Shalat Li Hurmatil Waqti, Penjelasan dan Ketentuannya

shalat li hurmatil waqti

Pecihitam.org – Mungkin ada dibeberapa dari kita yang belum mengetahui apa itu shalat li hurmatil waqti. Shalat li hurmatil waqti ialah shalat yang dilakukan dalam keadaan tidak sempurna (karena tidak memenuhi syarat sah dan rukun shalat) untuk menghormati waktu shalat. Terkadang seseorang beranggapan bahwa shalat li hurmatil waqti bisa dilakukan seenaknya saja. Bisa duduk, membelakangi kiblat, atau tanpa bersuci. Sebenarnya orang yang tidak dapat memenuhi syarat-syarat sah shalat, tetap diperintah untuk shalat ketika sudah masuk waktunya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Artinya: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nisa’: 103)

Karena wajibnya, shalat harus ditunaikan lima kali sehari walau dalam keadaan apapun, selama tidak haid atau nifas bagi wanita. Jadi meskipun sesorang sakit, sedang bepergian, tidak menemukan air, atau sedang tidak mampu berdiri, dan seterusnya tetap wajib menunaikan shalat.

Selain wajib, shalat merupakan ibadah yang sudah ditentukan waktunya. Subuh, Dhuhur, Asar, Maghrib, dan Isya’, ialah waktu di mana kaum islam diwajibkan menjalani shalat dengan jumlah rakaat tertentu. Jika dalam keadaan bepergian, selain shalat subuh, shalat bisa dijamak sehingga dua shalat dapat dilakukan pada satu waktu.

Syarat sah shalat antara lain meliputi:

  • Suci badan dari najis dan hadats
  • Menutup aurat dengan pakaian suci
  • Melaksanakannya di tempat suci
  • Mengetahui masuknya waktu
  • Menghadap kiblat
Baca Juga:  Tertinggal Bacaan Shalat oleh Imam, Bagaimanakah Sebaiknya?

Jika tidak dapat memenuhi syarat tersebut maka shalat dilakukan li hurmatil waqti. Begitu pula jika keadaan tidak mengizinkan ia berdiri, rukuk dan sujud. (al-Hawi, II, 232; Raudlatut Thalibin, I, 31)

Beberapa contoh orang yang dapat melakukan shalat li hurmatil waqti
  • Pertama, Orang yang bepergian naik kereta api atau pesawat yang menghabiskan lebih dari dua waktu shalat (misalnya 14 jam perjalanan), dan khawatir ketinggalan saat kereta berhenti di suatu stasiun atau pesawat dibandara dengan transit yang pendek, atau juga karena sulitnya tayamum didalam pesawat.
  • Kedua, orang yang habis operasi dan bekas operasinya belum boleh terkena air (masih mengandung najis).
  • Ketiga, pendaki gunung yang pakaiannya terkena najis dan tidak membawa pakaian lain yang suci.
  • Keempat, Orang yang sedang berada di tengah hutan dan tidak bisa wudlu karena tidak menjangkau ait dan tidak bisa tayamum karena tanahnya lembab.
  • Kelima, Orang yang ditahan di tempat najis.
  • Keenam, Orang yang tidak bisa menghadap kiblat padahal ia tahu arah kiblat. Dan masih banyak contoh yang lainnya.

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidatina ‘Aisyah ra yang mendasari mengenai model shalat ini:

أَنَّهَا اسْتَعَارَتْ قِلَادَةً مِنْ أَسْمَاءَ فَهَلَكَتْ ، فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُنَاسًا فِي طَلَبِهَا ، فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ وَلَيْسُوا عَلَى وُضُوءٍ ، وَلَمْ يَجِدُوا مَاءً فَصَلُّوا وَهُمْ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ

Baca Juga:  Menunda Shalat karena Kerja Bagaimanakah Hukumnya?

Artinya: “Sesungguhnya ia (‘Aisyah) meminjam kalung dari Asma’ lalu hilang, kemudian Rasulullah saw mengutus beberapa orang untuk mencarinya. Lalu datanglah waktu shalat dan mereka tidak punya wudhu dan tidak menemukan air. Maka, mereka shalat tanpa wudlu, kemudian Allah menurunkan ayat tayamum.” (al-Jami’ ash-Shahih, VII, 106; Hasyiyata Qolyubi wa ‘Umairah, I, 493)

Shalat li hurmatil waqti ialah shalat yang sah dan menggugurkan kewajiban. Namun, masih diwajibkan i’adah (mengulangi) shalatnya setelah keluar dari keadaan yang menghalangi shalat secara sempurna menurut madzhab Syafi’i, sebab udzur yang langka.

Jadi, seandainya seseorang meninggal dunia sebelum ia keluar dari keadaannya, ia sudah tidak punya dosa tanggungan shalat. Karena ini shalat yang sah, maka harus dilakukan semampu mungkin. Bukan berarti saat kita shalat li hurmatil waqti kita bisa menghadap ke mana saja. Selama mampu menghadap kiblat, ya harus menghadap kiblat. Selama mampu bersuci, ya harus bersuci. (Nihayatul Muhtaj, II, 36; V, 15)

Nabi SAW bersabda:

إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Artinya: “Jika aku memerintahkanmu sesuatu, maka lakukanlah sesuai dengan kemampuanmu.”

Bagi faqidut thahurain (orang yang tidak menemukan air dan debu untuk bersuci), hanya boleh melakukan shalat wajib saja, tidak boleh shalat sunnah, dan tidak boleh pula membawa mushaf. Apalagi jika junub, yang dibaca dalam shalat hanya sebatas yang rukun saja, karena tidak ada paksaan dalam membaca bacaan sunnah. (Fiqh Ibadat, I, 171).

Namun bagi orang yang tidak menemukan pakaian, ia shalat secara telanjang dan tidak wajib i’adah. Berbeda dengan muhdits (orang yang hadats) dan orang yang di badannya ada najisnya. (Nihayatul Muhtaj, I, 17).

Shalat li hurmatil waqti merupakan ciri khas dari Madzhab Syafi’i. Begitu juga dalam kewajiban i’adah (mengulangi). Maka tak boleh bagi kita memahami bahwa sejatinya shalat ada di i’adah-nya itu, sehingga shalat yang li hurmatil waqti boleh dilakukan seenaknya saja. Shalat demikian bukanlah shalat yang dilakukan atas dasar ngawur, namun dilakukan sesuai kemampuanya atau sesuai keadaan orang yang melakukannya. Itulah bukti kemurahan Allah terhadap makhluknya. Wallahu’alam Bisshawab.

Baca Juga:  Syarat Perdagangan Bursa Efek Sah Secara Fiqih
Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *