Sikap Tawassuth dalam Beragama dan Bernegara ala Ahlussunnah wal Jamaah

Sikap Tawassuth

Pecihitam.org – Tawassuth atau moderat maknanya berarti berada di tengah-tengah, tidak terjebak pada titik-titik ekstrim dan tidak pula condong ke kiri atau cenderung ke kanan. Seimbang antara dalil aqli (akal) dan naqli (teks kitab suci), tidak memihak namun lebih lebih bersifat menengahi. Sikap tawassuth inilah salah satu karakter yang dimiliki dan paling menonjol dari Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam ajaran Islam, umat terbaik adalah yang berada di tengah-tengah atau ummatan wasathan yang dituntun untuk selalu seimbang dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.

Dalam kehidupan sehari-hari, tawassuth terkespresi pada sikap yang seimbang antara pikiran dan tindakan, tidak gegabah dalam mengambil keputusan, apalagi menghakimi pada suatu perkara yang belum diiketahui.

Sejak jaman dahulu hingga saat ini sikap tawassuth melekat sangat kuat pada mayoritas umat Islam di dunia sebagai pola pikir dalam kehidupan beragama, termasuk juga di Indonesia.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara misalnya, sikap tawassuth tercermin dari disepakatinya Pancasila oleh para pendiri bangsa sebagai dasar negara. Pancasila adalah jalan tengah untuk menghindarkan Indonesia dari benturan antara agama dan negara.

Bahkan Pancasila terbukti ampuh dalam menjembatani perbedaan suku, agama, ras, budaya, dan bahasa hingga seluruh elemen bangsa Indonesia mampu hidup rukun bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca Juga:  NU dan Urusan Yang Tak Pernah Usai

Jangan kira Pancasila ini tidak ada dasarnya. Karena dalam sejarah peradaban Islam, pancasila itu tercermin dari sikap tawassuth Piagam Madinah. Konsep Piagam Madinah yang digagas Rasulullah SAW merupakan garis singgung kesepakatan antara kaum muslim madinah dengan non Muslim untuk membangun tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan berdasarkan kepentingan bersama.

Padahal saat itu, kaum muslimin dengan kekuatan besarnya di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad, bisa saja memegang kendali penuh dalam menentukan kebijakan politik yang menguntungkan umat Islam secara sepihak, namun ternyata hal tersebut tidak dilakukan.

Itu sebabnya maka para pendiri bangsa memilih Pancasila sebagai dasar negara, bukan Piagam Jakarta. Sama seperti ketika Rasulullah Muhammad Saw memilih Piagam Madinah tanpa harus mencantumkan secara eksplisit-literal penerapan syariat Islam dalam konsep kehidupan bermasyarakat.

Jadi sangat disayangkan jika ada yang membenturkan Pancasila dan agama dengan mengatakan sesat, thagut dan tak ada dasarnya. Karena jelas bahwa Pancasila memiliki sanad historis yang tidak jauh berbeda dengan Piagam Madinah.

Baca Juga:  Gus Baha: Ciri Ahlussunnah Wal Jamaah Itu Sanad Ilmunya Jelas

Keberhasilan dakwah Islam di Nusantara juga tidak terlepas dari sikap tawassuth Walisongo. Para wali dengan bijaksana dan cerdas memanfaatkan semua perangkat kehidupan masyarakat untuk jalan dakwah, baik sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, termasuk dalam berpolitik.

Sikap tersebut membuat masyarakat Nusantara berbondong-bondong masuk Islam secara sadar tanpa pemaksaan atau intimidasi kekuasaan. Pendekatan dakwah Walisongo melalui jalan hikmah ini sangat sesuai dengan teladan Rasulullah Saw.

Lawan dari sikap tawassuth adalah tatharruf (ekstrim). Jika tawassuth mampu membawa harmoni dalam kehidupan umat manusia, maka sebaliknya sikap tatharruf dapat menjadikan manusia terjebak dalam kekacauan.

Sikap ekstrim umumnya muncul dari cara pandang yang sempit, keterbatasan ilmu pengetahuan, logika berpikir yang tidak koheren, dan merasa benar sendiri (close minded).

Sikap ekstrim akan menemukan tempatnya jika terdapat kelompok masyarakat dengan tipikal yang sama atau karena didorong oleh semangat kelompok.

Ekstremisme mengakibatkan konfrontasi, menimbulkan perasaan saling curiga yang bermuara pada perpecahan antar sesama. Seseorang dikatakan ekstrimis jika sangat antusias dan sangat berlebihan dalam bertindak. Hal ini akibat terlalu memfokuskan diri pada interpretasi pribadi, lebih memperhatikan logika berpikir dari perilaku sendiri, dan tidak memiliki empati terhadap pihak lain yang berbeda dengan dirinya.

Baca Juga:  Menyikapi Khilafiyah dalam Islam Ala Ahlussunnah Wal Jamaah

Sikap ekstrim jelas bertentangan dengan ajaran agama manapun. Sikap berlebihan sulit membuat orang berlaku adil dan lurus, bahkan juga bisa menjerumuskan manusia pada tindakan bodoh. Berlebihan dalam mencintai dan membenci, sering membuat orang bersikap konyol.

Sepertihalnya orang yang berlebihan mencintai diri sendiri, dapat kehilangan nalar warasnya, contohnya seperti orang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai imam, nabi, bahkan mengaku malaikat.

Jika berlebihan dalam mencintai saja dapat berdampak sedemikian rupa, tentunya berlebihan dalam membenci akan menimbulkan dampak yang jauh lebih berbahaya.

Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik