2024 - 20/01/2024
- Gagasan tentang Pluralisme Menurut Para Sufi, Filsuf dan Faqih - 18/01/2024