Sejarah Thariqah Naqsyabandiyyah, Salah Satu Thariqat Besar dalam Islam

Sejarah Thariqah Naqsyabandiyyah, Salah Satu Thariqat Besar dalam Islam

Pecihitam.org – Thariqah Naqsyabandiyyah didirikan oleh Muhammad Al-Uwais an-Naqsyabandy. Beliau seorang tokoh sufi yang terkenal dan memiliki banyak pengikut di berbagai pelosok dunia Islam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ia mendapat gelar “Syah”, yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai pemimpin spiritual. Ia merupakan seorang tokoh yang sangat pandai melukiskan kehidupan yang ghaib-ghaib kepada para pengikutnya, sehingga ia dikenal dengan nama “Naqsyabandi” (Naqsyaband = lukisan).

Kata al-Uwaisy berhubungan dengan salah seorang tokoh sufi terkenal di masa shahabat, yaitu Uwais al-Qorni, karena sistem tasawwuf Naqsyabandy menyerupai sistim tasawwuf tokoh besar ini.

Disamping itu, menurut suatu riwayat, Naqsyabandy mempunyai hubungan keluarga dengan Uwais al-Qorni. Karenanya ia juga dikatakan sebagai salah seorang keturunan Uwais al-Qorni.

Naqsyabandy belajar ilmu thariqat kepada seorang quthub di Nasaf yaitu Amir Sayid Kulal al-Bukhory (w. 772H /1 371M). Amir Kulal adalah salah seorang khalifah Muhammad Baaba as-Sammasy. Dari Amir Kulal inilah, Naqsyabandy memulai silsilah thariqat yang didirikannya.

Amir Kulal menerima thariqat tersebut dari Muhammad Baaba as-Syammasy, yang menerimanya dari ‘Aziizan ‘Ali ar-Romitani (w.705H / 1306M atau 721H / 1321M), dari Mahmud Anjir Faghnawi (w. 643H / 1245M atau 670H / 1272M), dari ‘Arif Riwghary, atau ‘Arif Riukiry (w. 675H / 1259M), dari ‘Abdul Kholiq Ghujdawany, dari Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadany, dari Abu Fadhl bin Muhammad at-Thusy al-Farmady, dari Abu Hasan ‘Ali bin Ja’far al-Kharqaany, dari Abu Yazid al-Bisthoomy (188H – 2061M / 264H), dari Imam Ja’far as-Shoodiq (w. 148 H), dan Qoosim bin Muhammad Abu Bakar as-Shiddiiq, dari Salman al-Farisy, dari Abu Bakar as-Shiddiiq, yang menerima- nya dari Rasululloh SAW.

Rasululloh SAW sendiri  menurut silsilah itu, mengambil thariqat (dzikir) tersebut dari Jibril, yang menerimanya dari Allah SWT.

Meskipun tersusun rapih dari Naqsyabandy sampai kepada Rasulullah SAW,  silsilah tersebut tidak terlepas dari kritik, karena beberapa nama dalam silsilah itu ternyata tidak saling berjumpa secara fisik.

Abu Yazid al-Bisthomy tidak berjumpa dengan Imam Ja’far as-Shoodiq karena ia lahir (188H) sekitar 40 tahun sesudah wafatnya Imam Ja’far as-Shoodiq (148 H). Abu Hasan ‘Ali bin Ja’far al-Kharqaany juga tidak bertemu  dengan Abu Yazid al-Bisthomy, sebab ia lahir sesudah Abu Yazid al-Bisthomy. Kenyataan dari fakta sejarah ini diakui pengikut thariqat Naqsyabandiyah, tetapi bagi mereka hal itu tidak menjadi masalah.

Baca Juga:  Berikut Definisi dan Cara Mujahadah dalam Ilmu Tasawuf (Bagian I)

Menurut mereka, thariqat (dzikir) itu diterima melalui pertemuan rohani Imam Ja’far as-Shoodiq dengan Ali al-Kharqaany ataupun dengan Abu Yazid al-Bisthoomy. Bagi kalangan pengikut thariqat, pertemuan semacam ini diakui, dan tidak menjadi masalah yang serius, karena pemberian dan penerimaan suatu dzikir tidak mesti melalui perjumpaan fisik.

Meskipun Naqsyabandy belajar tasawwuf dari Muham-mad Baaba as-Sammasy, dan thariqat yang diperolehnya dari Amir Kulal, juga berasal dari as-Sammasy, namun Thariqah Naqsyabandiyyah tidak persis sama dengan thariqat as-Sammaasy. Dzikir tahriqat Muhammad Baaba as-Sammasy diucapkan dengan keras, sementara tariqat Naqsyaban- diyyah lebih menyukai dzikir tanpa suara.

