Shahwu dan Sukru, Adakah Diantara Kita yang Pernah Mengalami Mabuk Cinta Karena Allah?

Shahwu dan Sukru, Adakah Diantara Kita yang Pernah Mengalami Mabuk Cinta Karena Allah?

Pecihitam.org- Istilah Shahwu dan Sukru adalah sebuah kejadian yang berhubungan, Shahwu (sadar dari kemabukan) adalah kembalinya salik pada rasa setelah mengalami ghaibah. Sementara sukru atau mabuk cinta karena Allah, merupakan proses ghaibah dengan kehadiran warid (kehadiran rasa alam spiritual) yang kuat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Maksudnya, Sukru merupakan bentuk lain dari ghaibah yang lebih kuat. Salik yang mengalami sukru terkadang dipu­darkan, diterangkan, dan dilapangkan apabila sukru-nya belum pe­nuh. Dalam keadaan demikian, terkadang kekhawatiran terhadap hal-hal menjadi gugur dari hatinya.

Demikian itu menunjukkan bahwa salik masih dalam maqam mutasakir (pura-pura mabuk atau seolah-olah mabuk) karena wa­rid yang datang belum sepenuhnya (dominasi rasa yang menye­babkan mabuk).

Keberadaan rasanya masih tenggelam dalam kemabukan untuk rasanya. Tak jarang juga sukru-nya amat kuat sehingga menambah tingkat ghaibah-nya. Terkadang pula salik yang mengalami sukru tingkat ghaibah-nya jauh lebih kuat daripada penapak maqam ghaibah sendiri jika memang tingkat Sukru-nya sangat kuat.

Terkadang juga penapak ghaibah tingkat ghaibah-nya lebih sempuma daripada penapak sukru jika yang terakhir ini masih dalam takaran mutasakir, pura-pura mabuk atau belum mabuk yang sesungguhnya.

Baca Juga:  Berikut Definisi dan Cara Mujahadah dalam Ilmu Tasawuf (Bagian II)

Kehadiran ghaibah terkadang disebabkan oleh sesuatu yang mengalahkan dan mendominasi hati. Sesuatu tersebut mungkin berupa paksaan rasa senang dan takut atau permasalahan yang pasti bukan masa­lah duniawi, yang membuatnya takut dan harap.

Sukru tidak akan terjadi kecuali terhadap salik yang sudah mengalami wijdu (lihat pasal wijdu). Apabila diri salik telah disingkap dengan sifat keindahan (Al-Haqq dalam penampakan sifat Yang Maha ­indah), maka dia akan mengalami sukru, ruhnya bingung (karena susah pada murka Allah dan gembira pada Rahmat-Nya) dan hatinya menjadi linglung.

Istilah Hamul Qalbi merupakan hati yang bingung yakni gugurnya kemampuan membedakan pada diri salik antara apa yang menyakitkan dan yang melezatkan.

Ketersingkapan keindahan-keindahan rabbani dan ketersaksian sifat-sifat sempurna ketika menguasai seorang hamba dengan tidak menyaksikan apapun selain Al-Haqq, segala sesuatu dinisbatkan kepada-Nya, yaitu esensi Yang Esa, maka ketika itu hamba tidak bisa memisahkan atau membedakan hal-hal yang menyelimuti dirinya. Semua ini dikarenakan penglihatannya pada Al-Haqq telah menguasai dirinya.

Tentang sukru yang tumbuh dari ketersingkapan keindahan AI-Haqq, para penyair sufi menga­takan:

Baca Juga:  Belajar Cinta dari Tokoh Sufi Jalaluddin Rumi

“Kesadaranmu (shahwu) dari (sebab), lafal-Ku adalah sampai semuanya, kemabukanmu (sukru) dari (sebab) lirikan-Ku adalah membolehkan untukmu semua minuman kaum mabuk di sekeliling gelas, sedang mabukku dari (sebab) Al-Mudir, saya punya dua kemabukan sementara peminum hanya satu sesuatu yang dikhususkan pada ku di antara mereka adalah kesendirianku. Ketahuilah, sesungguhnya keberadaan shahwu tergantung pada sukru.”

Barangsiapa sukru-nya dengan Al-Haqq, maka shahwu­nya juga bersama Al-Haqq. Barangsiapa sukru-nya dicampuri dengan nasib baik, maka shahwu-nya pasti dikawani dengan nasib baik pula. Barangsiapa dalam hal-nya keberadaan hakikatnya benar-benar esensi, maka dalam sukru-nya pasti terpelihara.

Sukru dan shahwu keduanya menunjukkan ujung perpisahan (lihat maqam farqu). Jika keberadaannya muncul dari kekuasaan hakikat (dominasi Al-Haqq), maka pasti diketahui bahwa sifat salik adalah hancur, celaka, sedih, dan dipaksa.

Dalam pengertian ini, para penyair sufi mengatakan: “Jika pagi telah terbit dengan bintang yang segar, maka akan sama di dalamnya antara mabuk dan sadar.” Allah berfirman: “Ketika Tuhannya menampak pada gunung, gunung menjadi pecah dan Musa jatuh pingsan tersungkur.” (Al-Araf: 143).

Baca Juga:  Apa Maksud dari Istilah Wara’ dalam Ilmu Tasawuf? Begini Penjelasan Para Ulama

Ini menunjukkan ketundukkan Risalah Musa AS sehingga membuatnya jatuh pingsan dalam posisi tersungkur. Kerasnya gunung dan kokoh nya struktur fisiknya menjadi hancur berkeping keping dan rata dengan tanah ketika tuhan menampakkan dirinya Salik dalam keadaan sukru-nya mampu menyaksikan hal (keadaan mabuk) dan dalam keadaan shahwu-nya dapat menyak­sikan ilmu, kecuali jika keadaan sukru-nya terpelihara, tidak dengan paksaan, dan dalam hal-nya sahwu-nya juga terpelihara dengan pengontrolan perilakunya. Shahwu dan sukru keberadaannya setelah kemunculan rasa dan minum.

Mochamad Ari Irawan