Sekilas Sejarah Masuknya Kelompok Islam Trans-Nasional ke Indonesia

Sekilas Sejarah Masuknya Kelompok Islam Trans-Nasional ke Indonesia

Pecihitam.org – Pada tahun-tahun akhir 1980an mulai berduyun-duyun berbagai organisasi dan kelompok Islam trans-nasional dari Timur Tengah untuk menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Para organisasi yang berasal dari Timur Tengah inilah yang dinilai sebagai bagian penyebab terjadinya trend ekstrimisme Islam di Indonesia yang sering melakukan doktrinasi yang eksklusif, intoleran, dan menjadi pintu masuk aksi kekerasan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Mereka datang dan masuk ke Indonesia pada saat situasi Indonesia sedang berada dalam kekuasaan otoriter Orde Baru. Pada tahun 1980an ketika Soeharto membuat kebijakan Pancasila sebagai asas tunggal dan sekaligus merepresi seluruh gerakan demokrasi dari seluruh kampus di Indonesia.

Saat itu ruang berorganisasi mahasiswa ditutup oleh rezim Orde Baru. Sehingga kemudian aktivitas sebagian dari mereka beralih ke masjid kampus. Karena dinilai masjid adalah satu-satunya ruang yang tidak dianggap mengancam kekuasaan rezim Orde Baru.

Saat itu konteksnya juga adalah ada euforia di banyak kaum muslim Indonesia setelah terjadinya Revolusi Islam Iran tahun 1979. Mereka menganggap ada angin segar bahwa Islam dapat memenangkan perjuangan politiknya.

Baca Juga:  Waspada Gerakan Thalabun Nushrah Indonesia (Bagian Kedua)

Pada masa itu juga banyak alumni mahasiswa Indonesia yang dikuliahkan oleh Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dari Timur Tengah pulang ke tanah air. Para alumni Timur Tengah tersebutlah yang ditengarai menjadi aktor yang menyebarkan dan membawa misi kelompok Islam trans-nasional dari Timur Tengah masuk ke Indonesia.

Menurut AE Priyono dalam buku monograf berjudul Masa Depan Islam Politik dan Islamisme di Indonesia (2019) dengan mengutip riset Hamid Fahmi Zarkasyi (2008), ia menjelaskan bahwa proses masuknya kelompok Islam trans-nasional ke Indonesia ini meliputi tiga arus gerakan.

Arus pertama adalah gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) dari Mesir. Wacana IM ini mengikuti dari pendirinya yakni Hasan al-Banna yang sangat anti kolonial dan juga seorang penerusnya yang meradikalisasi gerakan ini, yakni Syed Qutb yang anti sekularisme dan anti Barat.

IM adalah organisasi yang memiliki cabang hampir di semua negeri di Timur Tengah dan semua negara yang memiliki komunitas muslimnya yang kuat. Aspirasi IM adalah dengan membangun kekuatan sosial, ekonomi, dan politik di lingkungan kaum muslim dalam rangka menegakkan negara dan pemerintahan Islam.

Baca Juga:  Upaya Gagal Soeharto Menumbangkan Gus Dur Saat Muktamar NU 1994

Gerakan IM di kalangan mahasiswa membentuk organisasi ekstra kampus bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang banyak menguasai kampus-kampus umum di Indonesia, seperti UI, ITB, dan UGM. Gerakan IM juga membentuk partai politik konservatif, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Arus kedua adalah gerakan salafisme wahabisme. Salafisme wahabi ini didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792), seorang ulama’ puritan di Arab Saudi. Gerakan salafisme di Indonesia memiliki dukungan keuangan yang sangat besar dari Arab Saudi. Mereka banyak membangun masjid dan pesantren dari dana minyak petro dolar Saudi tersebut.

Salafisme wahabi masuk di Indonesia untuk membendung perkembangan Syi’ah yang populer pada tahun 1980an paska Revolusi Islam Iran. Salafisme wahabi juga mendirikan kampus beraliran wahabi di Jakarta, yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam Arab (LIPIA).

LIPIA memiliki peran strategis dalam perkembangan wahabisme di Indonesia. Mereka mengkaderisasi calon ulama-ulamanya di kampus ini. Setelah dibentuk dikampus ini mereka kemudian menyebarkan ajaran wahabisme ke berbagai penjuru Indonesia.

Baca Juga:  Daulah Nabawiyah Mustahil Tegak Kembali, Aktivis Pejuang Khilafah Harus Pahami Ini

Arus ketiga adalah Hizbut Tahrir dan kemudian membentuk cabangnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI mulanya berkembang di Bogor setelah diperkenalkan oleh Abdurrahman al-Baghdadi, seorang pemimpin Hizbut Tahrir Australia yang diundang oleh Abdullah bin Nuh, pemilik pesantren al-Ghazali di Bogor.

Gerakan HTI ini memperjuangkan gagasan khilafah Islamiyah di Indonesia. Mereka memperluas gerakannya dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ke Bandung (Universitas Padjajaran), ke IKIP Malang, Universitas Airlangga Surabaya, hingga Universitas Hasanuddin Makasar.

Demikianlah ringkasan sejarah masuknya kelompok Islam transnasional ke Indonesia. Bermula dari merekalah kemudian ekstrimisme Islam berkembang dan menjamur di Indonesia hingga saat ini.