Dzikir Naqsyabandiyyah sama dengan dzikir thariqat ‘Abdul Kholiq Al-Ghujdawaany (w.1220), salah seorang khalifah Abu Ya’qub Yusuf al-Hammadany (w. 535H / 1140M). Menurut salah satu riwayat, ‘Abdul Kholiq al-Ghujdawaany mengamalkan pendidikan Uwes al-Qorny. Karena itulah sistim tasawwuf Naqsyabandy menyerupai sistim tasawuf Uwes al-Qorny.

Abdul Kholiq al-Ghujdawaany menyebarkan ajaran gurunya di daerah Transoksania (Asia Tengah) dengan cara Thariqoti Khwajagan, yaitu cara Hoja atau guru.

Thariqat ini bersumber dari Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadaani (w. 535 H/140 M, sufi yang hidup sezaman dengan Muhyiddiin Abu Muhammad ‘Abdul Qoodir bin Abi Shoolih Zangi Does Jilani, atau Syekh ‘Abdul Qoodir al-Jailaani (470 H / 1077 M  –  561 H / 1166 M), tokoh sufi dan wali besar. Ajaran-ajaran al-Hamadaani disebar-luaskan oleh ‘Abdul Khooliq Ghujdawaani (W 1220 M), salah seorang murid sekaligus khalifahnya.

Cara pengajaran yang dilakukan oleh ‘Abdul Khooliq Ghujdawaani disebut dengan istilah “Thoriiqoti Kwajagan” (cara jalan “Khoja” atau guru). Penyebar-luasan ajaran ini tersebar di daerah-daerah Asia Tengah. Ia menetapkan delapan prinsip utama di dalam ajaran thariqatnya.

Kedelapan prinsip tersebut selanjutnya menjadi dasar dari Thariqah Naqsyabandiyyah. Oleh karena itu, thariqat Naqsyabandiyyah sebelumnya disebut dengan thariqat Khwajagan.

Adapun dasar ajaran Thariqah Naqsyabandiyyah itu adalah:

  1. Huwasy dar dam هُوَشْ دَرْدَمْ kesadaran dalam bernafas. 
  2. Nadzhor Bar Qodam   نَظَرْ بَرْقَدَمْ   (memperhatikan setiap langkah yang dilangkahkan).
  3. Shafar Dar Wathan   سَفَرْ دَرْ وَطََنْ   (perjalanan mistik dalam diri)
  4. Khalwat Dar Anjuman خَلْوَتْ دَرْ أَنْجُمَنْ (kesendirian dalam keramaian)
  5. Yad Kard  يَادْ كَرْد(terus menerus dzikir pada Allah)
  6. Baz Kasyt بَازْ كَشْت (penghayatan bathin dalam berdzi- kir)
  7. Nakah Dasytنَكَاهْ دَاشْت  (memperhatikan fikiran dan arah- an hati)
  8. Bad Dasyt بَادْ دَاشْت (pemusatan perhatian pada Allah)
  9. Wuquf Zamani   اَلوُقُوْفُ الزَّمَانِىُّ  (Berhenti sejenak )
  10. Wuquf ‘Adadi) اَلْوُقُوْفُ الْعَدَدِىُّ berhenti pada jumlah  bilangan dzikir)
  11. Wuquf Qolbi اَلْوُقُوْفُ الْقَلْبِىُّ  (berhentinya hati untuk menghayati dzikir yang sudah di amalkan)
Baca Juga:  R.M.P. Sosrokartono dalam Ajaran Tarekat Ngawulo Marang Kawulo Gusti

Perkembangan Thariqah Naqsyabandiyyah pertama kali adalah di daerah Asia Tengah. Ketika thariqat ini dipimpin oleh Syekh Nashiiruddin ‘Ubaidillah al-Ahraar as-Samarqandi (1404 – 1490 M). Hampir seluruh wilayah Asia Tengah dikuasai oleh thariqat Naqsyabandiyyah, bahkan meluas sampai ke Turki dan India.

Masuknya thariqat Naqsyabandiyyah ke India terjadi pada masa pemerintahan Babur (w 1530 M). Babur adalah pendiri kerajaan Mogul. Namun perkembangan yang berarti dari thariqat ini baru terjadi ketika Muhammad Baaqi Billah (w 1603) bermukim di Delhi.

Thariqah Naqsyabandiyyah mulai menyebar pula ke wilayah Suriah dan Anatolia pada abad ke-17. Tokoh yang menyebarkannya ialah Murad bin Ali Bukhari (w 1132 H / 1720 M).

Sementara itu, thariqat Naqsyabandiyyah di Makkah disebarkan oleh Taajuddin bin Zakaria (w 1050 H / 1640 M), salah seorang murid Baaqi Billah di India. Ia membai’ah Ahmad Abul Wafa bin Ujail (w 1664) yang kemudian menjadi khalifah thariqat Naqsyabandiyyah di Yaman.

Kekhalifahan Ahmad Abul Wafa diteruskan oleh putranya Abu Zain Musa Abdul Baaqi (w. 1663 M). Kedua khalifah inilah yang membai’ah Ahmad bin Muhammad Dimyathi (w 1127H/1715M) menjadi khalifah thariqat Naqsyabandiyyah, yang akhirnya menyebarkan thariqat ini di Mesir.

Thariqat ini selanjutnya  tersebar pula ke berbagai penjuru dunia Islam, dan diikuti oleh banyak pengikut. Di Indonesia penyebaran thariqat ini terutama terjadi pada abad ke-19 M, masuk melalui pelajar-pelajar Indonesia yang belajar di Makkah, atau melalui jama’ah haji yang pulang ke Indonesia. Pada abad ke-19 di Makkah terdapat sebuah pusat thariqat Naqsyabandiyyah, dibawah pimpinan Syekh Sulaiman Efendi. Markas thariqat Naqsyabandiyyah ini terletak di kaki gunung Abu Qubais (Jabal Abi Qubais).

Baca Juga:  Ini 4 Pesan Imam Al Ghazali, Pegangan Praktis untuk Para Salik

Perkembangan thariqat Naqsyabandiyyah selanjutnya di Indonesia berkembang dalam bentuknya sendiri, sehingga dikenal adanya dua versi thariqat ini, dan keduanya tidak bertentangan pada prinsip. Yaitu thariqat Naqsyabandiyyah Khaalidiyah dan thariqat Naqsyaban- diyyah Muzhariyah.

Thariqat Naqsyabandiyyah Khaalidiyah bersumber dari Syekh Ismail al-Khaalidy di Minangkabau Sumatra Barat. Penyebarannya dilakukan mulai dari daerah asalnya, Simabur (Batusangkar, Sumatra Barat) dengan system penyebaran melalui pengembaraan yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.

Dari Simabur thariqaat ini disebarkan ke Riau, kemudian diteruskan ke kerajaan Langkat dan Deli, selanjutnya ke Johor Malaysia. 

Adapun thariqat Naqsyabandiyyah Muzhariyah bersumber dari Sayid Muhammad Shaleh az-Zawaawy. Kedua orang Syekh ini hidup sezaman.

Penyebaran thariqat Naqsyabandiyyah dari Syekh az-Zawawi lebih luas dan menyentuh dunia internasional. Muridnya sangat banyak, antara lain Syek Abdul Murad Khazany (Turki) yang darinya lahir ulama-ulama thariqat Naqsyabandiyyah lain.

Adapun perkembangan thariqat Naqsyabandiyyah di Sumatra, pada umumnya, adalah menurut versi Syekh Isma’il al-Khaalidy Minangkabau dan seterusnya  hingga sampai kepada Syekh Abdul Ghani Kampar, Bangkinang Riau, dan kemudian diturunkan kepada Syekh Muhammad Waly al-Khaalidy ( 1917 M – 20 Maret 1961 M / 11 Syawwal 1381 H) dari Aceh.

Di daerah Aceh sangat berkembang thariqat Naqsyabandiyyah di bawah pimpinan Syekh Muhammad Waly al-Khaalidy.

Kemudian thariqat Naqsyabandiyyah di Aceh dikembangkan oleh putranya tertua, Al-Mursyid. Prof. DR. H. Tgk. Muhibbuddin Muhammad Waly, selaku mursyid pertama yang irsyadnya diberikan langsung oleh guru ayahnya Syekh Haji Abdul Ghani Kampar, juga beserta putranya Syekh H. Idrus.

Prof. DR. H. Tgk. Muhibbuddin Muhammad Waly dan Syekh H. Idrus mendapatkan ijazah tersebut, dengan disaksikan oleh Syekh Muhammad Waly al-Khaalidy sendiri di Surau desa Batu Bersurat, kabupaten Kampar pada tahun 1960 M.

Demikianlah sejarah Thariqat Naqsyabandiyyah hingga sampai ke Indonesia. di Indonesia banyak pengamal Thariqat ini, maka perlu ada tulisan-tulisan tentang sejarah Thariqat Naqsyabandiyyah agar sejarah Thariqat Naqsyabandiyyah ini tidak kabur.